Sejak zaman modern, diskursus agama di barat, telah berpindah dari tangan teolog ketanga para filosof. Pernyataan theology was subservient to philosophy atau under the tutelage of philosophy adalah realitas yang tidak disesali. Artinya teologi menjadi bulan-bulanan para filosof. Untuk sekedar menyebut beberapa nama, Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Padahal mereka tidak punya otoritas untuk bicara teologi.
Para pakar sosiologi, psikologi, antropologi dan lain - lain pun ikut-ikutan membawa agama ke ranah disiplin mereka. Para sosiolog menggunakan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) untuk menjustifikasi adanya perubahan dalam agama. Herbert Spencer (1820-1904) juga mengikuti. Friedrich Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim (1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) dan lain-lain mengaitkan agama dengan realitas sosial.
Akhirnya, wacana keagamaan mereka itu tidak lagi bisa disebut teologi, mereka lalu menciptakan apa yang mereka sebut philosophy of religion. Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan basis teorinya adalah filsafat Barat. Obyeknya adalah semua agama. Maka ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview Barat berada pada posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada diatas doktrin agama-agama. Di sini pembahasan agama berada pada zone bebas agama tapi tidak bebas dari worldview Barat.
Di era postmodern disiplin ilmu ini kemudian di kembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas Kultural (Cross-cultural philosophy of religion). Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama diperluas dari sekedar agama yang ada dalam kultur Barat menjadi agama-agama dan kepercayaan yang berasal dari kultur lain. Metode dan cara pandangnya tetap pemikiran filsafat, sosiologi dan antropologi Barat. Agama hanya dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan akan terus berubah sebagaimana makhluk hidup (living organism). Namanya pun dirubah menjadi sekedar penumpukan tradisi (cummulative tradition).
Namun, menurut Thomas Dean, benih-benih disiplin ilmu filsafat agama telah ada sejak tahun 1950an, ia berbuah pada tahun 1960-an, membesar pada tahun 1970-an dan menjadi buah masak pada tahun 1980-an. Benihnya adalah buku filsafat agama Ninian Smart (1958) Reason and Faith. Diikuti oleh karya Wilfred Cantwell Smith The Meaning and End of Religion (1960), yang membahas pemahaman agama lintas kultural dan kehidupan keagamaan sebagai sebuah dynamic historical continuum, dan bukan merupakan sistim tertutup. Periode pembesaran, ditandai oleh penerbitan essay analitis William Christian, Opposition of Religious Doctrines (1972).
Ditambah lagi ketika karya “kroyokan” para filosof dan pakar sejarah agama yang berjudul Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim (1974) dan yang disunting John Hick terbit. Buah itu menjadi semakin besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya, The Intrareligious Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion. Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred Smith yang berjudul Towards World Teology, dan karya John Hick berjudul Problems of Religious Pluralism (1985) dan Interpretation of Religion (Gifford Lecture, 1986-87).
Di dalam karyanya inilah Hick mendeklarasikan perlunya teologi global. Jadi “buah masak” dari disiplin filsafat agama adalah pluralisme agama. Goal getter nya adalah Smith dan Hick.
Jika seseorang memilih menjadi sarjana program studi filsafat agama di perguruan tinggi Islam boleh jadi ini hanya akan menambah barisan penggugat fatwa MUI. Artinya dari prodi ini akan lahir sarjana-sarjana pluralis yang akan percaya bahwa semua agama itu sama benarnya dan Islam bukan yang paling benar.
hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar