Ustad Sedang Shalat, Tolong Jangan Ribut



Ustad Sedang Shalat, Tolong Jangan Ribut. Perkenalkan, kami keluarga besar Ustad Abdul Somad ( UAS ), dari kelompok usia yang lebih muda. Jumlah kami tak banyak. Rata-rata sepantaran. Pernah bermain, belajar, bersama-sama. Waktu Ustad pulang dari Maroko, semua keluarga ngumpul lagi. Padahal sebelumnya jarang sekali bertemu. Kami menetap di rumah bersama keluarga masing-masing di daerah yang terpisah jauh, menjalani aktivitas sehari-hari. Memiliki seseorang seperti UAS di tengah keluarga adalah karunia.

Sejak dulu UAS menonjol. Pintar. Pandai bergaul. Kami saling menghormati. Setelah UAS ditakdirkan sebagai pendakwah, pensyarah, ustad, ulama, datok, rasa hormat berubah cinta. UAS pun mencintai kami tanpa diminta. Beliau dorong kami bikin persatuan keluarga. Punya WA grup, UAS adminnya. Kami rutin gelar pengajian sekali sebulan, lokasinya pindah-pindah rumah. Rumah kami juga. Jalinan kasih sayang tersimpul semakin dalam.

Sebagai putera Riau, UAS punya janji moral yang dia ikrarkan langsung kepada dirinya yang sedang bersujud di hadapan Sang Khalik. Yaitu, berdakwah secara rutin ke masyarakat suku pedalaman Talang Mamak nun di tengah hutan belantara. Kamilah yang diboyongnya sebagai teman. UAS membuka mata hati kami melihat, merasakan, bagaimana beratnya perjuangan dakwah. Butuh pengabdian, kecintaan, totalitas.

Banyak berjalan, banyak dirasa. Tak habis satu kitab menulis sosok UAS. Terkait riuh-rendah pencalonan UAS sebagai cawapres, kami hanya ingin menyampaikan beberapa hal pendek. UAS, Saudara kami ini, menerima takdirnya sebagai ulama yang dikasihi masyarakat. Demi ‘menebus’ Qadarullah itu, dia terapkan standar tinggi dalam menjalani kehidupan pribadinya. Shalatnya, mengajinya, mu’malahnya, semua ditempuh UAS pada level-ekstra. Apapun risikonya.

Bapak Ibu yang pernah langsung berhadapan dengan UAS di luar mimbar insyaallah tahu: bicaranya irit sekali, berbeda jauh saat sedang berdakwah yang begitu mempesona, pandangannya kalau bicara jarang menatap kita, wajahnya selalu terpekur ke bawah. Melihat dia makan, kita yang kasihan. Hanya beberapa kali suap saja. Jangan pernah bawa UAS ke mall, tak pernah tahan dia lebih dari 15 menit. Tak perlu ingatkan UAS perkara syubhat. Kita baru mau bilang ‘jangan’, beliau sudah jauh memunggungi kita di seberang lautan. Semua ekspresi hidup UAS adalah gerak shalat. Sujud, sujud, sujud. Kalau UAS sedang shalat tapi ada yang ribut, beliau bad-mood.

Sudahlah. Jangan ganggu UAS lagi dengan isu pilpres. Beliau kan sudah bilang tak mau, mohon dihargai prinsip orang. Kami awam pengetahuan agama. Tapi heran saja melihat cara kita memperlakukan ulama di Indonesia. Kita seret paksa mereka masuk ke pusaran politik praktis. Kita adu ulama dengan ulama untuk berlaga di arena sabung suara. Apa tak kualat? Seorang tokoh besar membanding-bandingkan survei popularitas UAS dengan calon lain yang notabene Habaib, cucu- cicit Rasulullah. “Lebih nendang statistik UAS,” katanya. Astaghfirullah.

Sedih hati UAS. Beliau sedang tak bahagia sekarang. Shalat-nya ulama, benteng umat yang sangat berharga. Berhentilah ribut-ribut. Tolong jangan ganggu lagi shalat mereka. Jangan nodai sujud ulama-ulama kita. Menyesal kita nanti. Malu kita dengan dunia luar. Harga tertinggi seorang ulama di Indonesia rupanya hanya sebiji kursi kekuasaan berdurasi lima tahun. Masyallah.

Ingat kisah hidup satu-satunya sahabat Nabi yang tersisa pada sebuah masa, yang terpaksa memilih tinggal di tengah padang pasir dalam keadaan lumpuh, buta, sampai akhir hayatnya, hanya karena tak tahu lagi bagaimana cara menghindari ajakan penguasa saat itu agar ia menjadi hakim istana. Kami takkan pernah sudi membiarkan UAS akan berpikir suatu hari nanti lebih memilih mengucilkan diri dari hiruk-pikuk dunia, daripada takut mengecewakan gelora birahi politik praktis sesaat kita.

Kami berupaya semampunya saat ini menghibur UAS, membesar-besarkan hatinya, agar tak larut dalam duka lara. Sebagian dari kami coba mengingatkannya kepada agenda dakwah ke Talang Mamak akhir Agustus ini, sesuatu yang ia cintai. Sebagian yang lain mencoba menghadirkan gelak-tawa dalam diskusi-diskusi WAG kami, seperti biasa. Apa saja dilakukan, yang penting UAS bersemangat lagi.

Oh iya, sebelum kami lupa, nama grup WA kami itu ‘Ukhuwah Angkatan Sembilan-Enam (UAS) UIN Suska, Riau”. Cuma setahun kebersamaan kami dengan UAS di kampus dulu. Lalu beliau merantau ke Mesir dan Maroko. Justru waktu yang sedikit itulah yang membuat silaturahmi kami melangkah sejauh ini. Kami bangga menyebut UAS sebagai keluarga. Keluarga yang saling melindungi. Kalau Bapak Ibu juga menganggap UAS bagian dari keluarga, sebarkan tulisan ini ke keluarga-keluarga kita yang lain.

Saat menyebarkan, tak usah repot-repot membuat tulisan ‘Copas dari Sebelah’, karena sudah kami buat sendiri di atas tulisan ini. Ya, benar, kami meng-copas-nya langsung dari orang di sebelah kami, orang yang sama di sebelah sajadah Bapak Ibu, di sebelah pundak umat, di sebelah siapa saja yang tak hirau dengan pertemuan-pertemuan kekuasaan, karena baginya yang ada hanya pertemuan maha-rindu di kampung akhirat. Siapa dia? Ustad Abdul Somad.

Wassalam

Oleh: Ramon Damora
Majelis UAS (Ukhuwah Angkatan Sembilan-Enam) UIN Suska, Pekanbaru, Riau [ Suara dari Keluarga UAS: “Ustad Sedang Shalat, Tolong Jangan Ribut” ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (27) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (16) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (53) Poligami (12) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)