Tuhan Bertajalli Dan Manusia Pun Akhirnya Harus Bertajalli



Zuhud adalah tahap tajalli. Manusia dicipta untuk bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan sebagai manusia yang berkemanusiaan. Tetapi sejarah manusia tidak linear, tidak berjalan mengikuti garis lurus. Sejarah manusia berjalan melompat-lompat, sehingga ada yang tetap di tempat dan ada yang maju. Ada pula yang berjalan lambat sekali! Bahkan kebanyakan manusia ini terseret arus. Namanya saja terseret; jangan dikata bisa ada di depan.

Islam yang dibangun oleh Nabi sebagai kehidupan yang beretika sosial dan individual dengan semangat demokrasi modern, akhirnya menjadi agama yang penuh kejumudan, kekakuan, kebekuan, atau kebodohan. Takhyul lama [pra-Islam] dibuang, tetapi didatangkan takhyul baru berlimpah-limpah masuk ke dalam umat Islam. Takhyul baru ini malah dibungkus dengan hadis-hadis atau ayat-ayat Al Quran. Dengan takhyul baru ini sebagian besar umat menjadi terbelenggu. Lebih-lebih takhyul ini diajarkan dan diwariskan dengan bingkai dogmatik. Agama yang penuh pencerahan ini akhirnya menjadi agama primitif yang penuh momok. Bahkan di dalam tasawuf pun tak lepas dari takhyul-takhyul baru. Namun, saya tetap menggunakan tasawuf sebagai sarana untuk membangun umat, karena warna takhyul itu tampak jelas dalam dunia tasawuf daripada dalam dunia komunitas islam lainnya. Mengapa demikian? Karena tasawuf ada di titik pusat lingkaran agama.

Takhyul perlu dikupas dalam pembahasan zuhud ini. Karena di dalam zuhud ada hijrah dan jihad pemikiran. Dalam hijrah pemikiran, kita tinggalkan pola-pola pikiran lama yang membelenggu langkah kemajuan manusia. Jika hijrah pemikiran berarti mematahkan belenggunya, maka dalam jihad pemikiran kita cari jalan baru ke depan, jalan yang lempang, jalan yang bisa dilalui hingga samai di maqam Ilahi.

Takhyul adalah keyakinan kosong! Takhyul adalah kepercayaan kepada yang tidak ada [bukan gaib lho!]. Believe to unreal thing! Pada mulanya semua agama tauhid didirikan di atas landasan yang nyata, yang riil, on the real thing. Kemudian dalam perjalanannya, komunitas agama itu menjumpai kejadian dan peristiwa yang ada di luar paradigma agama itu. Maka pengikutnya mulai menerima takhyul dari luar atau malah mengembangkan takhyul itu sendiri dalam agamanya. 

Takhyul ini pun menjadi bagian dari pendidikan agama Islam. Bagaimana kita telah dididik takut sama “momok” sejak kecil. Bagaimana kita dididik untuk dapat mengakui seseorang sebagai ‘wali’ tanpa dididik untuk memahami apa yang dimaksud ‘wali’ dalam Al Quran. Bagaimana ‘jamaah-jamaah’ tertentu dalam Islam melakukan indoktrinasi atau pembaiatan yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad itu sendiri. Orang-orang direkrut masuk jamaah dan diwajibkan meyakini bahwa pimpinan jamaah-nya orang mursyid, sudah dibaiat dari guru ke guru hingga Nabi Muhammad Saw. Lalu, anggota jamaahnya disebut ‘telah beriman’, sedangkan yang di luar kelompok [out-group]-nya disebut ‘kafir’. Lhah, ajaran yang seperti ini membuat orang-orang Islam mandek, alias jumud.

Bagaimana tidak jumud? Wong jamaah-jamaah tadi mengajarkan yang tidak benar. Misalnya, keadaan sekarang ini disebut zaman ‘jahiliah’ sehingga pencarian dana dengan jalan yang haram dibenarkan. Ada yang menerima ‘rezeki haram’ dihalalkan asal tidak digunakan untuk makan. Katanya, kalau dimakan harus berasal dari yang betul-betul halal, sedangkan yang untuk kebutuhan duniawi boleh menggunakan uang haram hasil korupsi, komisi, suap dll. 

Ini sih, bukan jihad pemikiran tetapi mundur! Islam tidak membuat dikotomi dunia dan akhirat. Islam mengingatkan, janganlah kita ini terlalu kuat keduniaannya tetapi lupa akhiratnya. Terjerat kepentingan sesaat tetapi lupa kebutuhan jangka panjang. Terjebak kehidupan sekarang, tetapi lupa masa depan! Hal-hal semacam inilah yang diingatkan dalam Al Quran tentang pemahaman dunia dan akhirat. Jadi, bukan dikotomi yang konkret dengan yang abstrak.

Nah, marilah meniti kembali ke jalan yang benar, ke pemikiran yang benar! Yang pertama, kita tinggalkan takhyul. Yang kedua, mari berpikir berlandaskan hal-hal yang nyata dulu. Yang ketiga, kita landasi dengan emosi yang kokoh ? dengan berzikir? agar kita tidak terombang-ambing dalam kehidupan ini. Agar kita bisa hidup tenang dalam menghadapi badai dalam kehidupan ini. Agar kita tidak kebablasan sehingga tercipta takhyul yang baru. 

Nah, dari ketiga tahap jihad pemikiran ini, yang dua sudah dibabar dalam pelajaran yang lalu. Sedangkan meninggalkan takhyul pada pelajaran yang lalu tertinggal. Mari kita simak ayat-ayat tentang ketakhayulan ini.
10:36 Dan kebanyakan mereka mengikuti ‘zhan’ [prasangka] saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak dapat mengantarkan kepada kebenaran sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan mereka.


53:28 Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu [malaikat]. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti prasangka. Padahal, prasangka [zhan] itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.

6:116 Dan jika menuruti sebagian besar orang di bumi, niscaya mereka menyesatkan engkau [Muhammad] dari jalan Allah. Mereka hanyalah memperturutkan prasangka dan tak lain yang mereka perbuat adalah kebohongan semata.

6:148 Orang-orang yang menyekutukan Tuhan berkata: “Jika Allah meng-hendaki niscaya kami dan nenek moyang kami tidak menyekutukan Tuhan, dan kami tidak mengharamkan sesuatu pun. Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para utusan Tuhan hingga mereka tertimpa azab Kami. Katakan: “Apakah kamu mempunyai pengetahuan [tentang tauhid] lalu kamu keluarkan hal itu untuk kami. Kamu hanya mengikuti prasangka dan dusta!”
Nah, mari kita telaah dengan jernih ayat-ayat tersebut! Yang pertama ditegaskan bahwa sebagian besar manusia itu hanya menuruti prasangka atau ‘zhan’. Kata zhan menunjukkan suatu klaim tanpa bukti. Ayat 6:148 lebih jelas lagi kata zhan dipasangkan dengan kebohongan atau dusta. Bohong berarti tidak mengungkapkan yang sebenarnya! Bohong juga berarti menyembunyikan kebenaran.

Ayat pertama menyebutkan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Bagaimana bisa sampai kepada kebenaran bila landasannya adalah hal yang tidak benar atau tidak nyata. Di zaman mitologi kebenaran memang belum menjadi tolok ukur, yang penting tujuannya benar. Dan, hal ini diwariskan dari nenek-moyang kepada generasi ke generasi berikutnya. Tetapi setelah pemikiran berkembang, tujuan yang benar harus dilandasi oleh hal-hal yang benar! Kalau manusia ingin bisa terbang ke angkasa, ya jangan bermimpi punya sayap. Nanti menjadi takhyul. 

Manusia harus berpikir bagaimana membuat wahana yang bisa terbang, dengan mempelajari objektivitas pada burung. Manusia juga tidak perlu membangun energi bagi dirinya untuk bisa terbang seperti di dalam cerita atau dalam film-film. Apakah hal itu tidak bisa diusahakan? 

Tentu saja bisa! Praktik debus, melompati rumah, merayap di dinding, bisa dilatih dengan olah batin yang dalam. Tetapi energi yang seharusnya digunakan untuk membekali dirinya dalam perjalanan hidup ini hanyalah dibuang untuk pertunjukan atau ‘show’. Manusia harus belajar pada hal-hal yang nyata yang telah digelar Tuhan di alam ini. Bukan berpijak pada mitos dan ‘fancy’ atau takhyul. Dulu boleh, ketika manusia berada di tahap dinamisme, yaitu ketika alam pikiran manusia belum berkembang.

Bumi terus berputar, dan mengelilingi matahari. Populasi manusia telah ratusan kali banyaknya bila dibandingkan dengan ketika agama-agama besar muncul. Macam dan jenis rangsangan yang mempengaruhi hidup manusia semakin banyak dan semakin berbeda. Persoalan yang dihadapi manusia semakin kompleks. Ketika saya di SD belum ada teve di kampung saya, sehingga sehabis maghrib anak-anak SD bisa belajar dengan nyaman [meskipun pakai lampu minyak, bukan listrik]. Dalam alam yang demikian, momok, hantu, sundel bolong [kuntil anak], jurig, wewe gombel, gendruwo, takhyul, dan berbagai cerita tentang makhluk jadian berkembang pesat.

Sebenarnya takhyul harus sudah dibuang di tahap takhalli, tahap pengosongan dari berbagai sifat tercela. Tetapi, membebaskan diri dari belenggu takhyul tidak semudah meninggalkan perilaku yang tercela. Contoh yang paling konkret, 1400 tahun yang lalu, Nabi membebaskan takhyul masyarakat Arab yang berupa 360 patung berhala di sekitar Ka’bah. Tetapi sampai hari ini pun tak terhitung banyaknya orang yang sengaja menghadirkan aneka rupa berhala di rumahnya sebagai pengganti patung berhala yang telah dihancurkan. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena pikiran tauhid belum tumbuh baik di kalangan umat.

Membebaskan takhyul memerlukan peningkatan kesadaran. Sadar itu memahami relasi atau hubungan antara objek dengan subjeknya. Mampu mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar dirinya. Agar tidak terjadi ketakhyulan, kita harus melihat objek secara konkret dulu, sesuatu yang riil yang diketahui melalui pengalaman secara langsung. Ini adalah tataran terendah dalam berpikir. 

Dari pengalaman ini, dapat ditarik suatu kesimpulan, dan lahirlah pengetahuan dan teori. Pengetahuan dibentuk dari kata 

“pe+ke+tahu+an” --> pe + ketahuan. 

Ketahuan adalah hal-hal yang diketahui [dipersepsi oleh indera]. 

Karena itu tingkat keimanan atau keyakinan yang paling rendah adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan [ilmu] dan disebut ‘ilmu l-yaqin. Sedangkan bagi yang mengalaminya sendiri berada di tahap ‘ainu l-yaqin. Lha, kalau kita sudah memahami, mengerti apa yang kita alami itu, namanya haqqu l-yaqin. Begitulah tahapan keyakinan dalam Islam. Jadi, bukan keyakinan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata-mata.

Ayat 6:116 menyebutkan bahwa sebagian besar manusia itu mengikuti prasangka atau zhan. Lho, ayat ini ngawur atau sesuai fakta? Berdasarkan penemuan-penemuan, hanya 4 s/d 5 % otak manusia digunakan. Dan, orang jenius hanya menggunakan 5 s/d 6 persen saja dari kapasitas otaknya.

Hanya sekitar 5% dari populasi manusia yang menggunakan pikirannya dalam kehidupan sehari-hari. Lha, yang 95% bagaimana? Hidup hanya memenuhi rutinitas pekerjaan. Artinya, tanpa mikir lagi!

Coba kita perhatikan hidup kita sendiri! Dalam sehari kita hidup selama dua-puluh empat jam atau 1.440 menit. Jika 5% dari hidup ini kita gunakan untuk berpikir, artinya tujuh-puluh dua menit atau 1,2 jam dalam sehari kita berpikir! Apa iya? Ternyata sebagian besar waktu dalam hidup ini kita gunakan sebagai pengganti mesin. Kita kerja mengikuti prosedur yang sudah ada, tanpa mikir lagi. 

Jadi, wajar bila ada ungkapan ? yang menurut sebagian ulama, bukan ungkapan tetapi hadis? berpikir satu jam nilainya lebih besar dari sembahyang 1000 rakaat [dalam teks lainnya disebut beribadah enam-puluh tahun]. Wajar juga, jika kemauan sebagian besar manusia ini dituruti, hidup bisa tersesat. Bagaimana tidak tersesat, wong kebanyakan pandangan itu hasil prasangka! Hanya warisan dari generasi ke generasi. Hal ini khususnya terjadi di masa ‘iptek’ belum berkembang, atau di masyarakat yang sedang berkembang.

Di masyarakat yang sedang berkembang, banyak hal yang direkayasa. Artinya sesuatu dibuat bukan berdasarkan hal-hal yang konkret. Sesuatu dibuat hanya berdasar akal-akalan pikiran. Partai dan organisasi dibuat bukan berlandaskan kenyataan dan untuk kesejahteraan anggotanya. Tetapi, untuk memenuhi kepentingan pribadi pengurus atau panitianya. Demi ambisi jajaran pimpinannya. Lalu bagaimana mungkin bisa mencapai keberhasilan, wong pendiriannya hasil prasangka dan rekayasa.

Nah, sudah waktunya kita memberdayakan pikiran kita. Kita tingkatkan kapasitas penggunaan otak kita! Bukan 4-5 % tetapi 5-6%. Jika semula pikiran kita gunakan untuk mengingat asma, atau nama-nama objek dengan segala ciri dan fungsinya; maka kita tingkatkan penggunaan pikiran ini untuk memperhatikan relasi-relasi di antara objek-objek yang ada. Kita gunakan pikiran untuk memahami kaitan objek dengan ruang dan waktu. Di sini kisah dan sejarah manusia menjadi perlu! Kita lakukan studi perbandingan [komparatif]. Akhirnya kita bisa memperoleh sebuah kesimpulan yang sangat berguna bagi kesejahteraan manusia. Inilah tahap ‘penalaran’, tahapan berpikir lebih lanjut, setelah kita terlatih dalam berzikir!

Marilah kita perhatikan 4 ayat dalam Surat Al Ghasyiyah [Kejadian yang dahsyat] yaitu ayat 17 s/d 20 berikut ini.
  • 88:17 Apakah mereka itu tidak menggunakan nalar mereka bagaimana unta itu diciptakan?
  • 88:18 Dan bagaimana langit ditinggikan?
  • 88:19 Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan?
  • 88:20 Dan bagaimana bumi dibentangkan?

Kata ‘nazhara’ tidak cukup diartikan memperhatikan. Ia mengandung makna penyelidikan, pendataan dan pengamatan terhadap suatu objek. Dalam penalaran ini objek kita kupas dan kita bedah. Kita bukan cuma melihat. Tetapi kita lakukan langkah-langkah untuk mendapatkan informasi tentang objek yang kita perhatikan. Kita tidak lagi percaya bahwa hewan diciptakan berdasarkan “sim sala bim”. Kalau ciptaan itu bersifat “sim sala bim”, perintah tersebut di atas tak pernah ada!

Jika semula ada kepercayaan bahwa bumi itu datar, maka manusia diperintahkan untuk mempelajarinya, apakah betul kepercayaan itu. Manusia harus mempelajari bagaimana bumi ini kok bisa dihuni, bagaimana riwayatnya, dan lain-lain. Untuk apa itu semua? Ya, untuk kesejahteraan manusia itu sendiri! Mengapa tidak Tuhan saja yang membuat kitab ilmu pengetahuan itu lalu diserahkan kepada manusia? Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa? Bukankah dengan adanya kitab suci ‘IPTEK’, manusia tinggal mengikuti instruksi dan proses yang dibabar di dalamnya, dan tidak perlu berprasangka? Nah, kita mulai menaiki tangga untuk mengenal Tuhan, siapa sesungguhnya Dia. Kita akhirnya mengerti mengapa perjalanan hidup ini berujung kepada pernyataan “kembali kepada Allah”. Tetapi untuk dapat kembali ke Dia, kita harus berpikir!

Perhatikan kembali ayat 6:148 di atas. Allah menolak pernyataan orang-orang musyrik “Jika Allah menghendaki niscaya kami dan nenek-moyang kami tidak menyekutukan Tuhan”. Pernyataan ini disebut tidak berdasarkan pengetahuan! Ini hanyalah pernyataan yang diwarisi dari nenek-moyang yang belum berkembang alam pikirannya. 

Ini adalah pernyataan yang berdiri di atas prasangka, sesuatu yang tanpa bukti nyata. Sebenarnya pernyataan ini pun ditujukan kepada kita yang tidak musyrik, jika kita masih bersikap seperti orang musyrik, kita berkutat pada masalah “kehendak-menghendaki”. Sehingga banyak di kalangan umat ini yang meyakini bahwa “sesat atau mendapat petunjuk” itu atas kehendak Tuhan.

Dan itulah yang dari awal kajian ini saya tegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada atau menyesatkan manusia yang menghendakinya [petunjuk atau kesesatan]. Dan, ternyata petunjuk itu harus diperoleh memalui usaha yang dilandasi pemikiran yang benar, yang berdiri di atas fakta-fakta dan bukti nyata. Karena itu sejak awal perkembangan agama Islam, Tuhan memerintah manusia untuk berpikir dengan memperhatikan penciptaan unta, penegakan langit, gunung, dan pembentangan bumi.

Selanjutnya, perlu saya mengingatkan kembali bahwa “Tuhan bukanlah manusia yang maha pandai atau maha kuasa”. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Penciptaan alam ini merupakan ‘tajalli’ atau manifestasi Tuhan dalam ruang dan waktu. Jika ‘ruh’-Nya ditiupkan kepada manusia, itu dimaksudkan agar ruh itu bisa kembali kepada-Nya melalui rentangan waktu yang panjang. Untuk itu manusia dilengkapi dengan ‘al-qalam’, suatu alat untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya.

Tuhan bertajalli dan manusia pun akhirnya harus bertajalli. Di situlah kedua tajalli bertemu, manusia telah bertemu dengan Tuhannya. Hal inilah yang di dalam ajaran tasawuf disebut “wihdatu l-wujud” atau dalam khazanah ajaran Jawa disebut “Manung-galing kawula klawan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhan. “Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Nah, dalam bingkai ruang dan waktu ini manusia telah dibekali daya dan kekuatan untuk kembali kepada-Nya, yaitu dengan kehendak untuk kembali, bukan menunggu kehendak Tuhan. Kita bukanlah orang musyrik, jadi tak ada ruang untuk “jika Tuhan menghendaki diriku” [demi kepentinganku].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)