Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahami Al-Quran.
Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, dan lainnya– kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Kaum Muslimin Indonesia kini digerojok dengan ratusan –mungkin ribuan– buku, makalah, dan artikel tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak, kritisi!) tafsir lama.
Jangan percaya begitu saja pada penafsirnya, bahwa mereka adalah tulus dan tidak punya maksud apa-apa. Mereka juga manusia, mereka punya kepentingan, punya wawasan yang terpengaruh oleh faktor sosial budaya ketika itu”.
Prof Amin Abdullah, misalnya, menulis dalam satu buku hermeneutika: “Metode penafsiran Al-Quran selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks Al-Quran tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, sebab para mufasir klasik lebih menganggap tafsir Al-Quran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya.
Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”
Dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa, Hassan Hanafi menawarkan cara baru dalam membaca al-Quran. Metode Hassan Hanafi, seperti juga Arkoen, dikatakan telah menghindarkan diri dari penafsiran yang subjektif dan menjadikan teks sebagai sekedar justifikasi dan dalih bagi kepentingan penafsir. Kini sudah saatnya ada panduan metodologis yang dapat menjadi “pencerahan” bagi mufasir-mufasir muda Muslim dalam menjembatani antara al-Quran dan kemanusiaan.
Ditulis juga dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. ” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10).
Umat Islam tentu tidak boleh apriori dengan satu informasi. (QS Al-Hujurat:6). Jika dikatakan kaum Muslim perlu menggunakan hermeneutika sebagai pengganti tafsir klasik, karena sebagian besar tafsir klasik dianggap melanggengkan status quo, menyebabkan kemunduran, dan sebagainya, maka perlu dipertanyakan, tafsir yang mana? dan “sebagian besar” itu berapa banyak? Sekarang ada ribuan tafsir Al-Qur`an. Yang mana yang sudah dibaca para pengritik tafsir lama itu?
Tafsir al-Azhar ditulis Hamka dalam penjara. Begitu juga Tafsir Fii Zhilal al-Quran. Bahkan penulisnya, Sayyid Quthub, akhirnya meninggal digantung penguasa. Selama ratusan tahun, dunia Islam mengenyam kemajuan dan perkembangan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, padahal tidak menggunakan metode hermeneutika yang gencar dipromosikan belakangan ini. Imam Ahmad, Ibn Taymiyah, dan lainnya adalah para penentang penguasa, dan telah menunjukkan diri sebagai ilmuwan besar dalam sejarah Islam.
Fenomena Taqlid baru
Sebenarnya praktek “belah bambu” semacam ini merupakan gejala yang memprihatinkan dalam dunia ilmiah dan akademis. Klaim bahwa Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoen, Nasr Hamid, dan sebagainya “bebas dari kepentingan” dibandingkan dengan mufassir klasik, sangatlah tidak ilmiah. Tanpa bersikap apriori, pemikiran Hassan Hanafi dan lain-lain itu perlu dikaji dengan kritis. Namun, seyogyanya, tidak disertai dengan memberikan prasangka kepada pemikir-pemikir Muslim besar lain sebelumnya, sebelum membaca karya mereka sendiri.
Malah, yang lebih memprihatinkan, analisis-analisis Jabiri, Nasr Hamid terhadap pemikiran al-Syafii, al-Ghazali, dan sebagainya, terkadang diimani begitu saja, bahkan dijadikan rujukan tanpa mengecek dan membaca kitab-kitab para imam itu secara langsung. Padahal, kitab-kitab para imam besar itu berjumlah ratusan. Tapi kemudian dirumuskan dan disimpulkan dalam satu atau dua kalimat oleh analis. Sikap seperti ini adalah sebuah bentuk taklid buta.
Jadi, ketika mereka menolak taklid kepada para imam besar, di saat yang sama mereka justru melakukan taklid kepada pemikir modernis atau post-modernis, Muslim atau non-Muslim.
Dalam hal hermeneutika juga demikian. Berbagai buku tentang hermeneutika dan aplikasinya dalam pemikiran Islam, menunjukkan adanya fenomena rujukan (taklid) pada pemikiran Scleiermacher dan Dilthey, untuk hermeneutika teoritis; taklid kepada orang seperti Gadamer untuk hermeneutika filosofis; atau taklid kepada Jurgen Habermas untuk metode hermeneutika kritis. Metode-metode tafsir mereka itulah yang dianggap lebih tepat untuk menafsirkan al-Quran, ketimbang metode para ulama tafsir.
Sebenarnya para ulama Islam sejak dulu telah mengembangkan sikap kritis, tidak apriori terhadap pemikiran-pemikiran asing. Namun, mereka tidak menempatkan dan memahami Islam dalam kerangka dan sistem epistemologis yang berbeda dengan Islam. Sebab, Islam bukan hanya al-Quran dan Sunnah, tetapi juga cara memahami (epistemologis) kedua sumber utama Islam itu.
“Cara memahami” adalah hal yang sangat vital. Di sinilah perlunya masalah hermeneutika didudukkan dengan serius. Sebab, istilah dan metodologi ini bukan berasal dari tradisi Islam. Sebagai contoh, hermeneutika teoritis menekankan faktor “kecurigaan” terhadap penafsir awal, sedangkan hermeneutika kritis justru menekankan kecurigaan terhadap teks itu sendiri.
Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika
Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan “pemisahan teks dari pengarangnya” sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik. Bahkan, orang seperti Scleiermacher mengajukan gagasan tentang kemungkinan penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika gagasan ini diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu memahami Al-Quran lebih baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?
Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafy).
Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya, karya sastra biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu berarti telah memisahkan al-Quran dari “Pengarangnya”, yaitu Allah SWT.
Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya pun berasal dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab biasa. Dia adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling memahami maknanya adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat).
Jika teks Al-Qur`an dicerabut dari penjelasan Rasulullah SAW dan diletakkan dalam konteks paradigma “Marxis”, maka maknanya tentu bisa berubah secara mendasar. Jika Allah mengharamkan babi, lalu dianalisis secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa disimpulkan secara hermeneutis, bahwa babi haram karena dagingnya enak dan tidak ada di Arab.
Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963 seorang pelajar SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita bahwa gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam kelas tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi Muhammad sangat suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari pelayan beliau mencuri persediaan daging babi yang akan beliau makan.
Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang sangat enak itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging babi itu. Mendengar itu, Nabi Muhammad sangatlah marah karena dagingnya dicuri. Saking marahnya, mulai hari itu dijatuhkanlah hukuman: “Haram atas umatku makan daging babi”. Lihat, Hamka, Studi Islam, 1985:245-246);
Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum yang hanya cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah haram kawin dengan laki-laki non-muslim karena masyarakatnya didominasi laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya panas dan berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram karena ketika itu belum ada HAM; dan sebagainya.
Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus bermunculan apabila hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar