Pemahaman yang menganggap bahwa semua agama itu sama telah ada di Indonesia sejak lama. Setiap agama diposisikan memiliki kebenaran yang sama, semua menjanjikan kebaikan, membawa keselamatan, mengajarkan kehidupan penuh kasih sayang, dan sebagainya. Pemahaman ini pada giliran selanjutnya menafikan kebenaran absolute dari sebuah agama demi mencapai kehidupan bersama yang toleran. Ketika sebuah agama dianggap memiliki nilai kebenaran yang sama dengan agama lain maka hakikat kebenaran itu sendiri pada gilirannya menjadi absurd dan debatable. Di antara pandangan yang berasas demikian pada era ini antara lain diwakili dengan berkembangnya pluralisme agama. Sedangkan pada masa lampau, paham yang serupa telah disebarluaskan oleh kelompok theosofi.
Theosofi merupakan gerakan trans-nasional yang diijinkan beroperasi di Nusantara dalam masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda. Theosofi ini memiliki kaitan erat dengan organisasi yang dimotori kaum Yahudi yang bernama Freemasonry. Di Hindia Belanda kelompok theosofi ini awalnya bernama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Theosofi Hindia Belanda) yang merupakan cabang dari perkumpulan theosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India.[1] Di Hindia Belanda kelompok ini didirikan oleh Ir. A. E. Van Blomestein pada 31 Mei 1909. Baru pada 12 November 1912, organisasi ini mendapat pengakuan dari Pemerintah Kolonial Belanda sebagai rechtspersoon (badan hukum) dan anggaran dasarnya dimuat dalam Staatblaad No. 543.[2]
Paham theosofi ini menganggap bahwa semua agama memiliki titik persamaan kebenaran. Dalam menjelaskan paham kesamaan agama ini theosofi sendiri berusaha mengukuhkan posisinya. Theosofi mengklaim bahwa ia berada di atas semua kebenaran agama tersebut. Di satu sisi ajaran theosofi berusaha mengembangkan paham kesamaan dari semua agama dan menjalankan persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan agama tersebut. Paham pluralisme agama tercermin secara langsung melalui aplikasi pengelompokkan dan adopsi ” Kebenaran” dari semua agama dunia. Namun demikian, umumnya, ajaran Islam terabaikan pada ”sudut mati” dan sekaligus diposisikan sebagai lawan. Pada wilayah ini theosofi menganggap bahwa ajarannya merupakan ”sari pati” dari agama dan oleh karenanya memiliki posisi lebih tinggi dari agama.
Sebagaimana pluralisme agama, theosofi mengambil ”inti sari” ajaran dari berbagai agama sebagai legitimasi dan justifikasi ajaran sendiri. Upaya ini bukan dilakukan untuk mendukung pengembangan keagamaan yang ada, namun theosofi mengambil langkah ini untuk membuka jalan bagi pencapaian agendanya sendiri terkait kehidupan keagamaan. Tidak jarang interaksi yang dilakukan oleh theosofi bersifat mengaburkan ajaran suatu agama dan perbedaannya dengan agama lain. Prof. Dr. (Buya) Hamka, seorang ulama muslim Indonesia, menganggap bahwa jargon ”penyatuan agama” termasuk dalam ajaran theosofi hanya merupakan upaya trial and error belaka. Karena tidak dibawa oleh nabi dan terbentuk oleh dialektika filosofis spekulatif, maka tidak memiliki ajaran yang kokoh mengakar kuat.[3] Dr. B.M. Schuurman, akademisi Kristen, menyatakan bahwa theosofi sebagai produk olahan dengan dan melalui ”nalar luhur” manusia, tidak akan mampu menemukan kebenaran sejati. Kebenaran menurut theosofi tunduk sebagai hasil pergulatan ”nalar luhur”, sedangkan kebenaran sejati harusnya bersumber dari kehendak Allah, bukan dari nalar sebagai ciptaan. Oleh karenanya theosofi tetap tidak mampu memberikan penjelasan terhadap ”rahasia kehidupan” secara tuntas sebagaimana konsep yang dimiliki oleh agama.[4] Dalam hal ini Schuurman mencoba berdialektika dengan menganggap bahwa ajaran Kristen lebih bermutu tinggi daripada ajaran theosofi.
THEOSOFI DI JAWA
Di Jawa theosofi berusaha merekrut anggotanya dari kalangan terpelajar, bangsawan keraton, orang-orang berpengaruh, dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia. Aliran kebatinan Yahudi ini, nyatanya bukan hanya menjangkau kalangan elit masyarakat namun secara langsung maupun tidak langsung turut mewarnai pula rakyat kalangan bawah.
Sejumlah buku berbahasa Jawa telah diterbitkan guna mempublikasikan ajaran theosofi. Adapun buku-buku tersebut umumnya menggunakan carakan Jawa (aksara Jawa). Diantara buku-buku yang memuat doktrin theosofi berbahasa Jawa tersebut antara lain adalah Serat Weddasatmaka (4 jilid), Kitab Makrifat (2 Jilid), dan Babad Theosofie. Serat Weddasatmaka dan Kitab Makrifat banyak berbicara tentang masalah ”ketuhanan” dan pencapaian ”keutamaan” sejati. Sedangkan Babad Theosofie mengisahkan tentang awal mula berdirinya Perhimpunan Theosofie di Amerika Serikat sampai menjadi ajaran yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penerbitan ajaran Theosofi ke dalam Bahasa Jawa ini sudah tentu merupakan salah satu upaya agar ajaran ini mampu terinternalisasi oleh warganya. Sekaligus sebagai upaya untuk memperlihatkan kepada umat Islam di Jawa bahwa Theosofi tidak berbeda jauh dengan ”tasawuf”. Yang terakhir ini jelas merupakan sebuah upaya theosofi untuk mendekati dan menarik simpati pemeluk agama Islam.
Selain terbitan – terbitan dengan menggunakan aksara Jawa tersebut, juga terdapat publikasi lain yang umumnya menggunakan Bahasa Melayu, Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Kitab Makrifat di atas juga termasuk yang diterbitkan dalam Bahasa Melayu, selain menggunakan Bahasa Jawa. Juga termasuk Majalah ”Pewarta Theosofie”, Majalah ”Theosofie di Hindia Belanda”, dan lain sebagainya. Media dalam bahasa asing juga beredar di Hindia Belanda misalnya Theosofische Maandblad, De Pioner, The Theosophist, Theosophia, The Adyar Bulletin, The Herald of Star, dan Zeithchrift fur Parapsychologie.[5] Hal ini menunjukkan bahwa theosophy mencoba menarik perhatian dari sejumlah kalangan, baik warga bumi-putera maupun bangsa asing.
Di antara buku-buku dan produk terbitan tersebut, telah diungkapkan tentang keberadaan Babad Theosofie. Babad yang ditulis pada tahun 1815 ini merupakan sebuah buku yang diterbitkan dalam rangka memperingati 40 tahun berdirinya Perhimpunan Theosofi.[6] Buku yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa tersebut menceritakan tentang perjalanan organisasi Perhimpunan Theosofi yang didirikan pada 17 November 1875 di Amerika Serikat. Juga memberikan sanjungan kedua tokoh yang aktif mengembangkan ajaran Theosofi melalui perkumpulan tersebut yaitu Kolonel Henry Steel Olcott dan Helena Petrovna Blavatsky[7] (biasa disingkat HPB). Kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907) adalah mantan tentara Amerika yang kemudian bekerja sebagai lawyer. Ia adalah presiden pertama Theosofi yang menjabat selama 32 tahun. Ia merupakan salah satu anggota freemasonry, sebuah gerakan rahasia pendukung zionisme, yang kerap melakukan kampanye bagi persaudaraan universal (universal brotherhood). Sedangkan Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891) adalah wanita berdarah Yahudi dan aristokrat Rusia yang berkecimpung dalam dunia occultisme sejak masih remaja. Petualangan Blavatsky untuk mengungkap spiritisme, kabarnya telah membawa dirinya untuk mempelajari doktrin Kabbalah dari seorang rabi Yahudi.[8] Pengalaman-pengalaman ini kemudian tercermin jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Blavatsky, termasuk pendiriannya dalam perumusan tentang theosofi. Di antara pujian yang ditulis pengarang babad untuk kedua tokoh theosofi di atas adalah sebagai para minulya ingkang darajadipun wonten sanginggiling manungsa[9] (golongan orang mulia yang derajadnya berada di atas manusia).
Meskipun banyak memanfaatkan dalil dan ritual agama, namun pada akhirnya agama dianggap tidak penting untuk menjadi titik pertemuan dalam persaudaraan manusia. Ajaran theosofi sendiri berusaha untuk meminggirkan agama sedemikian rupa. Babad Theosofie menggambarkan proses ini secara kentara dalam proses pendidikan anak sejak dini sesuai dengan salah satu cita-cita theosofi yaitu ambudi pamredining lare, boten mawi gepokan agami, … [10] (mengusahakan pendidikan anak-anak dengan mengabaikan persentuhan dengan agama). Agama dalam pandangan ini ditempatkan bukan sebagai kebenaran absolut sehingga dalam mempelajari agama masing-masing, anggota theosofi diharapkan tidak menganggap ajaran agamanya paling benar. Melainkan terdapat juga kebenaran dalam agama lain yang bisa dihayati. Babad Theosofi mengungkapkan proses ini dilakukan dengan menganjurkan agar warganya bukan sekedar melakukan kajian pendalaman terhadap agama yang dianut oleh masing-masing anggotanya melainkan juga melakukan proses perbandingan dengan agama lain. Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Angajengaken pambudining kawruh agami sarana agaminipun piyambak-piyambak, tuwin nenandhing agami[11]
Artinya:
Memajukan pembelajaran agama melalui agama masing-masing dengan melakukan proses perbandingan agama.
MENAWARKAN AJARAN TERSENDIRI
Theosofi sendiri juga menawarkan ”keyakinan baru” kepada anggotanya yang bersifat majemuk dalam hal keagamaan tersebut. Dengan demikian theosofi tidak sepenuhnya mencoba menguatkan dan memperkaya pemahaman masing-masing anggota dengan ajaran agamanya masing-masing, melainkan juga menawarkan sebuah sistem ”agama” yang baru. Tidak jarang pada akhirnya lahir praktik ”keagamaan” yang bersifat sinkretis sebagai konsekuensi logis sikap theosofi terhadap entitas agama. Di Jawa nampaknya sempat terjadi ”sedikit” masalah dalam awal-awal pengenalan ajaran yang diadopsi oleh theosofi dari sejumlah kebudayaan Timur, terutama dari India. Penganut Agama Islam yang bergabung dalam Perhimpunan Theosofi kurang bisa menerima ajaran tentang karma dan reinkarnasi yang dipublikasikan melalui ceramah-ceramah dalam pertemuan rutin penganut theosofi. Babad Theosofie mengungkapkan tanggapannya terhadap hal tersebut sebagai berikut:
…. ungel kula ingkang maratelakaken manawi theosofi boten purun mengku dhateng tiyang, pikajeng kula ingkang kula tembungaken makaten wau, warga boten kapeksa kedah pitados dhateng ingkang kawulangaken ing pakempalan, tiyang lumebet dados warga boten prelu kedah pitados dhateng piwulang ingkang sapunika sampun kalimrah namapi[12] wulang theosofi, ingkang kedah nyanggemi dhateng pasadherekanipun sadaya manungsa. Sarta niyat tumut ambudi sagedipun kalampahan, ewadene piwulang sarta pamanggih kados punapa kemawon nyumanggakaken anggen jengandika nganggep, ingkang meh sampun boten kenging dipun pisah kaliyan theosofi. Nanging samangke kula pitaken upami boten wonten piwulang, punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab karma tuwin tumimbal lair, kados boten saged, ewadene miturut pangandikanipun Kolonel Olcott ngatos dumugi warsa 1879 Kolonel Olcott kaliyan HPB, dereng nate mireng prakawis punika. Sanadyan sampun mireng nanging boten anginten bilih punika badhe dados satunggaling bab ingkang yektos nama raos theosofi.[13]
Artinya :
Ucapan saya yang menyatakan bahwa theosofi tidak bersedia mengekang manusia, maksud saya adalah warga tidak dipaksa harus percaya kepada apa yang diajarkan dalam perkumpulan, orang yang masuk menjadi warga tidak harus percaya dengan pelajaran yang sudah lumrah diterima dari ajaran theosofi, yang harus bertanggungjawab kepada persaudaraan semua manusia. Serta niat ikut berupaya terlaksananya , namun demikian pelajaran serta pendapat seperti apa pun dipersilakan, yang sudah tidak dapat dipisahkan dari theosofi. Tetapi sekarang saya bertanya jika tidak ada pelajaran, apakah manusia bisa merasakan theosofi tanpa melibatkan bab karma dan kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa, meskipun demikian menurut pernyataan Kolonel Olcott sampai tahun 1879 Kolonel Olcott dan Helena Petrovna Blavatsky belum pernah mendengar permasalahan tersebut. Walaupun sudah mendengar namun belum mengira bahwa hal itu akan menjadi salah satu bab yang sesungguhnya menjadi rasa theosofi.
Sang pengarang Babad Theosofi seolah-olah menyerahkan bahwa masalah kepercayaan terhadap ajaran theosofi menjadi pilihan ”bebas” bagi anggota untuk menentukan. Namun ungkapan Nanging samangke kula pitaken upami boten wonten piwulang, punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab karma tuwin tumimbal lair, kados boten saged (tetapi sekarang saya bertanya jika tidak ada pelajaran, apakah manusia bisa merasakan theosofi tanpa melibatkan bab karma dan kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa) di atas merupakan penegasan diplomatis bahwa seseorang tidak dapat merasakan theosofi tanpa mempercayai semua aspek dalam sistem ajarannya, termasuk keyakinan tentang karma dan reinkarnasi.
Kepercayaan yang diadopsi dari Agama India, yaitu Hindhu dan Budha berupa ajaran tentang karma dan reinkarnasi memang menjadi salah satu ajaran khas yang dimiliki oleh theosofi.[14] Oleh karenanya, kepercayaan terhadap kedua hal ini tidak dapat ditinggalkan oleh penganut ajaran theosofi. Warga theosofi yang menganut agama Islam, tidak ada pilihan lain kecuali terikat pula kepada doktrin tersebut. Padahal ajaran tentang keberadaan karma dan reinkarnasi, jelas tidak mendapatkan justifikasi maupun legitimasi dari sumber-sumber hukum Islam. Menjadi anggota theosofi sekaligus seorang muslim kaffah adalah pilihan yang mustahil. Sebab pada tataran ini, menampakkan dua sistem ajaran yang berbeda secara diametral. H. P. Blavatsky, penggagas mula-mula theosofi, sendiri sejak awal telah melakukan kajian yang cukup mendalam terhadap eksistensi karma dan reinkarnasi sebagai ”jiwa” theosofi.[15]
Ajaran tentang karma dan reinkarnasi hanya sebagian kecil dari pengajaran theosofi yang bertentangan dengan nilai keislaman. Di luar itu masih terdapat ajaran lain yang tidak dapat disejajarkan dengan praktik ritual keislaman, misalnya ajaran theosofi menyangkut kehidupan setelah mati. Juga ritual pemanggilan makhluk halus yang sering dipraktikkan di loge-loge theosofi. Babad Theosofie mengambarkan bahwa pada awal-awal pendirian theosofie di Amerika Serikat ritual pemanggilan setan ini sudah mulai diperkenalkan. G. H. Felt, seorang pakar tentang mistik dan proporsi bangunan Mesir kuno, telah mencoba memperkenalkan ritual tersebut kepada anggota theosofi.[16] Meskipun upaya pemanggilan makhluk halus ini gagal dilaksanakan dan sempat membuat theosofi ditinggalkan anggotanya, namun pada masa-masa selanjutnya menjadi ritual penting. Keberadaan upacara memanggil arwah atau setan ini tidak jauh berbeda dengan ritual yang dilakukan oleh pengikut freemasonry. Keberadaan ritual pemanggilan makhluk halus (setan) menyebabkan loge (dijawa disebut loji) milik theosofi, terutama di Jawa, sering dicap dengan atribut sebagai ”gedung setan” atau ”rumah setan”. Oleh karena itu theosofi yang dewasa ini berkembang di Indonesia tidak lagi menyebut tempat ritualnya sebagai loji, melainkan dinamakan ”sanggar”.[17] Praktik-praktik ritual theosofi ini sudah tentu tidak dapat dijalankan oleh seorang muslim yang memiliki komitmen keislaman yang kuat. Seorang pengabdi Allah, pada saat bersamaan tidak seharusnya menjalankan kemusyrikan dengan menjadi pemuja setan. Mengadopsi kedua entitas tersebut secara bersamaan jelas akan melahirkan perilaku dan praktik keagamaan yang paradoksal.
Pada sisi yang lain, theosofi seringkali menampakkan diri sebagai ajaran tasawuf di Jawa.[18] Hal ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan oleh gerakan theosofi untuk merangkul pengikut dan menarik simpati, terutama dari kalangan elit Jawa yang umumnya beragama Islam. Pendekatan dengan mengidentikkan ajarannya sebagai tasawuf ini dapat dilihat secara gamblang dalam kitab-kitab resmi ajaran theosofi berbahasa Jawa seperti Serat Weddasatmaka dan Serat Makrifat. Kedua kitab ini berusaha mengetengahkan konsepsi theosofi dengan meminjam sejumlah terminologi dan sistem yang berasal dari ajaran tasawuf. Hasilnya, jelas bukan tasawuf yang mendasarkan pandangannya kepada sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Sunnah, melainkan bersifat kontradiktif dan tidak jarang antinomis terhadap ajaran Islam itu sendiri. Serat Weddasatmaka sebagai contoh, mengakui bahwa eksistensi tujuh langit sebagaimana dalam konsepsi Islam (Qs. Albaqarah :29). Hanya saja serat ini kemudian mendefinisikan sendiri ketujuh langit tersebut dengan menggunakan keyakinan yang lain. Definisi langit ketujuh, misalnya, dalam buku tersebut dianggap bukan langit dalam makna yang sesungguhnya (harfiah). Langit ketujuh secara alegoris dimaknai sebagai alam yang ada dalam diri manusia dan wujud halusnya (roh).[19]
Dengan memahami keberadaan sejumlah ajaran seperti di atas, maka dapat diketahui bahwa munculnya paham pluralisme yang menganggap semua agama sama dalam theosofi, bukan dalam rangka memperbaiki dan memperkaya nilai-nilai agama apalagi mempertinggi kualitasnya. Demikian juga anjuran untuk memperbandingkan semua bentuk ajaran agama. Tidak lain hal itu lebih sebagai upaya pendekatan yang dilakukan oleh theosofi untuk bersentuhan dengan pemeluk agama dan memenangkan ”keunggulan” ajarannya sendiri. Theosofi bukan saja mengambil semua ”Kebenaran” dari agama, melainkan bermaksud mengokohkan posisinya berada di atas agama dan merusak sistem ajaran yang ada di dalam agama yang bersangkutan.
S. Joedosoetardjo, seorang penganut theosofi dari Semarang, dalam majalah ”Brahmawidya”, salah satu terbitan berkala theosofi, mengungkapkan bahwa theosofi sendiri bukanlah agama. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan. Diantaranya, theosofi tidak memiliki ”syahadat” yang mengikat manusia untuk percaya kepada sistem ajaran dalam theosofi. Theosofi juga tidak memiliki Nabi, ajarannya tidak diwiridkan saja namun diamalkan guna mencapai kemajuan. Theosofi juga mengajarkan bahwa manusia tidak hanya hidup sekali saja melainkan berkali-kali sehingga manusia tersebut dapat mencapai kesempurnaan Tuhan dan sejumlah argumentasi lainnya.[20] Tulisan Joedosoetardjo tersebut nampaknya berusaha untuk mendefinisikan bahwa theosofi adalah ”kehidupan kebatinan” yang berbeda dari agama, utamanya Islam.
Buku “Babad Theosofie” mengakui bahwa kaum theosofi telah melakukan sejumlah upaya untuk mempengaruhi spiritualisme di dunia timur dimana salah satunya adalah dengan memasukkan unsur-unsur ajaran theosofi dalam kitab-kitab primbon.[21] Maka tidak mengherankan bila terdapat kitab-kitab primbon kebatinan di Jawa yang mengedepankan ajaran mistik dan klenik, ternyata kental pula dengan pandangan theosofi. Contoh primbon yang dimaksud masih dapat dijumpai misalnya dalam buku “Pustaka Radja Mantrayoga” yang dikarang oleh “Sang Harumdjati”,[22] yang dimungkinkan sebagai nama samaran. Oleh karena itu tidak mengherankan jika terdapat kitab-kitab primbon yang memiliki “jiwa Islam” namun tidak murni lagi karena masuknya sinkretisme ajaran yang dipopulerkan oleh kaum theosofi, yang seringkali mengambil apa yang disebut sebagai “kebijaksanaan” dari semua agama. Hal ini merupakan cara yang cukup halus dalam menghilangkan ajaran Islam dari kehidupan “batin” masyarakat Jawa.
SINIS TERHADAP AGAMA
Theosofi sendiri memiliki pandangan yang cukup sinis terhadap eksistensi ajaran agama. Ajaran theosofi senantiasa menekankan urgensi persaudaraan antar manusia tanpa memandang agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan yang bersifat manusiawi lainnya. Agama dalam posisi ini dianggap sebagai salah satu pemantik konflik, bukan hanya konflik antar agama bahkan umat seagama pun juga mengalaminya. Perbedaan ajaran antar agama maupun perbedaan pendapat antar umat seagama seringkali diposisikan sebagai sumber konflik utama. Babad Theosofie mengungkapkan bahwa salah satu tujuan theosofi adalah sebagai berikut:
Amabeni sawarnining lampah ingkang nyamar, nadyan ingkang nunggil utawi boten nunggil agami, saben sulaya kalayan pamanggihipun kadosta pitadosipun dhateng kaelokan ingkang mrojol sangking wewaton, mangka sampun katitipriksa ngantos salesih bilih tetela manawi kalentu.[23]
Artinya :
(Menjaga sejumlah tindakan yang mengkhawatirkan, walaupun satu agama maupun berbeda agama, setiap ada konflik dengan pendapatnya seperti kepercayaan terhadap keajaiban yang berada di luar akal, padahal sudah diperiksa dengan teliti bahwa hal itu keliru).
Namun demikian nampaknya Perhimpunan Theosofi sendiri tidak mencoba mawas diri untuk self-evaluation dengan mengaca kepada sejarah perjalanan theosofi itu sendiri. Konflik-konflik yang berkembang di tubuh penganut theosofi seringkali berujung kepada perpecahan serius. Perebutan kedudukan sebagai presiden theosofi antara dua tokoh penting paham ini, yaitu Dr. Annie W. Besant (1847-1933) dari Inggris dan William Quan Judge (1851-1896) dari Amerika telah menimbulkan adanya perseteruan antara keduanya dan merembet pada pengikut masing-masing. Pasca Annie Besant menjadi presiden Theosofi, loge-loge di Amerika tidak mau tunduk lagi kepada kepemimpinan Besant. Gerakan ”perlawanan” ini dimotori oleh tokoh theosofi wanita bernama Katherine Tingley, pengarang buku “Theosophy : the Path of Mistic”. Untuk memperkuat posisinya maka Annie Besant kemudian menghubungkan theosofi dengan menggandeng gerakan freemasonry, dimana ia sebelumnya telah menjadi anggota dari perkumpulan pendukung zionisme ini.[24] Ramalan-ramalan Annie Besant tentang datangnya ”Guru Besar” bagi manusia yaitu ”Khrisnamurti”, juga menyebabkan penentangan dan perpecahan tersendiri. Rudolf Steiner, pemikir theosofi dari Jerman, merupakan tokoh yang berusaha menyangkal ”nubuatan” Besant tersebut.[25] Penyangkalan-penyangkalan ini pada masa selanjutnya menyebabkan keorganisasian theosofi dan ajarannya tidak pernah menyatu.
Menanggapi konflik-konflik ini, pengarang Babad Theosofie nampaknya kurang percaya diri untuk menjelaskan kronologis perseteruan yang terjadi antar kubu tersebut. Namun demikian pengarang babad, sebagaimana umumnya penganut theosofi di nusantara, kebanyakan merujuk kepada kepemimpinan dan pemikiran Annie Besant. Sang pengarang babad berdalih bahwa konflik yang menyebabkan theosofi banyak kehilangan anggota tersebut merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan konflik yang terjadi sangat bermanfaat sebagai mekanisme penyaring untuk memunculkan anggota-anggota yang benar-benar berkualitas. Hal ini diungkapkan oleh sang pengarang secara diplomatis dan apologis sebagai berikut:
Serat-serat pawartosipun theosofi asring nyariyosaken, manawi pakempalan mentas katempuh prahara ageng, pakempalan malah katingal ngrembaka, mila manawi pakempalan kataman pakewet, ngatos wonten warga ingkang medal, punika ingkang kandel manahipun, lajeng sami mungel : Para warga theosofi dipun irigi, dados pundi ingkang alit manahipun inggih dhawah.[26]
Artinya:
Tulisan-tulisan berita theosofi sering menceritakan, jika perkumpulan baru saja mengalami prahara besar, maka perkumpulan justru terlihat berkembang, maka jika perkumpulan mendapatkan kesulitan, sampai ada warga yang keluar, biasanya anggota yang teguh hatinya akan mengatakan: Para warga theosofi sedang disaring, jadi siapa yang kecil hatinya akan jatuh ke bawah …
Peristiwa perebutan kekuasaan di atas hanya merupakan sebagian kecil saja konflik yang terjadi dalam tubuh theosofi. Kehadiran theosofi nyatanya juga melahirkan konflik baru bagi agama-agama yang telah ada baik dalam internal agama maupun dengan agama lainnya. Sejarawan M.C. Ricklefs menggambarkan bahwa gerakan-gerakan intelektual yang bersifat anti Islam yang sempat berkembang di Indonesia pasca tahun 1900 umumnya memiliki kaitan dengan gerakan dan paham theosofi. Ricklefs menggambarkan bahwa paham theosofi ini berusaha mengkombinasikan antara budi dan buda. Budi merepresentasikan sifat intelektual dalam pemikiran ilmiah Barat. Sedangkan Buda merupakan ajaran yang berkembang sebelum masuknya Islam.[27] Kemunculan kombinasi tersebut tidak lepas dari upaya menyingkirkan eksistensi dan peran Islam dari kehidupan masyarakat ”intelektual” di Hindia Belanda. Munculnya oknum-oknum anti-Islam dari tubuh theosofi ini jelas memberikan ”pekerjaan rumah” baru bagi umat Islam di Indonesia.
Ajaran theosofi yang menganggap bahwa ia berada di atas agama, bukannya tanpa problem. Theosofi yang berusaha menghilangkan batas-batas antar agama, pada gilirannya tidak jarang melahirkan pola hubungan antar agama yang justru kurang harmonis. Dalam tahapan ini pandangan theosofi hanya menciptakan keruwetan baru bagi hubungan antar agama yang sebelumnya tidak selalu diwarnai konflik. Sekaligus membuktikan bahwa ajaran theosofi yang menekankan urgensi persaudaraan antar manusia hanya merupakan jargon belaka. Sebab sebagaimana kehadiran paham pluralisme agama, praktik theosofi justru melahirkan keruwetan-keruwetan baru bagi eksistensi sebuah agama dan pola hubungannya dengan agama lain. Alih-alih menciptakan kerukunan dan persaudaraan antar sesama manusia, yang terjadi justru menjadi bahan bakar dan sekaligus pemantik konflik.
PENUTUP
Sebagaimana pluralisme yang menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran yang sama, theosofi juga memiliki cara pandang serupa. Pluralisme saat ini telah berkembang menjangkau negeri-negeri berpenduduk muslim termasuk Indonesia dengan menawarkan pemahamannya. Demikian juga theosofi saat ini mulai memperlihatkan tanda-tanda kebangkitannya kembali. Meskipun keduanya memiliki tujuan untuk mempersatukan semua agama dalam suatu persaudaraan universal, namun kedua paham tersebut tetap berpijak pada suatu agenda, kepentingan, dan cara pandangnya sendiri. Agenda yang digulirkan bukan dalam rangka memperbaiki kehidupan keagamaan, melainkan bersifat destruktif terhadap sejumlah ajaran agama yang paling mendasar.
Agama dalam pandangan theosofi, juga dalam pluralisme, hanyalah merupakan suatu alat justifikasi dan legitimasi bagi kokohnya sebuah argumentasi dan kepentingan. Tujuan theosofi yang berusaha menciptakan suatu pola hubungan dan persaudaraan antar manusia tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, dan perbedaan alamiah hanya berhenti saja sebagai jargon. Sebab praktik-praktik theosofi yang berkembang justru paradoksal dengan ungkapan tersebut. Theosofi pada satu sisi merupakan paham yang bersifat merusak agama. Pada sisi yang lain juga menimbulkan keresahan akibat sejumlah ajarannya yang kontroversial dan menyimpan potensi konflik bagi praktik keagamaan yang ada.
Sejatinya Theosofi merupakan hasil perpaduan secara sinkretis antara spiritualisme Timur dan Barat dengan menggunakan kaca mata Barat. Hakikatnya, proses tersebut tidak murni sebagai usaha mengangkat dan menghidupkan kembali ”budaya” atau ”spiritualitas” Timur, melainkan merupakan bagian dari mekanisme pembaratan yang sedang berjalan. Demikian juga pluralisme seringkali memanfaatkan dan menggunakan ”kearifan lokal” sebagai unsur pembangun argumentasinya. Namun demikian tetap saja worldview Barat sukar dipisahkan dari entitas ajaran tersebut. Sebab argumentasi yang bersifat demikian hanya sekedar mencari ”akar” dan tidak pernah benar-benar ”mengakar”. (***)
[Makalah ini ditulis bersama oleh Susiyanto dan Fathurrahman Kamal. Susiyanto adalah pegiat Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI). Fathurrahman Kamal adalah dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan anggota Divisi Dakwah Pelajar-Mahasiswa Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP Muhammadiyah. Makalah ini dimuat dalam buku M. Amin Rais, M. Syukriyanto, dkk. “1 Abad Muhammadiyah: Istiqomah Membendung Kristenisasi dan Liberalisasi” yang diterbitkan secara resmi oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rangka Muktamar 1 Abad Muhammadiyah 3-8 Juli 2010 di Yogyakarta, Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com]
http://muslimdaily.net/artikel/home/dari-theosofi-menuju-pluralisme-agama.html
FOOTNOTE :
[1] Lihat Adian Husaini, MA. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Cetakan II. (Gema Insani Press, Jakarta, 2005). Hal. 32-33. Juga Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara. Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan Kini. (Khalifa, Jakarta, 2006). Hal. 6-8
[2] Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara. Fakta dan Data Yahud i… Hal. 7
[3] Lihat Prof. Dr. Hamka. Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya. Cetakan IX. (Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981). Hal. 149
[4] Dr. B. M. Schuurman. Pambijake Kekeraning Ngaurip: Jaiku Paugerane Pratjaja Kristen. Cetakan III. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1968). Hal. 90-92
[5] Lihat Majalah “Theosofie di Hindia Belanda”. Tahun ke–32 No. 4/ April 1939. (NITV, Batavia Centrum). Hal. 10
[6] Bakta. Babad Theosofie: Reringkesanipun Babating Pakempalan Theosofie. (Swastika, Surakarta, 1815). Hal. 3
[7] Nama aslinya adalah Helena Petrovna Hahn. Ia lahir di Ekaterinoslow, Rusia bagian Selatan tahun 1831. Pada 7 Juli 1848, ia menikah dengan Jendral Nikifor Blavatsky. Usia pernikahannya tidak lama, setelah 3 tahun mereka akhirnya bercerai. Namun demikian, ia tetap menggunakan nama Blavatsky pasca perceraiannya, sehingga ia dikenal dengan nama Helena Petrovna Blavatsky. Lihat Arthur Lillie. Madam Blavatsky and Her ”Theosophy” : A Study. (Swan Sonnenschein & Co, London, 1895). Hal. 1. Juga Dr. D.C. Mulder, Dr. J. Verkuyl, dan Ir. P. Telder. Geredja dan Aliran-aliran Modern. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1966). Hal. 35
[8] Artawijaya. Gerakan Theosofi di Indonesia: Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingga Era Reformasi. (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2010). Hal. 21-30
[9] Lihat Bakta. Babad Theosofie … Hal. 8
[10] Bakta. Babad Theosofie … Hal. 44
[11] Bakta. Babad Theosofie …. Hal. 47
[12] Mungkin aksara Jawa dari tulisan tersebut telah salah tulis. Mungkin maksudnya “nampi”
[13] Bakta. Babad Theosofie … Hal. 49-50
[14] Lihat buku-buku tentang ajaran theosofi, misalnya William Q. Judge. The Ocean of Theosophy. Edisi Kedua. (The Theosophical Publishing Society, London, 1893). Hal. 60-69, 89-98. Juga Irving S. Cooper. Theosophy Simplified. (The Theosophical Book Concern, California, 1915). Hal. 46-55. Juga Dr. Rudolf Steiner. Theosophy: An Introduction to the Supersensible Knowledge of the World and the Destination of Man. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari Bahasa Jerman oleh E. D. S. (Rand McNally & Company Publishing, Chicago-New York, 1910). Hal. 59-86. Juga L. W. Rogers. Elementary Theosophy. (Theosophical Book Concern, Los Angeles, 1917). Hal. 103-166
[15] Lihat selengkapnya karya H.P. Blavatsky. The Key to Theosophy : Being a Clear Exposition, in the Form of Question and Answer, of the Ethics, Science, and Philosophy for the Study of Which the Theosophical Society has been Founded. (The Theosophical Publishing Company Limited, London – New York, tth). Hal 197-223
[16] Bakta. Babad Theosofie…Hal. 13 -18
[17] Artawijaya. Gerakan Theosofi …. Hal.12. Bandingkan Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara. Fakta dan Data …. Hal. 4 -5. Juga Herry Nurdi. Jejak Freemason dan Zionisme di Indonesia. Cetakan III. (Cakrawala Publisihing, Jakarta, 2007). Hal. 17
[18] Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara. Fakta dan Data … Hal. 63
[19] Lihat Noname. Serat Weddasatmaka utawi Pepakeming Tiyang Agesang. Jilid III. (H. A. Benjamins, Semarang, 1905). Hal. 50
[20] Selengkapnya lihat artikel S. Joedosoetardjo. Theosofie itu Bukan Agama. Dalam Majalah ”Brahmawidya-Widya Pramana” terbit 1 Desember 1954 Tahun V. Hal. 1142
[21] Lihat Bakta. Babad Theosofie …. Hal. 11
[22] Lihat dan baca Sang Harumdjati. Pustaka Radja Mantrayoga. Cetakan IV. (Sadu-Budi, Surakarta, tth)
[23] Bakta. Babad Theosofie … Hal. 42
[24] Selengkapnya lihat Ir. P. Telder. Theosofi. Dalam Dr. D. C. Mulder, Dr J. Verkuyl, dan Ir. P. Telder. Geredja dan Aliran …. Hal. 37-40
[25] Ir. P. Telder. Theosofi … Hal. 43
[26] Bakta. Babad Theosofie … hal. 35
[27] M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Edisi III. (Palgrave, Hampshire, 2001). Hal. 168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar