Dengan Berzikir Niscaya Hati Menjadi Tenteram, Selanjutnya Apa Lagi ?



Damai dalam pengertiannya dapat menunjuk secara umum ke dalam keadaan tenang - ketiadaan gangguan atau godaan. Damai dalam diri adalah sebuah kondisi pikiran, badan, dan jiwa yang terjadi di dalam diri. Damai dalam diri tidak dibatasi oleh keadaan, ruang dan waktu, orang, ataupun tempat, sehingga setiap individu dapat mengalami kedamaian dalam dirinya dalam keadaan apapun juga

Kedamaian merupakan dasar dari kesuksesan komunikasi dan interaksi dalam hidup. Tanpa kedamaian manusia tidak akan mampu berpikir. Tanpa keadaan damai tak ada kreativitas dalam diri manusia. Tanpa kreativitas manusia akan mencari kedamaian itu dari luar dirinya. Dan jika kedamaian itu harus diperoleh dari luar maka sesungguhnya yang bersangkutan sudah seperti kecanduan narkoba! Yang diperolehnya kedamaian semu! Kekayaan dihabiskan untuk membeli sebuah kedamaian, tetapi yang didapat hanya sesuatu yang semu.

Jihad pemikiran itu menarik garis yang tegas antara dunia manusia dari dunia binatang. Manusia harus berpikir untuk menemukan solusi dalam hidupnya. Manusia harus berpikir untuk bisa hidup bersama secara damai. Binatang hidup damai dengan binatang lainnya dengan mengandalkan kekuatan [fisik]. Ia taklukkan binatang-binatang lainnya, baru merasa hidup damai. Lalu, jika manusia tanpa menggunakan pikirannya dalam hidup ini, apa bedanya dengan binatang?

Dengan berpikir manusia bisa mengetahui apakah yang dimakan atau diminum itu membahayakan tubuhnya atau tidak. Dengan berpikir manusia dapat memahami bahwa judi dan mabuk-mabukan itu tidak sehat bagi kehidupannya. Dengan berpikir manusia dapat mengerti apakah langkah yang diambilnya itu membahayakan atau bermanfaat bagi dirinya. Dengan berpikir pula manusia bisa mengerti manusia lainnya! Apabila manusia sudah dapat mengerti manusia lainnya, maka di situlah demokrasi dapat ditegakkan. Di situlah keadilan di antara manusia bisa diwujudkan.

Ketika Nabi Muhammad Saw dibangkitkan sebagai seorang nabi, beliau pun diperintah oleh Tuhan untuk menyampaikan berita bahwa dirinya adalah manusia biasa. Mari kita perhatikan ayat berikut.
6: 50 Katakan, “Saya tidak mengatakan kepadamu bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah. Saya juga tidak mengetahui yang gaib! Dan saya juga tidak mengatakan kepadamu bahwa saya ini malaikat. Saya tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepada saya.” Katakan, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Apakah kamu tidak berpikir (tatafakkarun)?
Ayat ini memberi tahu kita bahwa manusia tidak boleh mengkultuskan manusia lainnya. Manusia harus diterima dan dihormati sebagai manusia. Manusia tidak boleh dipandang sebagai malaikat, apalagi Tuhan. Bahwa manusia yang satu punya kelebihan atas yang lainnya adalah benar! Dan itu tidak perlu diingkari. Suatu kelompok atau masyarakat mengangkat mereka yang memiliki kelebihan dari kebanyakan anggotanya adalah hal yang wajar, dan perlu. Tetapi, manusia tidak boleh didewakan, dipertuhankan, atau sejenisnya. 

Rusaknya tatanan pergaulan masyarakat itu karena adanya pengkultusan terhadap orang-orang tertentu. Demokrasi tidak akan terwujud di suatu masyarakat bila masih ada manusia di masyarakat yang bersangkutan didewakan. Karena dasar dari demokrasi adalah egaliter [persamaan] dan kebebasan [liberti]. Keduanya hanya ada dalam perdamaian sejati! Untuk dapat mencapai perdamaian sejati manusia harus terus berpikir. Dan berpikir itu adalah bagian dari amalan manusia.

Lalu, apa sih yang disebut ‘berpikir’ itu? Bukankah banyak orang mengatakan bahwa untuk menjalankan agama tidak perlu menggunakan pikiran? Katanya, banyak hal dalam agama yang tidak masuk akal. Atau, ada yang mendramatisasi bahwa akal ini tidak masuk ke dalam wilayah agama!

Manusia punya otak. Binatang [bertulang belakang] pun punya! Tetapi binatang tidak dapat berpikir. Otak pada binatang hanya sebagai markas koordinasi syarafnya. Sedangkan otak pada manusia juga merupakan alat untuk berpikir. Otak dan pikiran adalah dua hal yang berbeda! Pikiran lebih besar daripada otak, bahkan lebih besar daripada tubuh manusia itu sendiri.

Manusia menggunakan pikirannya untuk memahami berbagai tanda dan gejala di alam ini. Dan proses penggunaan pikiran itu ada di otak. Karena itu, jika kita serius berpikir [dan tidak memperhatikan kondisi kesehatan dan kemampuan otak] kepala kita bisa terasa pening atau pusing. Otak adalah bagian dari organ dalam fisik kita, seperti jantung, hati, ginjal dan lain-lain. Berapa berat beban yang dapat dipikul oleh otak, tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Tetapi setiap otak punya batas kekuatan. Ingat, segala sesuatu dicipta oleh Tuhan dengan kadar atau ukuran tertentu.

Perintah berpikir justru untuk mengangkat manusia dari lembah kebinatangannya. Karena itu, agama tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Ketika pikiran manusia belum berkembang, naluri atau ‘insting’ pada manusia yang berfungsi. Dan, naluri ini masih berfungsi pada dunia kanak-kanak dan tentu saja pada dunia binatang. Jadi, kalau kita tidak memberdayakan pikiran kita untuk berpikir, maka tak ubahnya kita ini sebagai kanak-kanak atau kasarnya tak ada bedanya dengan binatang. Lho, apa bedanya antara pikiran dan berpikir?

Kalau kita mau membuka dan menyimak kamus, kita akan mengerti bahwa salah satu makna dari ‘pikiran’ adalah akal. Dan seringkali diucapkan secara bergandengan menjadi ‘akal pikiran’. Baik akal maupun pikiran dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab ‘aql’ dan ‘fikr’. Akal adalah kata benda Arab yang berasal dari kata kerja aqala yang berarti mengikat. Sedangkan fikr berasal dari kata fakara yang berarti merenungkan, merefleksikan, mempertimbangkan, memperhatikan, dan menduga.

Jadi, dengan pikirannya manusia dapat memahami makna di balik yang kasat mata. Dengan pikirannya manusia dapat memahami gejala alam. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat terjebak sejarah.

Kita tak perlu terjebak dalam definisi ‘apa itu akal [pikiran]’. Tetapi kita tahu bahwa dengan akalnya manusia dapat mengingat objek-objek diterima panca indra. Dengan akalnya manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat dimengerti hewan. Dengan akalnya manusia dapat memahami hubungan antar objek yang diamatinya dan menyimpulkannya. Dan bukan sekedar menyimpulkan seperti komputer. Kesimpulan manusia bisa menembus dunia yang abstrak. Manusia bisa menghasilkan pendapat atau ‘ide’, yang tentu saja dibangun dari objek-objek yang diingatnya. Akal pikiran juga bisa membangkitkan imajinasi. Yang dari sini timbullah seni [tari, pahat, sastra, musik, rupa, olah raga, perang, kepemimpinan dll], dan penciptaan teknologi. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat ‘berprasangka’. Dengan berprasangka, sebenarnya manusia telah menipu dirinya. Karena ia telah memastikan sesuatu yang tidak diketahui-nya. Tentu saja kebanyakan prasangka itu meleset dari kenyataannya.

Kerja pikiran itu bagaikan sebuah bola. Begitu digelindingkan bola itu ingin terus menggelinding. Baru berhenti jika menabrak tanjakan atau karena bergesekan dengan bidang yang dilewatinya. Pikiran juga begitu! Mula-mula bayi dilahirkan tidak dapat berpikir. Lalu, orang-orang di sekelilingnya mendorongnya, entah sengaja atau tidak, untuk berpikir. Nah, begitu pikiran bekerja sulit pikiran itu berhenti. Bahkan tatkala kita beristirahat pun pikiran tetap bekerja, yang menghasilkan ‘lamunan’. Ketika tidur pun pikiran bekerja, dan menghasilkan mimpi.

Pikiran yang bekerja tanpa perintah ini bisa menganggu ketenangan manusianya. Sehingga ada orang yang tidak tenang hidupnya, selalu gelisah, disebut terlalu banyak pikiran. Bila semula pikiran dipahami sebagai ‘akal’, bila ia menjadi beban manusia pikiran telah menjadi negatif bagi kehidupan manusia.

Berpikir, bermenung, berefleksi, berimajinasi, mempertimbangkan, menduga, dan memperhatikan adalah fungsi pikiran. Sedangkan berprasangka dan melamun bukanlah fungsi pikiran. Orang melamun karena pikirannya bekerja di luar kendali kehendaknya. Orang berprasangka karena perasaannya bekerja tanpa ditunjang dengan bukti. 

Bila kita diam atau sembahyang, dan kita tak pernah mendiamkan pikiran, maka pikiran itu akan berkelana ke mana-mana. Pikiran yang bekerja tanpa arah ini dapat mendorong orang untuk curiga, buruk sangka, iri, dengki, dendam, fanatisme, dan berbagai perbuatan negatif lainnya. Baik perasaan maupun pikiran yang bekerja tanpa kendali akan menjadi “setan”. Karena itu setan tidak pernah ada rupanya! Setan (Inggeris, satan) hanyalah atribut bagi perbuatan atau tindakan yang menjauhkan diri dari kebenaran. 

Agar tidak terperangkap setan, manusia harus berpikir. Berpikir adalah tindakan untuk menghubungkan berbagai objek untuk menemukan solusi atau jawaban bagi suatu masalah. Berpikir adalah usaha untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Dan pada akhirnya, berpikir adalah upaya untuk menemukan kebenaran. 

Tanpa berpikir manusia tak akan menemukan jalan hidupnya! Tanpa berpikir agama menjadi tak berarti bagi kesejahteraan hidup manusia. Tanpa berpikir manusia akan tetap primitif dan tak akan menemukan kemanusiaannya. Jadi, wajar jika agama [Islam] memerintahkan manusia berpikir.

Di atas telah dijelaskan bahwa pikiran itu bagaikan bola yang menggelinding. Bila menggelindingnya tanpa arah, tentu tak akan mengena sasarannya. Karena itu, berpikir harus dilatih. Harus ada pelatihan untuk kegiatan berpikir. Tanpa ada pelatihan pikiran akan melompat-lompat tak tentu arah. Imajinasi akan tumbuh menjadi takhyul. Dugaan akan tumbuh menjadi kecurigaan dan prasangka. Refleksi dan perhatian akan berwujud kecemburuan dan kedengkian.

Manusia memang harus dilatih berpikir sebelum dapat dan terampil dalam berpikir. Dan ternyata berpikir itu sendiri bertingkat-tingkat. Dari tingkat berpikir yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Yang pertama adalah usaha untuk merekam atau mengingat objek-objek yang diketahuinya. Dengan kata lain, mengingat atau menghafal asma’ atau nama-nama benda [objek]. Pada tingkat ini kita baru pada tahap mengetahui nama, ciri dan fungsi dari suatu objek. Pelajaran di sekolah dari SD hingga SLTA adalah untuk memenuhi fungsi pikiran yang paling dasar tersebut. Karena itu, tekanannya pada hafalan! Mari kita perhatikan ayat berikut ini.
16: 10 Dia-lah yang menurunkan air dari langit untukmu. Sebagian untuk minumanmu, dan sebagian lainnya untuk kehidupan tumbuhan. Pada tumbuhan itu kamu gembalakan ternak.

16:11 Dengan air itu Dia tumbuhkan bagimu tanaman zaitun, kurma, anggur, dan berbagai macam buah-buahan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah ayat bagi orang-orang yang berpikir.
Pada tahap dini ini manusia diajar untuk mengerti bahwa air hujan itu diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Manusia belum dituntut untuk memahami proses hujan itu sendiri. Manusia diberi tahu bahwa air hujan yang jatuh di bumi ini sebagian dijadikan minuman oleh manusia, sebagian lain diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Dan dari tanaman yang tumbuh itu, ada yang bisa dipakai untuk menggembalakan ternak. Ayat berikutnya menjelaskan bahwa dari air hujan tersebut Tuhan menumbuhkan berbagai buah-buahan. Dengan cara ini pikiran didorong dan dirangsang untuk bekerja secara sistematik. Otak kiri diaktifkan lebih dulu!

Yang dibangun pada tahap dini ini adalah objektivitas. Manusia diajar untuk dapat melihat sesuatu apa adanya. Bahasa dasar yang berkembang pada manusia pada tahap ini adalah bahasa notasi. Sifatnya masih konkret! Yang disebut hanyalah yang dapat ditangkap oleh indra dalam ruang manusia berada. Cara ini didahulukan agar manusia tidak terjebak dalam alam takhyul. Pelajaran matematika pada tahap dasar adalah untuk melatih ketrampilan berpikir.

Tahap kedua adalah berzikir! Tahap ini adalah menyalakan fungsi otak kanan yang sangat berperanan dalam mengendalikan emosi. Dengan didahului oleh pelatihan pikiran, maka manusia tidak terjebak dalam khayalan yang tanpa arah. Selanjutnya berzikir berfungsi untuk mengendalikan pikiran dan perasaan. Pikiran tidak berkeliaran lagi. Perasaan menjadi kalem, tenang, tidak agresif. Berzikir mendorong manusia untuk dapat menerima bahwa di alam ini hanya ada satu realitas puncak, hanya ada satu kebenaran. Berzikir itu melatih pikiran kita bekerja yang terarah dan terfokus. Sifat menerima dalam berzikir membuat perasaan tumbuh dengan tenang.

Kata zikir berasal dari kata ‘dzakara’ artinya mengingat, menghafal, atau menuangi. Berzikir mendorong untuk bisa menerima satu realitas puncak. Karena itu, dalam berzikir yang disebut-sebut adalah Sang Realitas Tertinggi itu, yaitu Tuhan. Atau, kalimat-kalimat yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan berzikir pikiran dan perasaan senantiasa dituangi atau diisi dengan asma Tuhan atau kata-kata suci. Rekaman-rekaman pikiran yang tidak bermanfaat secara perlahan-lahan dibuang, dan digantikan dengan kekuatan kata-kata suci. Hasil akhirnya adalah hati [tempat tumbuh dan berkembangnya perasaan] menjadi tenang, atau terpuaskan. Inilah yang disebut dalam Surat Al-Ra’d/13: 27 ? 28.
13: 27 Orang-orang kafir (orang yang ingkar) berkata: “Mengapa tidak diturun-kan kepadanya [Muhammad] mukjizat dari Tuhannya?” Katakan: “Allah niscaya menyesatkan orang yang menghendaki [kesesatan], dan Dia menunjukkan [jalan] kepada-Nya orang yang kembali,

13: 28 yaitu orang-orang yang beriman. Dan hati mereka menjadi tenang dengan berzikir kepada Allah. Perhatikan, hanya dengan berzikir mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Dua ayat di atas menunjukkan adanya dikotomi pada manusia. Yang satu disebut sebagai ‘orang kafir’ dan yang lain dinamakan ‘orang beriman’. Ayat di atas tergolong sebagai ayat yang diturunkan kepada Nabi di Madinah, dalam masa transisi hijrah ke Madinah. Dikotomi kafir dan iman menjadi fokus. Karena hijrah merupakan jalan bagi pembentukan komunitas baru, yaitu masyarakat madani. 

Pada tahap awal perkembangan Islam di Madinah ini, yang dimaksud ‘orang kafir’ yaitu orang-orang Qureisy yang mengingkari kenabian Muhammad. Jadi, bukan seperti anggapan kita sekarang ini, bahwa orang kafir adalah para non-muslim. Orang-orang kafir adalah orang-orang yang mengetahui siapa sebenarnya Muhammad itu, tetapi mereka mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Mereka mengingkari kenabian Muhammad karena mereka beranggapan bahwa seorang nabi itu harus mampu menunjukkan mukjizat bendawi. Mereka berasumsi bahwa nabi itu tidak sama dengan manusia umumnya. Nabi haruslah manusia super dan penuh magis. Mereka tidak bisa menerima bahwa nabi itu juga makan, minum, berumah tangga, dan bekerja seperti manusia lainnya. Inilah pandangan yang tidak berdasar! Mereka tidak memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Tapi bagaimana bisa berpikir bila hatinya tidak damai?

Pada tahap awal orang masih bisa berpikir dalam keadaan apa pun. Tentu saja yang bisa dilakukan adalah berpikir pada tingkat yang paling rendah. Orang yang terus gelisah, resah, gundah, merasa takut, bingung dan sejenisnya tak mampu berpikir lebih tinggi. Karena itu harus dilandasi dengan ‘zikir’

Dalam istilah sekarang, ‘berpikir dengan tenang’ atau kepala dingin. Untuk itu gejolak batin harus diredakan! Dengan hati yang tenteram, jalan ke depan akan terbuka lebar. Jalan menuju ke kebenaran tampak semakin jelas. Dan, orang yang berjuang untuk kembali kepada kebenaran itulah sebenarnya yang disebut “orang beriman” dalam ayat tersebut.

Jadi, iman bukanlah percaya pada “katanya”. Orang beriman adalah orang yang dapat menyaksikan kebenaran itu sendiri. Ingatlah kembali penjelasan tentang ‘ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin dan haqqu l-yaqin

Tuhan pasti menunjukkan jalan yang benar bagi orang-orang yang mau kembali kepada-Nya. Where there is a will there is a way, begitulah pepatah orang Inggeris. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Kemauan harus ditopang dengan langkah-langkah yang benar untuk mencapainya. Kemauan harus didukung dengan batin yang tenang. Dengan cara demikian pintu ke kebenaran semakin terbuka.

Kebanyakan manusia sudah puas dengan berpikir kelas SD dan SLTP. Setelah tercapai hati yang tenang, tidak tahu lagi kemana akan melangkah. Atau, tidak mau lagi untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya. Ayat 13:28 ini sudah cukup dijadikan pamungkas dalam hidup. Dan ini bisa kita dengarkan dalam mimbar subuh di radio-radio, dan dapat kita lihat dalam mimbar agama di tv-tv setiap hari.

Marilah kita berzikir dengan cermat dan waspada :
Duduklah yang relaks dengan punggung tegak lurus. dan, pejamkan mata secara ringan [asal tertutup], dan katupkan mulut. Lalu tariklah napas pelan-pelan dengan mengucapkan [dalam hati] kalimat suci “la ilaha illa l-lah” [tiada tuhan selain Allah]. Tahan sebentar napas Anda, kemudian hembuskan perlahan-lahan sampai habis dengan disertai pengucapan [dalam hati] kalimat suci itu lagi. Lakukan selama lima menit saja untuk melatih zikir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)