Hukum Pernikahan, Perceraian dan Poligami Menurut Al Kitab



Dalam Islam, pernikahan merupakan sebuah kesepakatan antara kedua pihak, seorang laki-laki boleh mengikat hingga dengan dengan empat pernikahan penuh, dengan mas kawin pada satu waktu, perceraian juga dibolehkan, perzinahan dapat dihukum mati menurut hukum Islam, tidak ada kehidupan tanpa pernikahan dalam Islam, pernikahan serta keturunan merupakan tugas yang sangat utama.

Sejak awal al kitab tampaknya sangat mendukung nilai-nilai Islam, kejadian 1:28
" Allah memberkarti mereka,lalu allah berfirman kepada mereka :?beranak cuculah dan bertambah banyak ; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi "
Berketurunan adalah perintah pertama dan langsung dari Tuhan kepada manusia di dalam al kitab, ini adalah perintah untuk berketurunan Reproduksi adalah tugas yang ditetapkan Tuhan dan bukan masalah pilihan .

Memilih tidak berketurunan sama dengan mengingkari perintah Tuhan. Reproduksi manusia ditegaskan kembali dengan perintah langsung didalam kejadian 8:17;9:1,7 dan 35:11

Teks dalam kejadian 3:16 secara khusus berhubungan dengan situasi hawa dan tidak dapat digeneralisi. Hawa ditempatkan dibawah kekuasan suminya karena perannya menjadi media birahi kepada suaminya. ini bukan bukti subkoordinasi seorang istri secara umum .

Sebaliknya, catataan tentang bawahan dalam keluaran 20:10 tidaklah menyebutkan istri sebagai bawahan. Ini menunjukkan bahwa istri mempunyai status yang sama dengan suaminya. Konsep kesulitan (yang dirasakan Hawa) adalah nubuat terhadap tragedi Qabil dan Habil.

Nubuat ini diberikan untuk mempersiapkan Hawa terhadap apa yang akan menjadi kengerian luar biasa,d an dengan sendirinya ,merupakan sebuah berkat.

Teks tersebut ( kejadian 3:16 ) tidak mengimplikasikan bahwa Hawa sedang dihukum dengan rasa sakit saat melahirkan tetapi sedang mengingatkan bahwa anaknya kelak akan membuatnya sedih.

Kejadian 16:2 merupakan kasus pertama contoh suci poligami yang dilakukan Ibrahim seorang yang saleh . dengan contoh suci, Ibrahim melakukan poligami dengan syarat bahwa hal tersebut disetujui istri pertama dan untuk tujuan melaksanakan perintah keturunan dalam kasus istri yang mandul .

Kita akan berlanjut pada isu tentang pernikahan terbatas atau pergundikan (concubinage) .

Teks-teks al kitab dapat diklasifikasi kan dalam tiga kelompok :
  1. Teks-teks yang diucapkan oleh Tuhan sendiri dan dengan demikian Tuhan menyampaikan perintah - perintah secara langsung.
  2. Teks-teks yang menggambarkan contoh suci dari para nabi-nabi dan manusia-manusia yang memiliki otorits Tuhan ( para Imam ) agar manusia bertindak seperti contoh-contoh suci tersebut
  3. Teks-teks yang menggambarkan perilaku manusia biasa yang tidak perlu kita ikuti
jelaslah bahwa kategori yang no:1 adalah normative sedangkan no:3 tidak, sedangkan kategori no:2 memiliki nilai normative hingga batas tertentu

Pada prinsipnya, kita dapat memastikan bahwa pergundikan yang dimaksudkan hanya bagi teks-teks yang didalamnya kata " pilegesh " muncul.

Kata ini pernah digunakan di dalam alkitab pada Yehezkiel 23:20 untuk menyebut pasangan laki-laki dalam sebuah hubungan seperti itu. Dengan demikian, kata tersebut [ pilegesh ( ibrani ) ; concubine  ( inggris) atau gundik ( Indonesia ) ] dapat digunakan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, tanpa berubah bentuk.

Al kitab pertama kali menyebut pergundikan, seperti kasus Nahor di dalam kejadian 22:24 dan gundik Nahor, yang namanya Reuma, melahirkan anak juga, yakni Tebah, Gaham, Tahash, dan Maakha, pergundikan disebut lagi dalam kejadian 36:12 dengan nama Timna, yang merupakan gundik Elifas, putra EsauKedua lelaki tersebut adalah orang-orang saleh walaupun bukan teladan-teladan suci.

Akan tetapi, penggunaan kata pilegesh bahkan tidak menjamin bahwa maksudnya adalah pergundikan yang benar. Kejadian 25:6, dari contoh Ibrahim, menyampaikan kepada kita bahwa satu-satunya aturan spesifik tentang ciri-ciri pergundikan yaitu bahwa, anak-anak dari gundik tidak mendapat warisan ayahnyaoleh karena itu, penggunaan kata pilegesh di dalam kejadian 35:22 merupakan aplikasi yang longgar dari kata tersebut bagi seorang istri budak yang anak-anaknya memperoleh warisan dan yang dijadikan istri khususnya untuk tujuan memperoleh anak

Bagaimanapun teks tersebut meragukan dalam setiap hal dan tidak perlu digunakan, dalam tawarikh 1:32, kata "piliegesh " mengacu pada kentura, istri ketiga Ibraahim.

Teks Kejadian mengenai pernikahan tersebut bernada ambigu dan pasti pernikahan itu tidak secara khusus untuk memperoleh anak. teks kejadian tersebut (mengenai pernikahan Abraham/Ibrahim dan kentura) apakah anak-anaknya akan mendapatkan warisan bersama Ismail ataukah mereka hanya diberi hadiah, seperti anak-anak dari gundik-gundik yang lain.

Ibrahim adalah contoh suci pertama tentang pergundikan dalam Al Kitab. Melalui contoh suci, pergundikan dinyatakan bagi Abraham didalam kejadian 25:6. kata tersebut muncul disini dalam bentuk jamak (gundik-gundik). maka, ia menandakan bahwa ibrahim mempunyai lebih dari seorang gundik. 

Satu perbedaan antara Istri dan gundik (selir) dinyatakan bahwa anak-anak dari seorang istri mendapatkan warisan sementara dari gundik diberikan hadiah atas kebijaksanan ayah. inilah satu batasan khas bagi pergundikan yang dinyatakan Al Kitab. Selain itu, tampaknya kita dapat berasumsi bahwa pergundikan cukup dikenal

Deskripsi yang luas mengenai pergundikan di dalam kejadian 24 menambahkan sedikit hukum. Kejadian 24:4 mengatakan, melalui contoh suci, bahwa kerabat adalah pasangan yang lebih disukai dari pada yang bukan kerabat, namun makna sebenarnya teks ini (kejadian24:4) ; mungkin adalah perbedaan antara penyembah Tuhan dan penyembah Berhala.

Kejadian 24:53 menetapkan mas kawin melalui contoh suci, walaupun dari ayat 58 tampak bahwa Ribka sangat setuju dengan pernikahannya, ayat 51 lebih menunjukkan bahwa keputusan bagi pernikahan dibuat oleh wali laki-laki, yaitu ayah saudara laki-laki.

Kejadian 24:65 menunjukkan pemakaian kerudung dihadapan mempelai laki-laki sebelum pernikahan. masalah laki-laki dan kerudung tidak ditetapkan melalui contoh suci karena orang-orang yang disebutkan tidaklah otoritatif.

Melalui contoh suci di dalam kejadian 25:21 Ishaq berdoa kepada Tuhan atas kemandulan istrinya. hampir semua hukum yang telah disebutkan ditegaskan melalui contoh suci pernikahan-pernikahan Yakub didalam kejadian 29:15-30,30:24.

Yakup mempunyai dua Istri yang bermahar dan dua istri budak. Tidak disebutkan adanya gundik. satu-satunya masalah hukum baru (yang muncul dalam rangkaian ayat-ayat tersebut) adalah menikahi saudara perempuan .

Kita harus meneliti ulang teks tersebut. Laban adalah ayah Lea dan Rachel, dua perempuan yang bersaudara yang dinikahi Yakub. Penggunaan bahasa Inggris terhadap ayah/bapak mungkin menyesatkan kita, tapi karena menggunaan bahasa semit terhadap kata yang sama bermakna jauh lebih luas dan sangat mungkin bermakna leluhur laki-laki yang sama, pemimpin klan yang masih hidup, yang karenanya kedua perempuan tersebut dianggap bersaudara. Karena ini persis dan sangat mungkin didasarkan atas penggunaan kata tersebut sebagai asumsi pertama yang normal, maka kita harus memilih maknanya sebagai leluhur laki laki dan bukan ayah biologis karena ini lebih mungkin sesuai dengan hukum sebagaimana fenomena yang sama menjelaskan persoalan Ibrahim dan Sarah

Melalui contoh suci didalam kejadian 34:15 seorang wali dilarang menyetujui pernikahan antara perempuan beriman dan laki-laki yang tidak bersunat.

Hubungan sedarah yang diriwayatkan di dalam Kejadian 35:22 paling tidak berdasarkan pada tanda-tanda teks masoteric, tampaknya merupakan penafsiran dalam menjelaskan kejadian 49 : 4, Implikasinya ia menjadi serius terhadap salah satu putra nabi tetapi merupakan sebuah teks yang menunjukkan kata-kata seorang manusia biasa dari pada sebuah kutipan dari Tuhan. Bila teks ini diterima, maka Kejadian 49:4 sudah cukup jelas menyatakan bahwa perilaku itu tidak dapat diterima.

"Turun ranjang", atau tanggung jawab sanak keluarga berikutnya terhadap seorang janda, diperkenalkan melalui contoh suci di dalam Kejadian 38:8-11.  Kisah tentang Tamar didalam kejadian 38:13-26 adalah sebuah contoh lain dari upaya yang salah arah untuk mematuhi berketurunan. Sebagaimana kisah putri-putri luth, ada lagi pada kisah Tamar semata-mata menekankan lagi bahwa upaya mematuhi Tuhan tanpa memperhatikan bimbingan Ilahi, pada akhirnya justru menyesatkan.

Perilaku Yahuda dalam kisah tersebut harus diperhatikan. Pada ayat 26 Yahuda mengakui kesalahannya karena tidak memberikan putra ketiganya, Selah kepada Tamar sebagaimana yang dituntut hukum "turun ranjang". Ketika mengetahui bahwa perempuan yang tidak dikenalnya, yang dengannya dia telah mengikat kontrak pernikahan, ternyata adalah menantunya, Yehuda secara konsisten menerapkan hukum pernikahan kecuali ketika tidak memberikan Tamar kepada Selah karena itulah satu-satunya kesalahan yang dia akui. Oleh karena itu, kita harus mencari dasar hukum hubungan Tamar dan Yahuda.

Ayat-ayat ini bisa dipahami sebagai negosiasi antara seorang laki-laki dengan seorang pelacur ( yang belum tentu demikian ) tidaklah berarti yehuda tidak menikahinya, kita telah melihat dari ayat 26 bahwa Yehuda tidak mengakui telah membuat negosiasi dengan pelacur. Dia mengutuk pelacuran dalam penilaiannya tentang Tamar. 

Kita juga tahu bahwa Yehuda sebagai putra kedua belas yakub adalah seorang teladan suci, oleh karena itu kita harus menyimpulkan bahwa Yehuda sedang membuat kontrak pernikahan dengan mas kawin. Oleh sebab itu putra-putra Tamar bukanlah anak-anak yang tidak sah, terlepas dari kenyataan bahwa pernikahan itu dibatalkan ketika menyadari siapa sebenarnya istrinya .

Pembatalan pernikahan itu tidak dijelaskan secara detail. Kita tidak mengetahui apakah pernikahan ini dibatalkan melalui perceraian dengan memperependek usia pergundikan, karena jenis kontrak yang dilakukan Yehuda dengan Tamar tidak pasti.

Hukum tentang pernikahan berlanjut didalam Keluaran 20:14 . ayat ini merupakan bagian dari "decalogue" dengan demikian mempunyai validitas yang lebih dibandingkan bagian-bagian lainnya. Karena diucapkan langsung oleh Tuhan tanpa perantara seorang nabi.

Keluaran 20:14 yang diulang di dalam Ulangan 5;18 melarang aktifitas seksual diluar kontrak pernikahan bagi orang-orang yang menikah. Dasar perintah tersebut tampaknya adalah pertimbangan atas hak anak untuk mengetahui dengan pasti identitas ayah dan ibu biologisnya.

Oleh karena itu hukum tersebut juga mengimplikasikan adanya larangn adopsi  seperti itu yang mengaburkan identitas anak melalui perubahan atau penyembunyian nama, Ini juga berarti melarang enseminasi buatan dengan donor rahasia atau yang tak dikenal. Perintah tersebut tidak mengungkapkan apa pun tentang keabadian pernikahan atau jumlah pasangan pernikahan perintah tersebut ditegaskan kembali didalam imamat 18;20

Keluaran 21;7-11 menambahkan legeslasi yang detail ketika menjelaskan pernikahan melalui pembelian disamping pernikahan melalui mas kawin.

  • Ayat 7 menyatakan bahwa pernikahan melalui pembelian hanya dapat dilakukan melalui ayah mempeli wanita. Hal ini mencegah perdagangan budak, ayat 7 juga melarang " pernikahan sementara " melalui pembelian. hal ini mencegah pelacuran anak-anak perempun oleh ayahnya.
  • ayat 8 memperbolehkan perceraian dengan tebusan. perceraian dengan tebusan, larangan perceraian dengan menjual istri kepada pasangan atau pedagang lain. Hanya sang ayah yang dapat menebus.
  • ayat 9 memperbolehkan pembelian seorang istri bagi putra si pembeli, yang dalam kasus ini istri memiliki hak-hak sebagai seorang anak perempuan .
  • ayat 10-11 berhubungan dengan mengambil istri lain, baik melalui pembelian atau mas kawin, mempunyai tiga syarat : istri pertama harus tetap mempertahankan derajat haknya atas makanan, pakaian, dan hak-hak pernikahan lain seperti sebelumnya. Pengurangan salah satu dari tiga syarat tersebut memberikan kepada istri pertama hak atas perceraian yang bebas, yakni tanpa kewajiban untuk mengembalikan uang tebusan kepada suaminya.

Keluaran 21:22-25 mengacu kepada luka karena kecelakaan yang diderita seorang perempuan hamil dari pihak luar. Luka yang mengakibatkan keguguran harus dikompensasi sesuai dengan tuntutan suami dan hakim. Luka pada perempuan tersebut harus dihukum dengan melukai si pelaku dengan luka yang sama. "Mata ganti mata dan gigi ganti gigi "  yang berhubungan dengan kasus luka yang diderita perempuan hamil.

Keluaran 22:16-17 mengacu kepada perbuatan zina, yaitu aktivitas seksual antara seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak menikah. Dalam kasus seperti itu, si laki-laki wajib menikahi si perempuan. Dan tetap wajib walau ayah si perempuan itu menolak memberikan putrinya kepadanya dalam pernikahan.

Imamat 18:6-20 memberikan daftar tingkatan hubungan yang dilarang untuk dinikahi: ayah, ibu, istri ayah, saudara perempuan, baik putri ibu ataupun ayah, putri anak laki-laki atau putri anak perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, saudara laki-laki ayah, istri saudara laki-laki ayah, istri anak laki-laki, istri sudara laki-laki, anak perempuan istri, putri dari anak laki-laki istri, putri dari anak perempuan istri, saudara perempuan istri pada saat yang sama.

Imamat 19:20-22 berkaitan dengan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan istri pembelian orang lain. Tidak berlaku hukuman mati bagi keduanya: yang wanita harus dicambuk dan yang laki-laki harus menebus pelangarannya dengan seekor biri-biri jantan.

Imamat 20:10-12,14,17 menetapkan hukuman atas aktifitas-aktifitas seksual tertentu. Perzinahan atau aktifitas seksual antara laki-laki dengan istri orang lain, dengan hukuman mati bagi kedua belah pihak.

Aktifitas seksual dengan istri ayah atau menantu perempuan dihukumi dengan hukuman mati bagi keduanya. Menikahi wanita sekaligus anak perempuannya dihukumi mati dengan dibakar bagi ketiganya.

Pengasingan adalah hukuman atas menikahi saudara perempuan atau saudara perempuan tiri. Imamat 20:19-21 menetapkan hukuman "tanpa anak" sebagai hukuman atas menikahi saudara perempuan ayah atau ibu, istri paman, atau istri saudara laki-laki.

Bilangan 12 memunculkan poin lain mengenai contoh suci dari sisi Musa. Musa mengambil istri kedua selain Zipora, yang merupakan orang Midian, keturunan Ibrahim dan Keturah. Istri keduanya adalah orang Etiopia. Harun dan Miryam menentang pernikahan itu. Penentangan itu mungkin berdasarkan atas kecemburuan yang salah kaprah kepada Zipora, rasisme atau tidak menyetujui poligami.

Rasisme dan penentangan terhadap poligami adalah tuduhan yang sangat serius bagi Harun dan Miryam jika tanpa disertai bukti yang sangat kuat. 

Walaupun sebagian besar pemikiran Barat modern menolak keras poligami, namun hal itu hanyalah semata mata sebuah prasangka kultural. Al kitab mendukung poligami, baik melalui perintah langsung maupun contoh suci.

Dalam kasus turun ranjang, hal ini bahkan merupakan tugas. Namun demikian, tidak ada dukungan bagi poliandri, mungkin karena pertimbangan hak anak untuk mengetahui identitas ayah dan ibu biologisnya. Tampaknya Musa menikahi wanita itu ketika Israel sedang berkemah di Hazerot (Bilangan 11:35) mungkin pernikahan ini adalah salah satu contoh pergundikan walaupun tidak terdapat bukti lain untuk kesimpulan ini selain adanya keintiman yang mungkin lebih didorong oleh hasrat memperoleh kesenangan sesaat dari pada memperoleh anak.

Ulangan 7:3-4 melarang pernikahan antara orang beriman dengan orang yang kafir, baik laki-laki atau perempuan. Ulangan 17: 4-7 mengatur hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan seksual.

Hukuman mati ini dilempari batu hingga mati. Dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita dibutuhkan sebagai saksi harus menjadi yang pertama dalam melaksankan hukuman mati tersebut. para saksi harus menjadi yang pertama dalam melaksanakan eksekusi tersebut.

Ulangan 17:17 melarang pernikahan dengan banyak istri bagi raja. Ini tidak harus berarti bahwa raja tidak mempunyai hak istimewa yang sama dalam pernikahan dengan orang biasa. Yang mungkin dilarang adalah membuat perjanjian dengan kekuatan-kekuatan luar melalui pernikahan, namun demikian masalahnya tetap ada karena melalui contoh suci yang banyak dilakukan Sulaiman.

Ulangan 20:7 melarang ikut serta dalam perang bagi orang yang bertunangan,  yang pernikahannya belum disempurnakan.

Ulangan 21:10-14 mengatur pernikahan dengan seorang tawanan perang, ayat 12 dan 13 menetapkan satu bulan berduka, dengan kepala yang dicukur dan kuku yang dipotong, sebelum pernikahannya disempurnakan. Menceraikan seorang tawanan mengharuskan pemberian kebebasan bagi tawanan tersebut.

Ulangan 22:13-21 mengacu kepada tuduhan ketidakperawanan dalam pernikahan. Apabila seorang yang mengaku perawan menikah dan didapati bahwa dia tidak perawan, dia harus dirajam. Apabila suaminya membuat tuduhan palsu atasnya dan dia dapat membuktikan dirinya perawan, suami harus membayar seratus keping perak kepada ayahnya dan melepaskan hak perceraian.

Ulangan 22:22-27 menegaskan kembali hukuman mati atas perzinahan bagi kedua pihak. Namun si wanita tidak dihukum apabila kejahatan itu terjadi ditempat jauh, yang teriakannya untuk meminta tolong tidak dapat terdengar.

Ulangan 24:5-10 mengatur detail kasus "turun ranjang". Jika seorang laki laki meninggal tanpa anak, kerabat dekat berikutnya bertanggung jawab untuk menikahi istrinya dan anak pertama dari keduanya diberi nama sebagai pewaris laki laki yang meninggal pernikahan tanpa anak itu. Menghindari tanggung jawab ini akan melahirkan campur tangan hukum. Si istri harus bersaksi atas penolakan laki laki tersebut untuk menikahinya dihadapan saksi. Bila laki laki itu tetap menolak, maka si wanita harus melepaskan sepatu si laki laki dan meludahi wajahnya.

Sampai disini ,semua legeslasi telah dipaparkan, tentu saja masih banyak contoh suci yang mendukung legeslasi - legeslasi tersebut .

Dalam I Samuel 1:10-11, Hanna melalui contoh suci kembali menegaskan permohonan dalam kasus kemandulan. Dia menjelaskan hukum dengan melakukan sumpah nazar khusus bagi anak yang diharapkan, bahwa rambut anak itu kemudian tidak akan dicukur

Dalam 2 Samuel 6;20-23, dengan contoh suci Daud menghukum istrinya Mikhal, dengan membatalkan secara permanen hak pernikahan tanpa menceraikannya, sebagai hukuman karena tidak menghormati suaminya.

Didalam 2 Samuel 11, kita mempunyai contoh suci dari Daud, dan pencabutan perjanjiannnya oleh nabi Nathan dalam 2 Samuel 12 istri Urea yang dipertunangkan dicerai oleh Uria sehingga dia dapat ikut menjadi pahlawan dalam peperangan berdasarkan Ulangan 20:7 atau disempurnakannya pernikahan Urea dengan Batsyeba yang ditebus dengan perceraian untuk alasan yang sama berdasarkan Ulangan 24:5.

Pada saat itulah, Daud membuat kontrak pernikahan dengan Batsyeba karena mengetahui niat Urea untuk menikahi Batsyeba kembali setelah perang, terjadi perselisihan antara Daud dengan Batsyeba mengenai siapakah diantara mereka yang harus memberi tahu Uria tentang pernikahan itu. tidak ada satupun dari mereka sudi melakukannya dan keadaan ini membuat Daud menyerah kepada keinginan Urea untuk menggantikan posisinya jika Uria memperoleh kemenangan dalam perang, sambil berharap bahwa kematian Urea melepaskan mereka dari keharusan mengungkapkan pernikahan baru mereka. 

Karena meliputi motivasi yang dapat dipertanyakan, perilaku ini dikeluarkan dari contoh suci dengan wahyu yang disampaikan melalui nabi Nathan. Penggunaan teks ini secara umum sebagai pengampunan yang simplistik atas perzinahan dan pembunuhan bukanlah penafsiran yang valid. Penafsiran itu akan membuat hukum yang menetabkan hukuman mati, baik untuk pembunuhan maupun perzinahan menjadi tidak berlaku.

Ucapan-uapan Nathan dalam 2 Samuel 12:9 harus dilihat sebagai hiperbola dalam menyampaikan kasus itu kepada sang raja Daud.

2 Samuel 13:13 menunjukkan kemungkinan pernikahan antara laki-laki dengan saudara perempuaan tirinya. hal ini bertentangan dengan imamat 18:11, dengan begitu, ayat itu ( 2 Samuel 13;13 ) dapat dikatakan berkenan dengan ketidakpedulian Tamar, atau lebih mungkinnya, upaya Tamar yang tak berdaya agar penyerangnya tidak memperkosanya .

Walaupun pernikahan dan "hubungan diluar nikah"  dibahas dalam tulisan-tulisan nabi lainnya. bahkan dalam kasus Hosea, tidak ada lagi contoh suci atau wahyu langsung dari Tuhan yang tampak.

Contoh-contoh pergundikan lainnya dapat disebutkan secara singkat sebagai berikut.

Dalam Hakim-Hakim 8:31,kita mendapati bahwa melalui contoh suci, Gedeon mempunyai seorang gundik, yang melahirkan seorang anak laki-laki, Abimelekh yang kemudin menjadi raja pertama Israel

Didalam Samuel 5;13 melalui contoh suci, Daud yang membuat kontrak pergundikan dan juga pernikahan normal dengan banyak wanita. 2 Samuel 15:16 menunjukan sepuluh wanita yang menjadi gundik Daud. kelompok wanita yang sama juga disebutkan dalam Samuel 2 Samuel 16:21-22 dan 20:3. Sebuah kelompok gundik Daud lainnya disebutkan didalam 2 Samuel 20:3 para gundik Daud lainnya disebutkan dalam 2 Samuel 20:3. para Gundik Daud disebut lagi didalam I Tawarikh 3:9

Dalam Raja-Raja 11:3 melalui contoh suci, Sulaiman yang membuat pernikahan dengan tujuh ratus wanita dan pergundikan tiga ratus. jumlah istri yang mengejutkan ini tentu saja tidak normatif. Al kitab tidaklah memberikan batasan terhadap jumlah Istri. batasan empat Istri merupakan salah satu hukum baru yang ada dalam Al Qur'an

Nama dua gundik, yang terikat kontrak dengan Kaleb, disebutkan dalam Tawarikh 2;46,48 Kaleb secara khusus bukan merupakan contoh suci tetapi tidak pernah disebutkan bahwa ia pernah melakukan perbuatan terpkutuk. Sebaliknya, dia sering kali disebut karena keberaniannya dalam kaitan dengan penerus Musa, Yosua.

I tawarikh 7;14 menyebutkan seorang gundik dari Manasye, putra Yusuf karena Yakup memasukkan kedua putra Yusuf dalam jumlah dua belas, maka Manasye merupakan contoh suci.

Didalam 2 Tawarikh 11:21 disebutkan para gundik dari Rahabeam putra Sulaiman. Terlepas dari kesaahan-kesalahan politiknya, Rahabeam dapat dianggap salah satu dari dua belas raja Yehuda yang baik dan oleh karenanya merupakan contoh suci .

Kidung Agung 6:8-9 memuat lagi referensi mengenai contoh suci Sulaiman dalam pergundikan.

Dengan demikian, terdapat lima atau enam contoh suci tentang pergundikan yang secara khusus disebutkan dalam Al Kitab.

Sekarang kita akan mengamati teks-teks yang merujuk pada pergundikan yang tidak dapat diambil sebagai contoh suci, dan teks-teks tersebut merujuk kepada contoh suci, dan teks-teks yang merujuk kepada contoh suci pernikahan yang mungkin merupakan pergundikan atau bukan pergundikan.

Terdapat sebuah kisah yang panjang dan tragis seorang anak gundik Lewi dalam hakim-hakim 19 terdapat alasan yang kuat bahwa Lewi adalah seorang yang saleh walau bukan contoh yang suci.

Gundik raja Saul disebutkan di dalam 2 samuel 3:7 dan juga Raja-Raja 21:11. Raja Saul bukan contoh yang suci karena kerajaannya diambil atas dasar ketidakpatuhannya (terhadap perintah Tuhan) namun demikian, Daud sendiri terus memberlakukannya sebagai yang diurapi dan dihormatinya hingga wafat.

Ester 2:14 merujuk kepada gundik dari raja Ahasyweros. Raja ini bukan seorang contoh suci .

Hingga disini, mungkin perlu kita mengamati penyebaran masalah-masalah pergundikan, lebih dari setengah jumlah orang mengikat pada pergundikan adalah teladan-teladan suci yang kehidupannya bersikap otoritatif dan mendapat wahyu dari Tuhan, yang kepada mereka manusia pada zaman mereka masing-masing diperintahkan untuk mencontohnya kecuali Ahasyweros, adalah orang Saleh. Beberapa diantaranya bahkan tidak ternoda dalam catatan hidup mereka. 

Tidak ada catatan tertentu dalam Al Kitab mengenai hal ini. Dalam al Kitab, pergundikan hanya disebutkan dalam kehidupan yang saleh, penjelasan mengenai hal ini adalah mungkin bahwa orang-orang jahat pada umumnya lebih memilih pelacuran dari pada mengambil tanggung jawab dari pergundikan.

Teks-teks suci tidak membahas jangka waktu kontrak pernikahan. Pada umunya, pernikahan yang digambarkan dalam Al kitab adalah pernikahan permanent walaupun jenis ini tidak pernah ditetapkan hukumnya. Banyak kasus pergundikan yang kita jumpai tampaknya berjangka waktu panjang. 

Keluaran 21:7 secara langsung menyatakan bahwa pernikahan dengan pembelian haruslah bersifat permanent. Hal ini jelas merupakan penentangan terhadap pelacuran. Kesimpulannya adalah bahwa ada kontrak dalam bentuk-bentuk lain.

Baik pergundikan maupun poligami tidak lagi dipratekkan beberapa saat setelah the Babylonian captivity dan selama munculnya rabiisme

Ketika pergundikan ridak lagi digunakan dikalangan Yahudi, muncullah masalah, walaupun terdapat bukti bahwa pelacuran terjadi bersamaan dengan pergundikan dan pernikahan, kasus pelacuran mungkin akan lebih banyak terjadi lagi bersamaan dengan penurunan praktek poligami dan pergundikan.

Bagian-bagian Injil yang berhubungan dengan periode sebelum kepemimpinan Yesus menegaskan kembali validitas hukum tentang pernikahan. Yusuf mempertimbangkan untuk menceraikan Maria karena dia hamil sebelum sempurnanya pernikahan mereka (Mat 1:19). Hal ini selaras dengan hukum .

Yohanes Pembaptis dipenjarakan dan akhirnya dihukum mati karena sangat teguh mempertahankan hukum yang melarang pernikahan dengan istri saudara laki-laki (Markus 6:17)

Tidak ada legeslasi wahyu yang langsung dalam Injil, hanya dengan satu atau dua pengecualian yang mungkin, maka seluruh isi teks (Injil) jelas merupakan saksi-saksi selain Tuhan. Hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang hierarki urutan yang menjadi subordinat dari teks-teks suci Yahudi (perjanjian Lama). Karena Yesus menggabungkan dalam dirinya tugas-tugas kenabian tindakan-tindakannya dapat menggugurkan atau dapat menegaskan kembali teladan suci sebelumnya, dan mengklarifikasi atau menerapkan wahyu Tuhan secara langsung.

Perhatikan kontekstual dari perintah utama Tuhan itu sendiri tidak lagi terlihat dalam tahap ini. Tidak ada kebutuhan untuk menambah populasi di bumi, yang tampaknya sudah mencapai populasi yang cukup, penekannya berpindah dari reproduksi ke perwartaan Injil.

Alih-alih melahirkan banyak lagi orang yang beriman, fokusnya beralih pada anak baru lahir. Karenanya, perintah yang utama haruslah ditafsir ulang untuk mencakup pewartaan Injil, penghubung untuk hal ini sudah terlihat dalam keberkahan atas benih Ibrahim, Ishak, Yakub yang dijumpai dalam Kejadian, yang melalui semua bangsa dalam berbagi keimanan terhadap Tuhan. Namun demikian, Injil memberikan beberapa sorotan terhadap hubungan-hubungan pernikahan dan tugas-tugas moral yang berhubungan dengannya.

Matius 5:31-32 (Lukas 16:18) mengutip Ulangan 24:1 dalam kaitan dengan kompesasi perceraian. hal ini diperluas pada pembahasan dalam Matius !9:1-12 (Markus 10-12) Kisah dalam Matius 22:23-33 (markus 12:18-27;Lukas 27-38) tidak merujuk langsung pada pernikahan tetapi kebangkitan kembali .

Teks tersebut (Matius 5:31-32) pada umumnya ditafsirkan bahwa Yesus, menggugurkan hukum perceraian pada semua kasus kecuali pada perzinahan, yang karenanya perceraian diperbolehkan. Terdapat masalah serius dalam masalah ini

Pertama: Yesus tidak memiliki orotitas untuk menggugurkan hukum, dia hanya memiliki otoritas untuk menegaskan kembali, mengklarifikasi, menerapkannya pada situasi yang baru atau tertentu, misalnya ketika kekerasan hati tidak ada lagi.

Kedua adalah bahwa hukuman atas perzinahan adalah hukuman mati .tidak ada gunanya mengizikan perceraian dalam kasus perzinahan karena perceraian hanya diterapkan terhadap orang yang masih hidup. hanya orang-orang yang masih hidup yang dapat menerima kompensasi perceraian. Namuan akibat langsung dari perzinahan yaitu: hukuman mati, harus dilakukan sebelum masalah baru muncul, bahkan bila hukuman itu dapat ditunda untuk apa menceraikan jika hanya untuk mati?

Masalah ini hilang ketika istilah "porneia" (dalam Injil bahasa Yunani), yang diterjemahkan fornication "hubungan diluar pernikahan" (dalam KJV) diaplikasikan ke dalam daftar "pernikahan yang dilarang" di dalam Imamat 18:6-20. Karenanya, perceraian ini dipandang sesuai hanya dalam kasus yang sangat jarang terjadi, yakni ketika pernikahan pada saat tertentu, didapati tidak sah karena hubungan kekeluagaan yang sebelumnya tidak diperhatikan.

Kalau menganggap Lukas 16:18 sebagai hukum murni, dan pengecualian di dalam Matius sebagai klarifikasi yang salah dari orang-orang yang datang kemudian, maka kita hanya mempunyai larangan atas perceraian tanpa syarat.  ini menjadi lebih mudah dibahas. tanpa menggugurkan hukum umum perceraian pada situasi tertentu yang tidak sah. Teks tersebut tidak memberi indikasi mengenai situasi apa yang terjadi. Kita harus berasumsi bahwa aplikasi tersebut bersifat spesifik dan terbatas atau, karena atas hierarki nilai-nilai tekstual yang menolak teks secara keseluruhan.

Apabila tidak terdapat indikasi didalam teks mengenai situasi seperti apa yang memicu munculnya larangan perceraian tersebut, kita harus mencari situasi seperti pertama kali dalam praktek masyarakat setelah itu di daerah yang sama. kita tidak memiliki informasi tentang praktek masyarakat pada masa Yesus tetapi menemukan contoh-contoh di daerah tersebut.

Hukum perceraian digunakan di Timur tengah sebagai alternative pelacuran. Maksudnya adalah kontrak pernikahan dilakukan dengan maksud untuk bercerai, bahkan dalam waktu yang sangat singkat, seperti beberapa jam. Adalah aman kita berasumsi bahwa Yesus (melarang perceraian dengan) mengacu kepada praktik ini.

Hukum dalam Matius 5:31-32 dan Lukas 16:18 adalah salah satu teladan suci yang sah karena ayat-ayat itu mengandung ucapan-ucapan seorang nabi/rasul dan dibimbing oleh Ilahi. Ayat-ayat tersebut mengklarifikasi aplikasi yang sah terhadap kasus-kasus, ketika kekerasan hati pasangan, pernikahan menyebabkan ketidak mampuan mereka hidup bersama.

Ia juga mengklarifikasi bahwa pernikahan dengan niat untuk segera cerai sebagai alternatif terhadap pelacuran dan mengakibatkan perzinahan. Oleh karena itu, merupakan penerapan hukum perceraian yang salah. Selain meningkatnya pelacuran itu sendiri, adalah logis bagi kita untuk berasumsi bahwa praktek pernikahan dengan maksud bercerai, seperti saat prakterk ini mulai muncul pada abad pertama Yudaisme, masa dan tempat yang dirujuk dalam injil-injil.

Alternatif terhadap pelacuran ini kini menjadi umum di Timur tengah dan pasti dikenal pada zaman Yesus, dalam konteks inilah, kita harus membaca perintah perintah Injil yang menentang perceraian. Kita dengan aman dapat berasumsi bahwa perlakuan Yesus terhadap pernikahan dengan maksud bercerai membentuk sebuah bagian dari reformasi hukum Yesus. Yesus menolak system pengajaran rabbi sebagai aplikasi terhadap hukum,

Pernikahan dengan maksud bercerai persis sama dengan jenis penolakan yang diperbolehkan oleh pengajaran para rabbi, sebaliknya Yesus bergantung pada teladan suci dalam menerapkan hukum dan menetapkan dirinya sebagai seorang teladan itu sendiri.

Kita tidak mengetahui yang spesifik dari teladan suci yang dibuat Yesus sehubungan dengan pergundikan. Dia hanya mengutuk alternative yang menggantikan kedua hal tersebut ,yakni pada pernikahan yang bermaksud bercerai.

Asumsi umum bahwa Yesus sendiri tidak menikah hanya memiliki dasar tekstual bahwa tidak seorangpun istri yang secara khusus disebutkan.

Hal ini didasarkan pada anggapan bias yang muncul dari pemikiran-pemikiran " monastisme " (monastisme dari bahasa Yunani :monachos "orang kesepian") Orang Kristen generasi belakangan. dengan mempertimbangkan usia Yesus dan adat istiadat pada zamannya, kita dapat dengan aman berasumsi bahwa dia memiliki satu istri. Hal ini merupakan asumsi Yahudi modern yang kosisten.

Dengan mempertimbangkan otoritas Yesus dalam menerapkan hukum yang bertentangan dengan system pengajaran rabbi, bahkan lebih aman bagi kita berasumsi bahwa bisa saja Yesus mempunyai lebih dari pada satu istri dan gundik. Para istri dan gundik tersebut dapat saja diantara mereka tercakup sebagaimana yang disebutkan didalam teks-teks seperti
Lukas 23:55 : " Dan perempuan-permpuan yang datang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea, ikut serta dan mereka melihat kubur itu dan bagaimana mayat-nya dibaringkan."
Kumpulan surat-surat yang muncul setelah Injil, yang datang begitu saja, memiliki otoritas paling rendah diantara kitab suci.

Surat-surat itu tidak berisi kutipan-kutipan firman Tuhan tetapi semata-mata persaksian manusia. Pada titik ini, hanya sedikit yang bisa dilakukan yakni penegasan kembali apa yang telah ada sebelumnya dan penerapan terbatas terhadap beberapa situasi yang baru. Kita tidak memiliki hak untuk menafsirkan surat-surat tersebut jika bertentang dengan teks-teks kitab suci terdahulu.

Konflik Paulus dengan hukum, sebaiknya tidak dilihat sebagai pertentang dengan teks kitab suci tetapi konfigurasi system pengajaran para rabbi dalam mengajarkan dan menerapkannya.

1 Korintus 5:1 menegaskan kembali hukum yang menentang pernikahan dengan istri ayah (Imamat 18:8,Ulangan 22:30) . ayat-ayat 9-13 menjelaskan hukuman bagi orang beriman harus secara total menghindari para pendosa. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa orang beriman hidup dibawah pemerintahan yang zalim sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi hukuman dari hukum. 

Pasal 6 menunjukkan fakta bahwa kelompok orang beriman bertanggung jawab secara hukum untuk memerintah secara hukum. Namun hal itu terhalang oleh pemerintahan yang zalim. Kondisi inilah yang harus menjadi pertimbangan praktis, seperti menyetujui orotitas penguasa itu (yang zalim) dilarang.

1 Korintus 7 merupakan kelanjutan dari hukum yang diterapkan Paulus pada gereja Korintus pada zamannya. Ayat 1 menyatakan apa yang tampaknya menjadi pemikiran seorang penganut praktek kehidupan membujang. Hal ini harus berdasatkan beberapa factor.

Pertama: seperti yang sudah disebutkan, kebutuhan untuk memperbanyak populasi di bumi telah menjadi perhatian kedua, dan secara akurat dilengkapi oleh perintah untuk mewartakan Injil.

Kedua : masa-masa yang tidak stabil dimana saat itu tidak kondusif bagi kehidupan keluarga (1korintus 7:26,29)

Faktor ini muncul pada peringatan Yesus dalam Matius 24:19

" celakalah ibu-ibu yang sedang hamil atau yang menyusukan bayi pada masa itu. "
Surat-surat Paulus ,dengan segala inspirasinya, ditulis dalam konsepsi yang ada pada masa itu. Terdapat harapan yang terlalu cepat akan kedatangan kedua Kristus ,kesengsaraan dan akhir dunia.

Dalam kondisi tersebut, pemikiran Paulus tentang kehidupan membujang mendapat dukungan. Dia sendiri, didalam 1 Korintus 7:6 mengatkan bahwa pemikirannya ini bukanlah wahyu Tuhan melainkan fatwa semata.

Dengan kualifikasi-kualifikasi tersebut Paulus memberikan perintah khusus tentang bagaimana mempertahankan kehidupan membujang dan tetap melestarikan tuntutan hukum mengenai pernikahan dan kesucian. Pernikahan semestinya menggugurkan kehidupan membujang jika, dalam prakteknya terjadi konflik hukum:
"sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. " (1 korintus 7:9)
Setiap upaya untuk menghindari perceraian harus dilakukan tetapi perceraian itu sendiri tidaklah secara mutlak dilarang (1 korintus 7:15) tampaknya tidak ada pernyataan di dalamnya  yang bertentangan dengan hukum .

Praktek-praktek hukum berikut ini secara spesifik disebutkan didalam 1 Korintus 7 : saling berbuat baik antara suami maupun isrti, hubungan badan merupakan tugas, baik bagi suami maupun istri, kerelaan kedua belah pihak untuk menghindari hubungan badan agar dapat berpuasa dan beribadahlah haruslah bersifat sementara, menghindari perceraian bagi seorang yang beriman, mengizinkan pernikahan kembali bagi seorang janda.

2 Korintus 2 merekfleksikan makian terhadap seorang laki-laki yang menikahi isrti ayahnya.saran paulus adalah untuk "meninggalkannya bersama setan" dan secara total menghindarinya.

Namun tampaknya orang tersebut menyesal berpisah dengan kelompok itu. Paulus kembali menegaskan penerimaan kembali dan pengampunan sebagai pendiriannya (2 Korintus 2:6-11). Imamat 20:11 menetapkan hukuman mati atas kasus seperti ini. Dengan demikian keputusan Paulus bertentangan dengan hukum. Pada saat itu terdapat tradisi panjang tentang pengadilan-pengadilan Yahudi. System pengajaran rabbi pun telah lahir.

Hukuman mati prakteknya tidaklah diterapkan pada masyarakat Yahudi. Pembatalan Paulus, melalui keputusannya, dari hukum pengasingan, menjadi pengampunan tidak hanya didasarkan atas konteks penyesalan laki-laki itu. Namun hal itu juga didasarkan atas konteks faktual bahwa hukum tidak menetapkan pengasingan atas dosa tersebut tetapi bahwa hukuman mati tidaklah menyediakan satu hukuman pengganti bagi satu hukuman yang lain. Oleh sebab itu, kepurusan Paulus yang berubah itu sama absahnya dengan yang pertama.

Di dalam Galatia 5:19, terdapat sebuah kecaman terhadap perzinahan, hubungan di luar pernikahan, najis dan nafsu birahi.

Efesus 5:22-33 memaparkan beberapa prinsip hubungan antara suami dan istri. Paulus, menyerukan hubungan terbaik antara suami dan istri tetapi seraya berdasarkan atas penyerahan diri sang istri kepada suaminya dan cinta suami kepada istrinya. Kesetaraan social antara suami dan istri yang dinikahi dengan mas kawin tidak lagi dipertanyakan didalam teks-teks Yahudi (perjanjian lama). Sikap paulus dapat menunjukkan pengaruh sebuah masyarakat chauvinistic atau perubahan budaya ke arah subordinasi posisi perempuan walau pun keputusannya tidak dapat dituntut. Pemikiran chauvinistic yang sama muncul didalam kolose 3:18-19.

Pengarugnya terhadap hukum yang berkaitan dengan perilaku sexual ditekankan di dalam 1 Tesalonika 4:3,5,7. Dalam 1 Timotius 3:2, Paulus memaparkan kualifikasi-kualifikasi bagi seorang penilik di dalam jemaat, dengan mengatakan bahwa dia sebaliknya menjadi suami dari satu istri. Hal yang sama dikatakan oleh para diaken gereja didalam ayat 12. kadang-kadang hal ini dipahami bermakna lebih dari istri secara bergantian. Namun jika ini masalahnya tampaknya bukan perceraian yang akan dilarang tetapi pernikahan kembali bagi para janda. 

Walaupun praktek monogami Yahudi sudah ada pada saat itu, tidaklah demikian halnya dengan masyarakat Yunani. Disini, Paulus menyatakan bahwa para penilik gereja dan diaken haruslah monogamis. Sisi lainnya adalah bahwa monogamy bagi anggota jemaat biasa tidaklah diperintahkan.

Di dalam 1 Timotius 4:3, Paulus mengecam mereka yang melarang pernikahan. Di dalam 5:14,dia mendorong perempuan-perempuan muda untuk menikah dan mempunyai anak. 1 Petrus 3:1 dan seterusnya sepakat dengan keputusan-keputusan Paulus, bahkan hingga persoalan chauvinistic dengan memerintahkan penyerahan diri para istri dan cinta para suami.

Sampai disini, adalah mungkin bagi kita untuk membuat evaluasi umum terhadap teks-teks Al Kitab dari sudut pandang Islam.
Kutipan dari buku karya Thomas Mc Elwain : "Bacalah Bible!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)