Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengutip sebuah riwayat yang menyebutkan tentang Dajjal yang bukan Dajjal.
Beliau menyebutkan bahwa Dajjal tersebut bukanlah Dajjal yang sesungguhnya, tetapi justru dinisbatkan kepada sosok ulama.
Siapakah yang
dimaksud ulama ini ? Mengapa mereka bahkan terkesan lebih berbahaya
ketimbang Dajjal ?
Ini penjelasannya seperti disitat dari Kisah Hikmah.
"Aku sangat mengkhawatirkan kalian terhadap Dajjal yang bukan Dajjal.” sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Sebagian sahabat bertanya, “Siapakah yang engkau maksud, wahai Rasulullah ?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menjawab, “Ulama yang buruk.”
Ulama
yang buruk dinisbatkan lebih buruk dari Dajjal. Pasalnya, Dajjal itu
nyata. Jelas bentuk dan visinya.
Tidaklah dia diutus di akhir zaman,
kecuali untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan, dosa, dan
keburukan hingga terjerumus di dalam neraka.
"Sementara ulama
yang buruk,” tutur Imam al-Ghazali, “kendati lisan dan kata-katanya
mengajak manusia berpaling dari dunia, namun ia juga mengajak mereka
kepada dunia melalui tingkah laku dan perbuatannya (teladannya).”
Tindakan,
sebagaimana sudah menjadi keumuman, lebih dirujuk dan mudah diikuti
daripada perkataan lisan. Bahkan ada begitu banyak omongan yang tidak
berfungsi jika bertentangan dengan perbuatan.
"Bahasa sikap lebih
fasih daripada bahasa lisan. Sebab manusia lebih cenderung menyaksikan
tindakan nyata daripada memperhatikan atau mengikuti kata-kata.”
Lebih
lanjut, dampak buruk yang diperoleh dari mengikuti perbuatan buruk ini
jauh lebih dahsyat daripada kebaikan yang ditimbulkan dari mengikuti
kata-kata.
Imam al-Ghazali melanjutkan, “Kerusakan yang
ditimbulkan oleh orang yang tertipu dengan amal-amalnya lebih banyak
daripada kebaikan yang ia lakukan dengan kata-kata. Sebab, orang bodoh
berani rakus dengan dunia gara-gara orang pintar. Orang pintarlah yang
menjadi penyebab hamba-hamba Allah Ta’ala yang awam berani berbuat
durhaka kepada-Nya.”
Inilah orang pintar yang justru
membahayakan diri, agama, dan peradaban. Sebabnya, “Jiwanya sebenarnya
bodoh, terus menipu angan-angan serta harapannya. Ia menganggap dirinya
lebih baik dari kebanyakan hamba Allah Ta’ala.”
Tentu, nasihat
ini lebih bersifat reflektif bagi para hamba yang beriman. Janganlah
nasihat ini di jadikan alasan hingga seorang Muslim malas menuntut ilmu.
Yang seharusnya dilakukan adalah menuntut ilmu dari sumber yang suci,
lantas terus menerus mengamalkannya dengan berbagai jenis amal shalih.
Agar ilmu menyelamatkan. Bukan membahayakan atau menjerumuskan. Wallahu
a’lam. ( By Rifki M Firdaus )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar