Ahamdiyah adalah kelompok di luar Islam sesuai fatwa organisasi perkumpulan ulama Islam Internasional, Majma Fiqh
Al Islami, dan sudah lebih dari 48 buku yang dikarang oleh para ulama untuk
menjelaskan kesesatan kelompok ini. Sedangkan di Pakistan masalah ini sudah
final, bahwa Ahmadiyah di luar masyarakat Muslim.
Dan Dr. Zein An Najah, pakar fikih dari Al Azhar menyatakan bahwa hingga saat
ini, tidak ada satupun ulama di dunia yang menyatakan bahwa Ahmadiyah termasuk
golongan Muslim. Ribuan ulama dunia Islam secara tidak langsung oleh Ade
Armando, Musdah Mulia atau Syafii Maarif adalah “preman berjubah”. Oh hebat
benar orang-orang ini.
Yang jelas, keberanian tokoh-tokoh ini mengomantari masalah-masalah yang sudah
disepakati ulama adalah “keberanian” nekad yang cukup memalukan. Sebab,
masalahnya, ia bukanlah orang-orang yang memiliki keahlian dan tidak otoritatif
dalam hukum Islam.
Kedudukan Fatwa
Kedudukan fatwa dalam Islam sangatlah penting dan tidak bisa dengan mudah
diabaikan, apalagi digugurkan. Karena sangat pentingnya dengan keberadaan fatwa
dalam Islam, sampai-sampai beberapa ulama berpendapat diharamkan tinggal di
sebuah tempat yang tidak terdapat seorang mufti yang bisa dijadikan tempat bertanya
tentang persoalan agama (Lihat Kitab Al Bahr Ar Ra’iq 6/260, Al Furu’ 4/119, Al
Majmu’ 1/47, Kasyaf Al Qana’ 4/177).
Maka dari itu, wajib bagi penguasa untuk memperhatikan sarana-sarana penting
guna mempersiapkan para mufti dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi
masyarakat, sekaligus melarang bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian dalam
berfatwa. (Lihat Al Majmu’ 1/ 69, I’lam Al Muwaqqi’in 4/214, Al Faqih wa Al
Mutafaqqih 2/55, Al Ahkam Al Sulthoniyah, 55).
Karena sangat pentingnya bahwa mufti di hadapan umat memiliki posisi seperti
halnya nabi di hadapan umat, karena mufti memberi kabar dari Allah Subhana wa
ta’ala seperti nabi. Oleh karena itu, mereka dinamakan ulil amri yang mana
ketaatan pada mereka disejajarkan dengan taatnya seorang hamba kepada Allah dan
RasulNya. Dalam Al Qur’an surat An Nisa’ 59 Allah berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul
beserta ulil amri dari kalian” (Lihat Kitab Al Muwafaqat 4/178-179).
Imam Al Qarafi sendiri menyatakan bahwa mufti dihadapan Allah ibarat s
kedudukan eoarang penerjemah di hadapan hakim, yang menerjemahkan keputusan
hukum, tanpa mengurangi dan menambahnya, sedangkan qadhi adalah “aparat” untuk
melaksanakan putusan itu (Lihat, Kitab Ihkam fi Tamyizi Al Fatawa min Al Ahkam,
30).
Tampaknya, para penentang fatwa kurang memahami dengan baik pentingnya fatwa
dan mufti dalam Islam. Hingga “amat ringan” dalam melontarkan
pernyataan-pernyataan yang berkesan “merendahkan” otoritas keilmuan para ulama.
Majma' Fiqh dan Kebatilan Berpendapat
Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili, ulama anggota Majma’ Fiqh Al Islami, dalam Kitab
Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh (8/5082) mengutip keputusan Fatwa Majma' Fiqh Al
Islami tentang masalah Al- Qadiyaniyah
Disebutkan, Majelis Majma Fiqh Al Islami dari Munadzamah Al Mu'tamar Al Islami
dalam pertemuan muktamar ke 2 di Jeddah, 10-16 Rabi' Tsani 1406 H/22-28
Desember 1985, setelah melihat dengan seksama istifta' (permohonan fatwa) yang
diajukan kepadanya (Mejelis Majma') dari Majelis Al Fiqh Al Islami di Cape Town
Afrika Selatan, mengenai kedudukan Al-Qadiyaniyah dalam pandangan hukum, begitu
pula kelompok yang lahir darinya, yaitu Al-Lahuriyah (Lahore), dari segi
kedudukan mereka. Apakah mereka sebagai bagian dari kaum Muslim atau bukan.
Atas dasar hal itu, anggota Al- Majma melakukan studi berkenaan dengan masalah
ini, tentang Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, yang muncul di India beberapa
waktu lalu, dan kepadanya dinisbatkan ajaran Al-Qadiyaniyah dan Al-Lahuriyah.
Setelah melakukan penelitian dengan seksama tentang informasi yang menyangkut
kedua kelompok ini, serta setelah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad telah
mengaku mendapat kenabian, bahwa ia adalah utusan yang “diberi wahyu”, dan
informasi ini diperoleh dari buku-bukunya yang mengklaim bahwa sebagian isinya
adalah wahyu yang telah diturunkan kepadanya, dan sepanjang hidupnya ia
menyebarkan klaim ini, dan mengajak kepada manusia dalam buku-buku serta
ucapannya untuk berkeyakinan mengenai kenabian dan kerasulannya, sebagaimana ia
juga mengingkari banyak ajaran agama yang sudah diketahui kelazimannya seperti
jihad.
Dan setelah Al Majma' mempelajari keputusan yang dikeluarkan oleh Al Majma'
Fiqh Makkah Al Mukarramah dalam masalah yang sama. Maka Al Majma' memutuskan:
Pertama, bahwa yang diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dan
kerasulan serta turunnya wahyu kepadanya merupakan pengingkaran secara
terang-terangan terhadap apa yang telah ditetapkan secara qath'i yakin dalam
agama, bahwa risalah kenabian telah ditutup oleh Sayiduna Muhammad shalallahu
alaihi wasalam, dan tidak turun wahyu kepada seseorang setelah beliau. Dan
klaim Mirza Ghulam Ahmad telah menyebabkannya dan mereka yang satu keyakinan
dengannya menjadi murtad, keluar dari Islam. Adapun Al-Lahuriyah, mereka juga
sama dengan Al-Qadiyaniyah secara hukum, yaitu murtad, walapun mereka mensifati
bahwa Mirza datang di bawah syariat Nabi Muhammad shalallhu alaihi wasallam.
Kedua, mahkamah non Islam atau hakim non Islam tidak boleh mengeluarkan
keputusan tentang Islam atau murtad, apalagi terhadap hal-hal yang menyelisihi
ijma' umat Islam. Hal itu dikarenakan penghukuman murtad atau Muslim tidak
diterima, kecuali datang dari kaum Muslim yang mengetahui dengan seksama
hal-hal yang bisa membuat seorang menjadi Muslim atau keluar dari Islam, dan
mengetahui hakikat Islam dan kekufuran, serta menguasai hal-hal yang telah
ditetapkan oleh Al-Quran, Sunnah dan ijma.
Karenanya, jika ada penguhukuman yang dikeluarkan dari mahkamah ini (mahkamah
non syar'i) maka dianggap batil. Dengan demikian, kedudukan fatwa yang
dikeluarkan para ulama adalah benar dan mulzim (wajib dilaksanakan) bagi kaum
Muslim (bukan non-Muslim), karena fatwa ini berkenaan dengan aqidah, bahkan
bisa dihukumi kafir, apabila meyakini kebenaran Ahmadiyah. Hanya saja, setelah
keluarnya fatwa, diperlukan kekuatan politik dan hukum sebagai alat. Itulah
tugas pemerintah. Bukan wilayah ulama lagi.
Tapi jika ada sebagian orang mengatakan kedudukan fatwa (dalam contoh kasus MUI
soal Ahmadiyah) tidak wajib dilaksanakan oleh kaum Muslim, bisa dipastikan, ia
memang kurang paham kedudukan fatwa dalam hukum Islam. Saya kira, penulis dan
semua umat Islam sependapat untuk dilarang melakukan pengrusakan atau
pembunuhan terhadap pihak lain. Tetapi mencemooh ulama dan mengatakan fatwa tak
wajib diikuti, adalah tindakan bathil. Lebih-lebih yang mendukungnya adalah
jahil. Wallahu a’lam (Hidayatullah.com)
* Penulis alumni Fakultas Syariah Al-Azhar, Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar