Tasawuf atau sufisme, di atas tahun 80-an kembali menjadi nge-tren di dunia. Bahkan di Indonesia setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar dan kursus-kursus tentang tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang.
Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu.
Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang? Manusia modern sebenarnya manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern, manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status, posisi, sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia merasa terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa diri. Nah, untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke berbagai macam hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu “narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang ini banyak orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf.
Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu orang-orang Islam yang lebih berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena itu beberapa orang (tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf itu bid’ah dan menyesatkan manusia.
Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran tasawuf, pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf itu lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan mencari kulit daripada mencari isi atau substansi ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu budipekerti atau akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti membid’ahkan para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan keadilan, itulah yang disebut tasawuf!
Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyak-banyaknya, dan akhirnya menjadi hamba manifestasi Ilahi, yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut “manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan.
Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis di bawah ini.
1. Surat Ali Imran/3:31,
Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim.
Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,”
2. Surat Al Baqarah/2:115,
Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi-‘un ‘aliim.
“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu. Karena itu, kemana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.”
3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43,
Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru llaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan wa ashiila. Huwa l-ladzii yushallii ‘alaikum wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zh-zhuluumati ila n-nuuri wa kaana bi l-mu’miniina rahiima.
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang. Dia-lah yang melimpahkan rahmat kepadamu, begitu pula para malaikat-Nya, dengan maksud mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju kehidupan yang bercahaya; dan Dia menyayangi orang-orang yang beriman.”
4. Surat Qaaf/50:16,
Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habli l-wariid.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Enam ayat inilah yang dijadikan landasan awal dalam hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik tangga, maka harus melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah para ahli tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah diketahui bahwa perintis Islam di seantero jagat adalah para sufi, orang-orang tasawuf. Mereka inilah yang memperkenalkan Islam dengan hikmat dan pelajaran yang baik.
Baru kemudian diisi oleh kalangan formalis. Umumnya kalangan formalis menjumpai kegagalan dalam mengembangkan Agama Islam. Mengapa demikian? Karena oleh kalangan formalis, syariat Islam itu dikonfrontasikan dengan adat-istiadat atau budaya setempat. Sehingga mereka dijauhi oleh umat. Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi khusyuknya pelaksanaan ibadah puasa, pihak-pihak yang merasa sangat formalis ini ribut menutup kafe, restoran, dan intinya meminta orang menghormati puasa. Lho, beragama itu seharusnya tidak untuk minta dihormati. Orang harus menjalankan agama dengan santun Sehingga agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya.
Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka harapan orang bertasawuf adalah ‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu, manusia harus mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘” atau mengikuti Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat, maka mengikuti Rasul berarti secara langsung mematuhi perintah dan larangannya secara aktual. Namun, setelah secara fisik beliau tidak ada di tengah-tengah umat, beberapa sahabat berusaha untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang sederhana. Harta-bendanya didermakan untuk kepentingan umat. Dia tidak menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat sebagai khalifah, dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian untuk menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa mengucapkan demikian. Bahkan kalimat yang pertamanya adalah, “Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Juga suka mengganjal perutnya jika kelaparan, sebagaimana yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian daripada makan makanan yang tidak tahu halal dan haramnya.
Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar. Umar menampilkan diri sebagai seorang khalifah yang amat sederhana. Administrasi militer dan pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al Quran lebih didorong, sedangkan catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan. Hal ini dia lakukan agar umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak Rasul Allah s.a.w. adalah Al Quran itu sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun sebagai kepala pemerintahan dia berhak mendapatkan istana gedung dan pengamanan dirinya, tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun malam banyak jaga untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan pemerintahan.
Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah, dan bukan darah kaum muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil menghunus pedang, sedangkan baginya terbuka untuk menumpasnya, dia tetap menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan: “Saya tak mau menemui Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”
Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu dengan penuh ketenangan. Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan besar, dia menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang presiden harus meninggalkan istana negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus memperhatikan keadaan warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak sesuai kondisi rakyat. Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang lemah. Meskipun sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orang-orang tua yang dia jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan itu, Ali menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash/28:83)
Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah ampunan atau perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan yang mulia inilah yang diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka tak mau bid’ah-membid’ahkan sesama umat. Mereka memberikan contoh yang bisa menentramkan hati orang yang sedang gundah.
Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta mereka pindah agamanya. Mereka, para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim, diperlakukan sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan dengan benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan pindah ke Islam, ya diterima dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya tetap dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki yang semula hanya 20% penduduknya yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya dengan kesadarannya sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam.
Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan penetrasi damai. Walaupun tidak menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan rakyat. Mereka tetap mencoba memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup di dunia ini.
Kesederhanaan masjid-masjid yang di nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa yang membawa ajaran Islam adalah mereka yang berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam “wetu telu” atau shalat di tiga waktu yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur dan di Talaud di Sulut menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli tasawuf ini tak mau unjuk kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam dengan cara damai.
Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2 di atas sangat ditekankan. Kemana saja manusia itu memalingkan dirinya, niscaya ia tetap menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap Wajah Allah! Hal ini harus dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap Allah” saja, melainkan menghadap Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru mata angin, bukanlah Allah. Islam tidak mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah keseluruhan alam ini. Islam mengajarkan bahwa semua ini ada karena dihadirkan oleh Allah. Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana saja kita menghadapkan diri kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak akan ada wujud alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya. Karena itu kemana kita memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah.
Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai hamba kita diseru untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata, berzikir kepada Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini dimaksudkan agar nurani kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah kehidupan yang terang, yang bercahaya, yang transparan. Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang mulia ini niscaya kita tidak timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai, yaitu Allah. Bertasbih adalah tindakan untuk menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk menjauhkan diri dari segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi, bertasbih alias memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap “subhaanallah”. Tetapi ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan engkau dari apa yang mereka sifatkan.
Semua perbuatan bajik itu ditunaikan oleh orang-orang yang mencintai Tuhan karena mereka sadar bahwa Kekasih mereka itu selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup ini dalam pengawasan Tuhan. Para pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih. Mereka sadar bahwa kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka daripada urat nadi leher mereka. Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti diketahui. Ada prinsip transparansi dalam akuntansi kehidupan ini.
Dari : Rangkuman
ceramah mingguan oleh Achmad Chodjim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar