Selama sebulan terakhir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi bulan-bulanan media. Diawali kasus impor daging sapi, nama petinggi partai berslogan bersih, peduli, dan profesional itu terseret.
Kendati nama tuhan sempat dibawa-bawa, tokoh PKS itu ujung-ujungnya menjadi tersangka juga. Walhasil, slogan bersih, peduli, dan profesiona l PKS berganti menjadi cinta, kerja, dan harmoni.
Baru juga berganti slogannya dengan kata cinta, giliran skandal cinta dikaitkan dengan PKS. Media mulai meniupkan ABG bernama Darin Mumatazah yang diduga merupakan teman dekat salah satu petinggi PKS.
Isu pun seakan digeser. Dari kasus hukum menjadi kasus wanita. Bergesernya isu kasus tak terlepas dibukanya rekaman telepon eks petinggi PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan Ahmad Fathanah di Pengadilan Tipikor.
Di sela berbincang soal daging sapi, LHI dan Fathanah meyelipkan obrolan soal pustun. Usut punya usut, pustun yang dimaksud adalah wanita berdarah Afghanitan atau Pakistan. Isu soal pustun ini yang kemudian "digoreng" habis-habisan oleh banyak pihak.
Di saat citranya coba dirusak, PKS melawan. Strategi untuk memulihkan citra pun dilakukan. Kali ini, PKS bukan bersuara di media, melainkan lewat spanduk. Momen PKS untuk bersuara ada di isu kenaikan BBM oleh pemerintah.
PKS coba menyampaikan pesan pada masyarakat. Pesan bahwa mereka adalah partai yang peduli rakyat, bukan partai yang peduli pustun. Karena itulah, berbagai spanduk mereka sebar ke penjuru Kota Jakarta yang menyampaikan pesan bahwa PKS menolak kenaikan harga BBM.
Banyak yang kemudian bertanya, apa motif PKS berspanduk ria terkait penolakan naiknya BBM? Dalam sebuah diskusi di layar kaca, salah satu kader PKS Ecky Awal Muharam berujar, pilihan tebar spanduk dipilih karena media massa kurang menyorot sikap PKS soal BBM.
Sah-sah saja memang pandangan itu. Sebab, publikasi media soal pustunmemang jauh melebihi publikasi soal PKS yang menolak kenaikan BBM. Dan sah-sah juga bila PKS berstrategi dengan spanduk demi memulihkan citranya yang dihantam "badai sapi dan pustun".
Namun, yang menjadi tanda tanya, usaha nyata apa yang sudah dilakukan PKS untuk menolak kenaikan harga BBM selain aksi pasang spanduk? Padahal di sisi lain, kementerian yang diduduki menteri asal PKS, Kementerian Sosial, malah menyusun program penunjang kenaikan BBM yaitu BSLM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).
Kesempatan PKS untuk memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM via rapat koalisi pemerintah pun tidak mereka gunakan. Tak ada perwakilan PKS yang hadir dalam rapat terkait kenaikan harga BBM di rumah Wapres Boediono, akhir pekan kemarin.
Merujuk kenayataan itu, jadi beralasan jika muncul pandangan bahwa isu BBM tak hanya jadi kesempatan PKS memulihkan citra. Isu BBM juga menjadi kesempatan PKS melawan pemerintahan!
Lantas mengapa pula PKS tak juga memilih keluar dari pemerintahan? Terkait pertanyaan ini, banyak kemungkinan jawaban yang muncul. Dari beragam analisis, saya lebih setuju bahwa PKS kini menunggu dikeluarkan ketimbang memilih keluar dari pemerintahan.
Lagi-lagi pilihan itu akan berimplikasi pada citra. Citra bahwa PKS terzalimi. Terzalimi oleh BBM, pustun, dan sapi.
ROL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar