Reaksi Primitif Umat Islam



Islam sepanjang zaman akan selalu berhadapan dengan aneka fitnah dari kaum kuffar yang bertujuan untuk melemahkan semangat jihad dan menghancurkan aqidah umat. Kalau dulu fitnah terhadap jama'ah Islamiyah alias ummat Islam dilakukan dengan cara-cara 'sederhana' lewat kabar bohong, intimidasi, cemoohan, dan sebutan-sebutan buruk. Zaman kini hakikatnya sama saja, cuma channel komunikasinya yang semakin beragam kecanggihannya, dengan tema yang semakin bermacam-macam. Ada yang dalam bentuk media massa dengan peralatan mutakhir, ada pula yang menggunakan lembaga-lembaga kajian 'ilmiah' baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi.

Fitnah kaum kuffar memang tak pernah sepi di sepanjang zaman risalah Islam. Di zaman Rasulullah Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam para Nasionalis-Quraisy mencap beliau dan para pengikutnya sebagai pemecah persatuan, penyebab disintegrasi bangsa. Gerakannya dianggap subversif, sumber instabilitas, dan mengancam dasar-dasar negara.

Secara pribadi Muhammad Saw sendiri pernah dicemooh sebagai orang gila, pembohong besar, kemasukan jin, dan ahli sihir. Suatu saat dalam rentang waktu yang agak lama Rasulullah tak mendapatkan wahyu, maka para kuffar bersorak dan mengejek beliau dengan mengatakan "Muhammd sudah ditinggalkan Tuhannya".

Di zaman kini temanya mirip-mirip namun dengan kecanggihan peralatan komunikasi, penyebaran fitnah bisa lebih segera, bertahan lebih lama, dengan kemasan yang lebih memikat --setidaknya untuk sementara. Ummat Islam hampir tak mampu mengimbangi arus besar fitnah seperti itu, apalagi membuat issu tandingan. Semua yang mereka lansir di media massa segera menjadi issu global, sementara bantahan dari ummat Islam hanya menjangkau kalangan terbatas.

Di balik komunitas media massa yang sebagian dengan senang hati diperalat kepentingan fitnah itu, ada motor yang lebih inti lagi yaitu oknum-oknum pemikir dan akademisi di berbagai perguruan tinggi. Merekalah yang berperan utama dalam menciptakan isu-isu, analisa, memutar balikkan fakta sejarah, sekaligus mengembangkan pendekatan agar Islam yang hidup di berbagai belahan dunia, bukan lagi yang seharusnya. Mereka berperan besar juga mengubah cara berpikir sebagian pemikir dan tokoh-tokoh Muslim yang berpengaruh di negerinya. Orang-orang yang terpengaruh inilah yang kemudian menjadi perantara dan jembatan penghubung yang efektif dalam pencitraan Islam dan kaum muslimin.

Kegiatan kaum munafiq-intelijen sudah pula terjadi sejak zaman Nabi. Bedanya, permainan mereka kini jauh lebih canggih --termasuk dengan jebakan terhadap kalangan ummat Islam sendiri-- sehingga jejak mereka sulit ditelusuri.

Kuffar dan munafiq sudah sepanjang zaman bersatu, kompak, dan saling membahu jika niat dan tujuannya adalah mengalahkan Islam dan ummatnya. Tentang persatuan mereka itu terungkap dalam al-Qur’an:

"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (Al-Anfaal: 73)

Cukup banyak diantara kita yang tanpa sadar telah tergabung dalam jaringan ini, tapi banyak pula yang secara sadar melakukannya. Untuk membuktikan hal itu sungguh sangat mudah. Kita bisa memperhatikan sedikit saja dari issu-issu dan wacana yang diusung oleh berbagai kelompok mereka. Mereka menyerang sendi-sendi pokok pertahanan Islam, yaitu tata nilai dalam keluarga. Mereka juga menyerang syariat Islam dengan berbagai cemoohan. Mereka juga memperkenalkan tata nilai yang sama sekali bertentangan dengan tata nilai masyarakat Muslim.

Sampai saat ini mereka telah berhasil menjadi dirijen, yang melalui panduan dan arahannya semuanya mengamini. Segala yang disampaikan, baik yang berupa standar-standar kebenaran, bahkan nilai-nilai kebenaran itu sendiri dibenarkan oleh sebagian besar masyarakat. Hampir tidak ada kekuatan yang menolaknya. Ibarat air bah, issu yang mereka bawa menenggelamkan semua issu yang pernah ada.

Meskipun demikian, ummat Islam tak perlu berputus asa. Biarkan mereka mabuk dengan kemenangan semunya. Allah sudah mengingatkan bahkan sejak ayat-ayat yang pertama turun:

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzzammil: 10)

Bersabar yang dimaksud adalah memberi tanggapan secara proporsional dan tidak emosional. Cerdas, terencana, dan tidak asal-asalan. Sistematis dan terorganisir.

Kita tidak boleh terlalu cemas menghadapi persekongkolan mereka. Allah telah membuka kedok mereka, bahwa persatuan dan kerjasama mereka itu sesungguhnya sangat rapuh. Kelihatan dari luarnya mereka itu bersatu, padahal jika sudah menyangkut kepentingannya masing-masing, antar mereka sendiri terus berkelahi.

"Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti."(Al-Hasyr: 14)

Ayat ini menjelaskan persoalan mendasar diantara mereka sendiri: kehancuran mereka bukan karena kita hadapi melainkan karena sunnatullah berupa percekcokan dan permusuhan antar mereka sendiri.

"Biarkan Aku bertindak terhadap orang-orang yang Aku telah menciptakannya sendiri." (Al-Muddatstsir: 11)

Percayalah, jika kita saat ini sesak nafas menghadapi ulah dan tindakan mereka, sesungguhnya mereka jauh lebih sesak nafas lagi dibandingkan kita. Rasa benci dan permusuhan telah memenuhi seluruh rongga dada mereka, oleh karenanya mereka jauh lebih sengsara dan lebih berat tanggungan bebannya.

"Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan." (Al-Muddatstsir: 17)

Sesungguhnya nafas mereka saat ini tersengal-sengal (ngos-ngosan) menghadapi kebangkitan Islam. Berbagai strategi, taktik, dan teknik telah mereka lancarkan, tapi jumlah ummat Islam tidak semakin berkurang, dan para aktivisnya cenderung terus mengalami peningkatan jumlah yang sangat signifikan. Jika kita hampir frustrasi menghadapi mereka, ketahuilah bahwa mereka sesungguhnya sudah lama frustrasi menghadapi kita.

Sekali lagi, persoalan-persoalan eksternal sesungguhnya tidak terlalu sulit dan pelik. Al-Quran menjelaskan bahwa pokok persoalannya terletak pada kita sendiri, bukan pada mereka. Semua persekongkolan jahat mereka sesungguhnya bisa kita atasi dengan ukhuwwah, persatuan, kerjasama, dan saling melindungi diantara kita. Selama berkah dan lezatnya ukhuwwah belum bisa kita jalin di antara sesama kita, jangan harap tangan Allah membuat berantakan persekongkolan kita. Ini merupakan sebuah rumus kimiawi.

Zaman ada di tangan kita. Pilihannya merebut kendalinya dengan sungguh-sungguh merapatkan shaf, atau membiarkannya di tangan para penjahat dengan sibuk urusan sendiri. Na’udzu billaahi min dzaalik.

Berbahasa yang Tepat dengan Orang Lain

Cara kita bereaksi terhadap serangan peradaban lain, masih tergolong primitif dari waktu ke waktu
“Mengapa AS selalu menerapkan standar ganda terhadap dunia Islam? Kalau Negara Anda benar-benar ingin menerapkan HAM, sekaranglah saatnya anda membuktikannya di Bosnia Herzegovina.”
Protes keras nan gagah itu diucapkan seorang aktivis Islam kepada sekretaris satu Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, dalam sebuah diskusi kecil di kantor PP Muhammadiyah, Menteng. Itu terjadi tahun 1994, ketika Serbia membantai habis kaum Muslimin Bosnia. Benar-benar tahun darah dan air mata. Kita disini bahkan mungkin baru tahu, kalau di daratan Eropa ternyata ada kawasan mayoritas Muslim yang sedang dibantai hanya karena berjuang merebut kemerdekaannya sendiri.

Diskusi itu memang dilatari kemarahan dan semangat protes. Saudara-saudara kita dibantai habis. Kehormatan kita tercabik. Ghirah kita bangkit. Solidaritas kita tergugah. Dan seperti biasa: kita marah. Dan jika kita marah, seperti biasa, kita tumpah ruah di jalanan. Berteriak. Protes. Berdoa. Lalu mengumpulkan sedikit dana. Habis itu kita bubar. Entah titik atau koma, reaksi kita memang selalu berujung begitu.

Begitu pula hari itu. Kemarahan kita meledak tuntas di depan orang Amerika itu. Wajahnya mengatakan kalau dia jelas terpojok. Tapi, seperti biasa, para diplomat selalu mampu menjaga alibi dan ketenangannya. Dia tetap berusaha tersenyum. Lalu bertanya balik: “Jika Anda merasa bahwa kaum muslimin Bosnia adalah saudara-saudara anda, mengapa bukan Anda saja yang pergi kesana membela mereka? Mengapa Anda mengharuskan orang-orang Amerika mengirimkan putera-puteri mereka untuk membela orang-orang yang Anda anggap sebagai saudara-saudara Anda sendiri? Mengapa kami yang harus membela saudara-saudara Anda?”

Para aktivis Islam itu terdiam. Logika orang Amerika itu terlalu telak menampar pikiran mereka. Mereka tidak pernah menduga cara berpikir lawan diskusi mereka. Ketika diskusi itu berakhir, setiap orang kembali dengan kesadaran yang samar. Kita sudah marah. Kita sudah protes. Tapi hanya itu. Hanya itu betul yang bisa kita lakukan. Jelas itu tidak cukup. Tapi begitulah. Kita tidak berdaya.

Lain waktu, seorang muballigh di Arab Saudi berdiskusi dengan duta besar AS. Ia juga memprotes perlakuan AS terhadap kaum Muslimin di Palestina, Afghanistan dan berbagai negara Islam lainnya. Ini kesempatan emas, pikirnya. Tapi sang dubes balik bertanya: “Kami sudah mereka seluruh ceramah para muballigh di Arab Saudi, dan kami menemukan fakta, bahwa seluruh ceramah itu berisi kecaman dan doa agar Tuhan menghancurkan negeri kami. Apakah menurut Anda, itu sekedar ceramah dan bukan pernyataan perang terbuka? Bukankah dengan cara begitu Anda telah memprovokasi masyarakat Anda untuk memusuhi kami dan memaksa kami untuk membela diri?” Sang Muballigh pun hanya bisa diam.

Selalu begitu penampilan kita. Rapuh dan antagonis. Marah dan tidak berdaya. Ngamuk, menangis, berdoa, habis itu lupa. “Memori orang Islam itu pendek. Mereka pelupa. Waktu kami menyerang Afghanistan, mereka protes. Setelah kami menang, mereka diam. Jadi kalau nanti kami menyerang Iraq, mereka akan melakukan hal yang sama: protes, lalu lupa,” kata seorang pejabat senior AS sebelum invasi ke Iraq.

Tantangan Canggih, Reaksi Primitif Ditakdirkan menjadi pengikut seorang nabi yang turun menutup mata rantai kenabian dan risalah agama samawi, ummat Islam memang mewarisi bibit konflik dengan saudara-saudara tua mereka: Nasrani dan Yahudi. Ditakdirkan menghuni belahan bumi yang subur, kaya dan melimpah, ummat Islam juga mudah menjadi sasaran tembak negara-negara kapitalis: para pemburu kesejahteraan yang serakah dan terlalu digdaya. Baik untuk alasan agama atau ekonomi, kekuatan bedil juga yang akhirnya menyempurnakan dendam dan keserakahan itu menjadi megalomania.

Dunia Islam --yang rapuh dan melankolik-- memang tampak seperti seekor kijang yang manis dan lugu di mata kawanan harimau yang sedang mengincarnya. Atau seperti komunitas Indian yang menghuni benua Amerika --yang terlalu besar dan kaya untuk ukuran otak mereka-- di mata tentara-tentara Inggris yang terlalu kuat, cerdas dan serakah. Sejarah moderen Eropa adalah gabungan antara dendam salibisme dan keserakahan negara industri, yang --dengan kedigdayaan militer-- kemudian berkembang menjadi peradaban Nasrani-Kapitalis yang megaloman. Dunia Islam dan benua Amerika adalah koloni Inggris. Disana dendam dan keserakahan menyatukan sentimen agama dan kapitalisme.

Secara historis ada banyak fakta yang membuktikan gesekan berdarah antara Islam dan Barat, baik atas nama dendam agama maupun keserakahan ekonomi. Alasan historis itu pula yang menjelaskan, mengapa gerakan Islam selalu membenarkan dirinya untuk memandang Barat dalam kacamata konspirasi. Tapi alasan yang sama itu juga yang menjelaskan, mengapa Barat selalu membenarkan dirinya untuk memandang gerakan Islam dengan kacamata fundamentalisme atau terorisme. Gesekan itu terlalu berdarah-darah. Dan terlalu lama. Ada luka persepsi dan emosi yang tidak pernah sembuh. Atau jika tetap dipandang dalam kerangka ini: sejarah selamanya akan tereduksi sebagai panggung pergulatan abadi antara Timur dan Barat.

Dalam sejarah yang tereduksi begitu, tidak ada ruang untuk membicarakan benar dan salah. Tema kita selalu tunggal: menang dan kalah. Dan dalam sejarah, menang dan kalah adalah dua peristiwa yang berlangsung dengan kaidah yang sama. Kita atau mereka menang kalau kita atau mereka memiliki semua syarat untuk menang. Kita atau mereka --sebaliknya-- kalah ketika kita atau mereka menyimpan semua sebab kekalahan.

Sebuah peradaban yang kuat selalu bereaksi terhadap peradaban lain dengan pertanyaan ini: “Berapa syarat kemenangan yang sudah kita miliki, berapa lagi yang belum kita miliki, apa yang harus kita lakukan memilikinya. Dan sebaliknya, berapa sebab kekalahan yang tersimpan dalam diri kita, bagaimana mengatasinya atau mengeliminasi dampak buruknya?” Mereka diam, tapi terus bekerja. Mereka marah, tapi tetap terkonsolidasi. Mereka balas dendam, tapi tetap tepat sasaran. Mereka bertarung, tapi tetap belajar dan mengembangkan daya tarung mereka.

Sebaliknya, peradaban yang rapuh dan melankolik selalu bertanya: “Kita begini karena peradaban sana yang membuat kita jadi begini. Kita harus melawan mereka. Kita harus mengalahkan mereka”. Sementara itu mereka tidak pernah memikirkan sebab kemenangan dan kekalahan. Mereka hanya membicarakan fakta bahwa mereka kalah, terjajah dan tertindas. Maka mereka marah, tapi tidak berdaya. Mereka menangis, tapi tidak bisa membalas. Inilah cara kita bereaksi terhadap tantangan-tantangan eksternal kita: rapuh, melankolik dan cenderung primitif.

Kata Kuncinya: Komunikasi Jauh lebih penting dari melulu membicarakan fakta-fakta tentang satuan-satuan tantangan-tantangan eksternal yang kita hadapi, adalah membicarakan cara kita menyikapinya. Terlalu banyak orang yang bisa melukiskan secara detil tantangan-tantangan itu, tapi terlalu sedikit yang memperhatikan bagaimana mensikapinya. Mungkin sebab itu pembicaraan tentang tantangan eksternal selalu membuat kita marah dan takut sekaligus. Mengamuk dan menangis sekaligus.

Kalau masalah internal kita berpusat pada antagonisme antara kebesaran idealisme dan kelangkaan sumberdaya, maka masalah eksternal kita berpusat pada antagonisme antara tantangan yang terlalu besar dan reaksi yang terlalu rapuh. Kata kuncinya adalah kemampuan komunikasi. Kata komunikasi bertumpu pada dua kemampuan: pertama, kemampuan memahami orang lain secara akurat, dan kedua, kemampuan mengekspresikan diri secara tepat.

Kemampuan memahami orang lain dibangun dari kekayaan sumber informasi tentang orang lain, analisa yang komprehensif dan integral atas informasi-informasi itu, dan akhirnya penyikapan yang obyektif terhadap mereka: tidak terlalu meremehkan dan tidak terlalu membesarkan mereka. Sekarang coba kita banding: berapa banyak pakar Muslim yang ahli tentang Amerika, dan berapa banyak pakar Amerika yang ahli tentang Indonesia? Bukankah Indonesianis asal Amerika bahkan sering jadi referensi kita dalam memahami masalah-masalah Indonesia? Itu karena mereka lebih mengerti tentang Indonesia ketimbang kita sendiri. Karena itu, reaksi mereka terhadap kita jauh lebih akurat dan efektif. Untuk kasus yang lebih kecil, sekarang ada banyak tesis magister dan disertasi doktor tentang perkembangan politik Islam di Indonesia --sejak era reformasi tahun 1998 sampai sekarang-- yang digarap oleh beberapa universitas di Amerika, Inggris, Australia dan Jepang. Amerika, misalnya lagi, telah mengerahkan lebih dari 100 doktor untuk mempelajari China secara komprehensif dan integral untuk dapat menentukan sikap secara akurat terhadap kompetitor baru mereka.

Kemampuan mengekspresikan diri secara tepat dibangun dari pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri, tahapan kerja membangun peradaban sendiri dan kemampuan menggunakan semua bahasa terhadap orang lain: bahasa budaya dan pemikiran, bahasa diplomasi politik, bahasa ekonomi dan bahasa militer.

Sekarang lihatlah, berapa banyak bahasa yang digunakan Amerika dalam kasus Afghanistan dan Irak? Ada bahasa budaya melalui isu terorisme. Ada bahasa diplomasi politik melalui penggalangan dukungan perang melawan terorisme dan dibuktikan melalui undang-undang anti terorisme yang dibuat semua negara serta pengaktifan intelijen anti teror di negera-negara itu.

Ada bahasa ekonomi melalui bantuan finansial untuk negara-negara yang mendukung perang melawan terorisme. Dan akhirnya ada bahasa militer dalam invasi atas Afghanistan dan Iraq. Sempurna.

Makin banyak variasi bahasa yang dapat anda gunakan, makin efektif pula komunikasi Anda. Pesan Anda akan sampai secara utuh dan sempurna. Bertanyalah, berapa variasi bahasa yang biasa kita gunakan untuk menyampaikan pesan kita? Misalnya dalam kasus Iraq? Inilah bahasa kita: demonstrasi, doa dan sedikit dana. Hanya itu. Sebab itu pesan kita tak sampai. Atau sampai tapi tidak berpengaruh.

Komunikasi adalah gabungan antara kekayaan informasi, variasi bahasa, akurasi pesan dan efektivitas. Hasilnya adalah pengaruh dan kendali atas orang lain. Jika kita tidak punya pengaruh dan kendali atas orang lain, carilah sebabnya pada fakta tadi. Komunikasi kita dengan mereka --biasanya-- jelek sehingga tidak efektif. Artinya, ada komponen pembentuk efektivitas komunikasi yang belum kita penuhi.

Mungkin informasi yang terlalu seadanya, atau tidak akurat, atau tidak memadai. Mungkin juga sumberdaya kita sangat terbatas, sehingga bahasa kita selalu tunggal: demo, doa dan sedikit dana. Bahasa budaya kita mungkin tidak atraktif. Atau kita tidak handal menggunakan bahasa diplomasi politik. Atau tidak punya bahasa ekonomi. Dan juga tidak mampu membangun bahasa militer. Mungkin juga pesan kita selama ini tidak jelas, tidak akurat dan tidak tepat sasaran.

Pada akhirnya, output komunikasi berupa pengaruh dan kendali hanya mungkin terlihat kalau input berupa sumber daya yang memadai. Informasi adalah sumber daya. Gagasan adalah sumber daya. Kemampuan diplomasi adalah sumber daya. Kekayaan ekonomi adalah sumberdaya. Kekuatan militer adalah sumber daya. Kemampuan merancang pesan yang akurat adalah sumber daya. Sumberdaya menentukan peluang kita merealisasi idealisme kita. Itu sebabnya dalam komunikasi “pesan” lawan tidak dilihat berdiri sendiri. Ia selalu dikorelasikan dengan sumber daya yang tersedia di balik pesan itu, yang menunjukkan seberapa jauh kemungkinan pesan itu jadi realita. Misalnya jika kita “menggertak” atau “mengancam” orang lain, lalu kita tidak dapat membuktikannya, maka pesan kita kehilangan makna dan wibawa.

Subhaanallaah. Ini dengan sendirinya menjelaskan, mengapa masalah eksternal da'wah adalah runtut dari masalah internalnya. Jika inti masalah internal da'wah adalah sumberdaya, maka inti masalah eksternalnya adalah komunikasi. Tapi akar dari masalah komunikasi --pada akhirnya-- adalah sumber daya juga. Setiap usaha memperbaiki mutu dan efektivitas komunikasi kita hanya akan berhasil jika diawali dengan peningkatan sumber daya. Sumber daya menjelaskan apakah anda berdaya atau tidak berdaya. Komunikasi menjelaskan seberapa canggih anda menggunakan sumberdaya tersebut. (Hidayatullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)