Pada perguruan-perguruan tinggi, baik Islam maupun umum kini ada yang mengembangkan tentang faham pluralisme agama atau titik temu agama-agama. Gagasan ini pertama kali dikembangkan oleh Fritjof Schuon. Sebelum Schuon, sebenarnya ada tokoh yang juga aktif mengembangkan gagasan ini yaitu Rene Guenon.
Gagasan yang dikembangkan tokoh-tokoh ini intinya menyatakan bahwa meskipun agama bentuk formalnya berbeda (eksoteris) tapi di kedalaman masing-masing agama (batin/esoteris) mempunyai asas yang sama atau Tuhan yang sama. Kesamaan asas ini oleh Schoun disebut dengan Religio Perennis (agama abadi).
Dalam diskusi di INSISTS Jakarta, Sabtu (29 September 2012) Direktur Pelaksana Insists Adnin Armas, menguliti satu per satu kelemahan mendasar faham ini.
Menurutnya, baik dalam level eksoteris maupun esoteris agama-agama yang ada berbeda. Eksoteris adalah perwujudan atau bukti dari esoteris. “Konsep tentang Tuhan berkaitan dengan konsep Nabi dan konsep Wahyu,”terang Adnin di depan 70-an peserta diskusi. “Jadi bagaimana mungkin dikatakan Tuhannya sama, sedangkan Nabi dan wahyunya (Al Qur’an untuk Islam) berbeda. Dan itu kemudian membawa dampak kepada ritual (ibadah) yang berbeda.”
Untuk membantah tentang transendetalisme/perennialisme ini, Adnin membagikan kepada para peserta tulisan Prof Naquib al Attas dalam bahasa Inggris yang mengritik secara tajam dan akurat tentang kesalahan-kesalahan mendasar faham ini. Dalam makalah itu, antara lain Alatas menunjukkan perbedaan antara pengakuan dan kepatuhan kepada Tuhan. “Iblis mengakui adanya Tuhan, tapi tidak patuh,” terang Adnin.
Menurut Alatas, sifat (konsep) Tuhan yang dipahami dalam Islam tidak sama dengan konsep Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dengan filsafat Barat atau tradisi sains, juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. (Baca lebih lanjut bukunya ‘Prolegomena to the Methaphysics of Islam).
Dalam makalah kedua yang dibagikan ke peserta, Adnin menyatakan bahwa istilah religio perennis (agama abadi) digunakan pertama kali oleh Fritjof Schuon. Ia menggunakannya di dalam karya Regards sur les mondes anciens (Cahaya tentang Alam Kuno). Namun konsep di dalam istilah itu sendiri bukanlah baru. Sebelumnya Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan Rene Guenon (m. 1951) sudah member istilah yang mirip dengan itu dengan maksud yang sama. Coomaraswamy menggunakan istilah Philosophia Perennis (Filsafat Abadi) dan Guenon menggunakan istilah Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Nampaknya gagasan Schuon tentang Agama Abadi hanya mengelaborasi gagasan atau ide Coomaraswamy dan Guenon.
Secara terminologis, istilah ‘Filsafat Abadi’ digunakan pertama kalinya di Barat oleh Agustinus Steuchus dalam karyanya Mengenai Filsafat Abadi (De perenni philosophia), diterbitkan tahun 1540. Karya diperkenalkan oleh Leibniz di dalam suratnya yang ditulis tahun 1715. Tapi gagasan Filsafat Abadi tenggelam di dalam peradaban Barat, akibat dari filsafat keduniawian. Yaitu suatu filsafat yang dibangun berdasarkan pandangan hidup secular-liberal-ultra liberal. Filsafat inilah yang kemudian menghasilkan berbagai macam aliran pemikiran seperti empirisme, rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, skeptisisme, relativisme dan agnotisme.
Karena dominasi pandangan hidup sekular-liberal-ultra liberal itu, maka nilai-nilai yang ada pada tradisi dan agama-agama menjadi terpinggirkan bahkan dibongkar. Rene Descartes, bapak filsafat modern, dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. ‘Wahyu dan Intelek’ dalam struktur epistemologi terpinggirkan. Wahyu dan Intelek semakin terpojok oleh filsafat Immanuel Kant.
Bagi Kant, manusia hanya mengetahui phenomena, bukan noumena. Intelek tidak mendapat tempat dalam struktur epistemologi Kant. Sekularisasi epistemology semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang menganggap realitas sebagai perubahan yang dialektis. Akhirnya sekularisasi epistemologi juga masuk dalam ruang lingkup agama. Hasilnya tidak ada lagi yang sebenarnya sakral, abadi dan universal. Semuanya manusiawi belaka.
Oleh karena latar belakang pemikiran Barat yang sedemikian itulah maka pada awal abad 20, Coomaraswamy (m. 1947) dan Guenon (m. 1951) menawarkan gagasan alternatif. Alternatif ini adalah menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama. Nilai-nilai tradisi itu mereka sebut filsafat abadi (philosophia perennis). Istilah lain yang sinonim dengannya adalah hikmah abadi (sophia perennis, al hikmah al khalidah, sanata dharma), agama abadi (religio perennis), agama hikmah (religio cordis, al din al hanif) dan sains sacral (scientia sacra). Semua istilah ini memiliki maksud yang sama, yaitu menolak pandangan hidup filsafat modern yang relativistik, positivistik, dan rasionalistik.
Darimanakah Guenon mempunyai pemikiran ‘filsafat abadi’ itu? Guenon yang dilahirkan pada 15 November 1886, di Blois, Perancis, ternyata banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gerard Encausse. Ia adalah seorang tokoh pendiri Masyarakat Teosofi (Teosophical Society) di Perancis, sekaligus tokoh Freemason, yang menguasai wacana tentang hal-hal yang mistis. Di sekolah Encausse, Guenon lebih intensif dalam kajiannya tentang hal-hal mistis (occult studies). Di sekolah ini pula Guenon berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Ketertarikan Guenon terhadap aktivitas gerakan teosofi ini memang menonjol. Hal ini Nampak ketika ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktivitas tentang mistis dan Freemason di Prancis.
Ringkasnya, Freemason merupakan minat Guenon sepanjang hidupnya. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan. Bagi Guenon Freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang luas dan kaya dalam simbolisme dan ritual. Guenon juga yakin bahwa Freemason adalah cara terbaik untuk menjaga banyak aspek agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.
Meski Guenon kemudian memeluk Islam pada tahun 1912 (namanya menjadi Abdul Wahid Yahya), pandangannya tidak banyak berubah. Menurutnya, ilmu yang utama dalah ilmu spiritual. Substansi ilmu spiritual dibatasi oleh suatu kelompok Ilmu tersebut adalah universal, tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan kebenaran. Perbedaan tersebut menurutnya sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.
( hidayatullah )
Materi ini merupakan kajian mendalam tentang transendentalisme, perennialisme dan pluralisme di kantor INSISTS. Materi lebih jauh bisa dibaca Majalah Islamia, edisi September-November 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar