Inilah Sejarah Rasa Takut Pada Manusia



Pada tanggal 30 Desember 1903, pagi hari, Iroquois Theatre di Chicago, AS, masih dilukiskan sebagai ‘kuil drama yang indah’, salah satu monumen modernisme penting di kota itu. Malam harinya, keagungan itu lenyap seketika tertimbun oleh abu enam ratus jasad manusia. Sekitar seribu orang lainnya berhasil menyelamatkan diri, dengan luka fisik dan batin. Teater yang dianggap paling sempurna di Amerika itu dimakan api, tinggal puing dengan korban teramat banyak lantaran fasilitas keselamatan yang buruk dan karena panik massa.

Kepanikan itu dilaporkan dalam nada apokaliptik: orang-orang melompat dari balkon ingin menyelamatkan diri, namun malah menuju kematian; saat itu lampu-lampu dipadamkan lantaran pertunjukan segera dimulai, dan tak seorang pun menyalakannya kembali ketika kepanikan terjadi; dalam ikhtiar menyelamatkan diri, sebagian pengunjung terjatuh dan terinjak-injak.

Setiap individu nyaris tidak siap menghadapi bencana tak terduga seperti itu. Ketika setiap individu dalam kerumunan dihinggapi rasa takut, panik massa tak terelakkan.

Tapi, apakah “takut” itu? Apa yang ditakutkan oleh massa di dalam gedung teater itu: api yang kian lama kian besar atau kematian yang tiba-tiba mengancam di saat mereka tidak siap menghadapi api, apa lagi kematian? Mengapa ada yang tidak takut kepada ular beracun, namun takut melihat seekor cicak jatuh dari langit-langit rumah? Mengapa respons emosional individu dan masyarakat beragam terhadap isu AIDS, teror, dan orang asing?

Dalam karyanya, Fear: A Cultural History, Joanna Bourke menunjukkan ikhtiarnya dalam menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan perihal rasa takut. Bourke membuka Fear dengan pembahasan historis mengenai rasa takut akan kematian dan bencana.

Cara orang memahami takut akan kematian, menurut Bourke, mengalami pergeseran dramatis pada akhir abad ke-19 dan awal 20. Tatkala bahasa keagamaan kian tersisihkan, retorika humanistik dan keilmuan semakin menonjol. Konteks sosial dianggap penting, setidaknya di dalam bidang studi emotionology. Pertanyaan pokok yang diajukan di sini ialah ”Bagaimana kata ’takut’ digunakan dalam konteks kultural?” dan ”Apa norma-norma sosial dalam mengekspresikan rasa takut?”

Kalangan konstruktivis sosial berpendapat bahwa norma-norma emosional dihasilkan dan dipelihara oleh pengaturan institusional yang dominan. Kata mereka: Tidak ada respons takut yang bersifat natural, yang ada hanya respons yang dikonstruksi secara sosial. Pendekatan itu memperoleh banyak dukungan dari karya-karya antropologi, yang menunjukkan bahwa tidak ada reaksi-reaksi emosional yang universal.

Penjelasan ilmiah atas respons-respons emosional, termasuk takut, begitu beragam. Psikologi evolusioner, psikoanalisis, behaviorisme, maupun neurologi memberikan formula yang saling bersaing dalam menafsirkan ketakutan orang. Mereka hanya sepakat pada satu hal: menampik konstruksi keagamaan terhadap rasa takut. Mimpi buruk, menurut mereka, bukan disebabkan oleh setan yang menekan bahu seseorang di saat tidur, melainkan dapat diterangkan dalam pengertian fisiologi manusia, ingatan, konflik tidak sadar, ataupun kekacauan pada gelombang otak.

Bourke mencoba menelusuri berbagai peristiwa yang dilaporkan media maupun banyak sekali studi mengenai respons-respons emosional individu. Lewat pembahasannya yang kritis, dalam bahasa yang renyah, Bourke menyegarkan pemahaman kita mengenai aspek emosi. Ia, antara lain, menyimpulkan bahwa jawaban atas pertanyaan ”Apakah takut itu?” sangat bergantung kepada teori psikologi dan filsafat yang dianut, serta situasi ketika emosi itu muncul. Tidak ada jawaban tunggal.

Begitu pula ketika orang berbicara tentang ketakutan dan kegelisahan. Dalam menganalisis respons terhadap ketakutan, orang kerap membuat perbedaan antara keduanya. Dalam hal takut, orang yang menakutkan atau obyek yang berbahaya dapat diidentifikasi, misalnya nyala api yang keluar dari langit-langit rumah, banjir bandang, ataupun perampok.

Sering kali, kegelisahan yang kita alami berasal dari diri kita sendiri, misalnya ada kepanikan irasional terhadap sesuatu yang terjadi di luar ataupun bayangan akan kegagalan. Menurut banyak pengkaji, ”takut” merujuk pada ancaman yang obyektif (immediate, objective threat), sedangkan ”gelisah” merujuk pada ancaman subyektif, terantisipasi (anticipated, subjective threat).

Garis pemisah semacam itu mungkin bermanfaat bagi psikolog dan psikoanalis. Namun, bagi sejarawan seperti Bourke pembedaan itu tidak cukup untuk menjelaskan berbagai peristiwa, misalnya panik massa yang terjadi pada 1938 di Amerika ketika masyarakat mendengar dari siaran radio tentang serbuan makhluk dari Planet Mars. Apakah mereka takut atau gelisah? Mereka percaya bahwa ancaman itu benar-benar nyata, namun di sisi lain—menurut Bourke—mereka sebenarnya sedang bereaksi terhadap ketidakpastian yang muncul akibat perubahan-perubahan dalam komunitas dan bangsa mereka. Di masa sekarang, tatkala pengetahuan terus tumbuh mengenai Planet Mars, bila mendengar siaran radio semacam itu, orang akan tertawa.

Salah satu sumbangan dari studi literatur yang kaya oleh Bourke ialah temuannya mengenai bagaimana rasa takut itu dinarasikan oleh aktor-aktor sejarah. Ada pergeseran bahasa-bahasa untuk mengungkapkan ’takut,’ begitu pula narasinya. Dalam mengomunikasikan rasa takut, individu-individu memerlukan struktur naratif tertentu, termasuk genre, sintaksis, tata bahasa, dan kosakata. Cara mengucapkan (atau menuliskan) rasa takut itu juga mengubah sensasi ketakutan. Pergeseran cara orang menarasikan ketakutan mengubah pengalaman subyektif mereka.

Pertanyan penting yang selanjutnya perlu diajukan ialah: apa hubungan antara emosi individu dan masyarakat? Sejarah emosi, menurut Bourke, tidak bisa mengabaikan relasi kuasa. Emosi-emosi, seperti rasa takut, tulis Bourke, bukan milik individu ataupun kelompok sosial. Emosi-emosi ini memediasi individu dan sosial. Dalam kata-kata Sara Ahmed, merujuk pada kebencian, emosi-emosi memediasi batas-batas antara ”ruang tubuh” dan ”ruang sosial.”

Contohnya ialah bagaimana struktur sosial membentuk ketakutan individual: seorang pengidap AIDS menjadi panik karena dipersepsikan sebagai gay—padahal AIDS dapat menular pula melalui transfusi darah atau jarum suntik yang dipakai ulang dari orang lain yang mengidap AIDS. Ia panik karena orang-orang sekitarnya kemudian bersikap berbeda. Contoh lain: seorang perempuan menjadi ketakutan ketika mendengar vonis dari dokter bahwa ia mengidap kanker payudara yang tidak dapat disembuhkan.

Dalam konteks ini, kata Bourke, rasa takut menjadi perkara relasi kuasa. (Indonesiana.tempo.co)
"The enemy is fear. We think it is hate; but, it is fear.”
-- Mahatma Gandhi (1869-1948)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)