Kenapa Agama Ini Bernama Islam?



Islam yang pada awalnya berkembang di kawasan Semenanjung Arabia, dalam waktu yang relatif singkat telah berhasil memasuki beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Kecil. Bahkan pada abad ke-10, sebuah dinasti Islam sudah berhasil memasuki wilayah Eropa, yakni Andalusia (sekarang Spanyol).

Islam kemudian menguasai kawasan tersebut setidaknya kurang lebih lima abad dan menancapkan pengaruhnya yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pengaruh Islam dalam dua hal di atas sampai dewasa ini masih diakui oleh bangsa-bangsa lain, termasuk Barat. Beberapa pemikir besar Muslim, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, dikenang oleh barat sebagai orang-orang yang besar jasanya. Dan bukanlah suatu hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa kemajuan Barat saat ini, termasuk di dalamnya perkembangan ilmu pengetahuan dan peradabannya adalah berkat penemuan kembali khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban, yang sebelumnya juga pernah maju pada masa keemasan Islam.

Dari abad ke abad Islam terus berkembang. Terbukti dengan banyaknya pengikut yang menyebar luas di seluruh belahan dunia. Kita sering mendengar informasi bahwa umat Islam tidak hanya tinggal di wilayah-wilayah atau negara-negara Muslim saja. Akan tetapi Umat Islam kini telah merambat jauh memasuki negeri-negeri Barat, seperti di Eropa, Amerika, dan Australia.

Tentu saja hal ini merupakan ancaman bagi Barat yang mayoritas penduduknya adalah umat Kristiani. Seperti kita ketahui, antara Kristen dan Islam sama-sama mengakui bahwa keduanya memiliki ajaran yang universal. Maka, universalitas dan misionaritas Islam yang dimanifestasikan melalui dakwah itu dianggap menyaingi hasrat Barat-Kristen untuk menghegemoni. Barat-Kristen ingin menerapkan tatanan dunia baru dan globalisasi, sedangkan Islam punya perjuangan yang sama, oleh karenanya Islam dianggap sebagai musuh Barat-Kristen.

Karena merasa disaingi, Barat-Kristen dengan segala daya dan upaya mereka lakukan untuk menghantam Islam dan menjatuhkannya dari posisi sebagai agama global dan universal.

Islam: Sebuah Nama yang Menunjukkan Keuniversalan Risalah Muhammad

Banyak orang berkata: “Apalah arti sebuah nama?”. Saya kira pertanyaan ini adalah pertanyaan orang-orang yang kebingungan. Saya yakin setiap orang pasti tahu untuk apa dia diberi nama. Yang jelas, maksud dan tujuannya adalah agar dia dapat dikenal oleh banyak orang. Nama juga berfungsi sebagai do’a bagi pemiliknya. Orang yang menganggap bahwa dirinya tidak punya nama sekalipun, sebenarnya ia juga telah mempunyai nama. Apa itu? jelasnya ialah “Orang tanpa nama”. Sehingga dengan demikian ia dikenal dengan sebutan “Orang tanpa nama”. Maka jangan ada lagi orang yang bertanya, ”Apalah arti sebuah nama?”.

Demikian juga agama yang dibawa Muhammad, kenapa harus dinamakan Islam? Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kalau penulis menjelaskan makna kata “Islam”.

Islam mempunyai makna penyembahan, kepatuhan, dan penyerahan diri secara utuh kepada Tuhan tanpa adanya paksaan. Islam juga berasal dari akar kata ”s-l-m” adalah salam; yaitu ucapan sapaan yang biasa dipergunakan dalam bahasa Arab, yang mempunyai makna ”damai”. Dengan maksud sebagai penghormatan dari orang yang mempersembahkannya agar orang yang mendapat sapaan tersebut senantiasa berada dalam kedamaian.

Sebenarnya kalau dicermati, kita akan dapati bahwa dalam al-islam sendiri terkandung semangat humanitas dan universalitas. Yang dimaksud dengan humanitas di sini adalah bahwa Islam itu merupakan agama kemanusiaan (fithrah), Islam itu mempunyai cita-cita yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Sedangkan makna dari universalitas, secara teologis dapat dilacak dari perkataan al-islam itu sendiri, yang berarti, “sikap pasrah secara penuh kepada Tuhan”. Dengan makna pengertian semacam ini, tentunya Allah tidak main-main dengan nama tersebut.

Terbukti, Allah secara resmi telah melegitimasi Islam sebagai sebuah agama (Qs 5:3). Orang luar yang tidak mengetahui nama asli Islam dan Muslim, dengan tanpa beban memberi nama Muhammadanisme dan Muhammadan. Kaum Muslim tidak suka dengan sebutan seperti itu, karena itu hanya akan menunjukkan bahwa mereka menyembah Muhammad sebagaimana umat Kristiani menyembah Kristus. Padahal, bagi kaum Muslim tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah yang esa.

Andaikata nabi-nabi terdahulu sebelum berpulang ke Rahmatullah, mereka masih mempunyai peluang untuk memberikan nama bagi gerakan mereka, mungkin saja mereka akan memilih nama-nama yang lebih “Mendunia” dan “Universal” dari pada nama-nama yang hanya menggambarkan fanatisme terhadap suku dan bangsa. “Muslimun” itu malah lebih gaul dari pada Isra’el, yang mempunyai arti keturunan Ya’qub, dan lebih global dari pada Yudaisme yang sangat terkait dengan suku Yehuda. Muslimun sama sekali bukan penyembah Muhammad, bukan pula nama dari sebuah suku, dan keturunan. Akan tetapi ia lebih menggambarkan sebagai jalan komitmen untuk menyembah, tunduk dan menyerahkan diri kepada suatu kekuatan yang lebih tinggi atas dasar kesetiaan sukarela serta kesabaran dalam menjalankan semua perintah-Nya.

Dan nampaknya, para Nabi terdahulu sebelum Muhammad, lebih setuju kalau gerakan spritual mereka disebut al-Islam dari pada Nasrani dan Yahudi. Hal itu bisa kita lihat dalam beberapa ayat Alquran berikut :
  1. Dalam Alquran Nabi Ibrahim (bapak para Nabi) bersama Isma’il anaknya, keduanya ingin agar dijadikan muslim (Qs 1:131)
  2. Nabi Musa as. seorang Rasul yang diutus kepada orang-orang Yahudi mendeklarasikan dirinya sebagai seorang muslim (Qs 7:126)
  3. Nabi Isa as. delegasi Allah kepada kaum Nasrani, tidak pernah bercita-cita hendak memberi nama gerakan spritualnya dengan Nasrani. (Qs 3:52).
Maka, jelaslah bagi kita bahwa kata “Islam” mengandung makna yang sangat luas dan mencakup seluruh umat manusia di dunia. Tidak seperti agama-agama lain yang hanya terkait dengan ras, suku, bangsa dan merupakan nisbah dari nama seorang tokoh pembawa ajaran tersebut. Itulah sebabnya kenapa agama ini diberi nama “Islam”.

Islam Agama Mondial

Islam adalah agama yang diturunkan untuk manusia secara global. Tidak peduli apakah itu merah, kuning, putih, dan hitam kulit mereka. Tak peduli apakah di barat, timur, utara, dan selatan tempat mereka tinggal. Itu disebabkan karena yang mengutus Muhammad —sebagai pembawa risalah Islam— adalah Tuhan segenap alam (Rabbu al-alamin). Dan Muhammad sendiri menjadi delegasi Allah untuk manusia secara mondial. (Qs 7:158).

Dengan berpedoman pada sejarah, sejumlah penulis Barat mengungkapkan bahwa ketika kaum Yahudi tak mau mengakui risalah kenabian Muhammad, maka datanglah perintah untuk mengubah Kiblat —arah dalam shalat— yang semula mengarah ke Yarussalem, menghadap ke Ka’bah. Sedangkan ibadah Haji ke Makkah dijadikan sebagai salah satu rukun Islam. Dari tindakan ini, kemudian muncul gagasan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam yang selama ini telah dirumuskan kalangan orientalis.

Gagasan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam ini secara sederhana dapat ditolak dengan mengemukakan bahwa monoteisme Alquran yang sejak semula terkait erat dengan humanisme dan rasa keadilan sosial, bukanlah sesuatu yang khas Arab. Memang harus diakui, antara Nabi dengan kaum Yahudi Madinah, sempat terjadi pertentangan. Dan itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Argumentasi tentang adanya pertentangan antara Nabi dengan kaum Yahudi dalam hal pemindahan kiblat nampaknya terlalu digembar-gemborkan. Kaum muslimin berkiblat ke Yarussalem itu terjadi di Makkah ketika kaum Muslimin dilarang pergi ke Ka’bah. Perpindahan kiblat ke Yarussalem pada hakikatnya bertujuan untuk membedakan secara tegas antara yang menyembah berhala dan para pengikut Rasulullah. (Qs 2:143).

Sementara penetapan Haji ke Makkah tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah terhadap Nabi dan misi kenabiannya, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan politik dan ekonomik.

Kekuasaan politik dan ekonomik di Makkah —sebagai tempat suci bagi seluruh bangsa Arab— jelas merupakan faktor yang layak bagi ditetapkannya ibadah haji ke Mekkah. Di samping adanya kepercayaan tentang kesucian Ka’bah yang harus ditegakkan kembali selaras dengan tradisi keagamaan Ibrahim. Karena itu, kontrol politik atas Mekkah mesti dilakukan Nabi untuk kemudian membuat perubahan-perubahan mendasar pada semua segi kehidupan kota Mekkah. Inilah yang harus diupayakan sesegera mungkin setelah hijrah ke Madinah. Lagi pula apa untungnya bagi Nabi dan Islam melakukan kompromi dengan segelintir kaum Yahudi Madinah.

Tidak hanya itu, dari mereka juga ada yang berpendapat tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam dengan melihat kenyataan sejarah bahwa inisiatif untuk penyebar luasan ajaran Islam keluar jazirah Arab tidaklah muncul dari Muhammad sebagai pengemban tugas dari Tuhan dan tidak pula dilakukan pada zamannya. Tetapi, inisiatif itu muncul bersamaan dengan penaklukan Paris dan Romawi pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra.

Kalau dikaji dengan seksama, kenyataan sejarah yang mereka kemukakan itu tidaklah demikian, karena:
  1. Ayat-ayat yang menyatakan keuniversalan risalah Islam itu banyak yang turun sebelum hijrah. Ini menunjukkan bahwa sejak awal sudah ada indikasi-indikasi ke arah itu. Seperti, “Wahai Manusia….”.
  2. Sejarah telah menyebutkan bahwa sebelum berpulang ke Rahmatullâh, Nabi masih sempat merencanakan suatu ekspedisi ke utara, di luar batas Arabia. Tentunya hal ini juga menegaskan bahwa Nabi secara pasti tidak akan membatasi perkembangan Islam hanya di jazirah Arab saja. Akan tetapi Islam harus terus melangkah jauh ke luar jazirah tersebut.
  3. Keberadaan surat-surat yang ditulis Nabi kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, dan kaisar-kaisar Bizantium serta Persia, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam, pada dasarnya merupakan bukti bahwa Islam bukanlah agama orang-orang Arab, tetapi merupakan agama global sejalan dengan universalitas risalah Muhammad.
Lalu bagai mana dengan pendapat sarjana-sarjana Yahudi dan Kristen yang menyatakan bahwa dengan ditulis dan dibacanya Alquran dalam bahasa Arab, apakah ini tidak menunjukkan bahwa Islam memang benar-benar agama bangsa Arab?.

Alquran walaupun diturunkan dengan bahasa Arab, tidaklah menandakan Islam hanya milik bangsa Arab. Alquran diturunkan dengan bahasa Arab karena Rasulullah sendiri adalah orang Arab yang tidak paham bahasa asing. Seandainya Alquran diturunkan dengan bahasa asing, maka orang-orang kafir itu akan mengingkarinya dengan mengatakan, “Bagai mana mungkin Alquran yang berbahasa asing disampaikan kepada seorang Arab, sedangkan dia sendiri tidak paham bahasa asing. (Qs 41: 44).

Kalau mereka sulit menerima bahwa kearaban Alquran tidak meniadakan keuniversalannya, lantas kenapa mereka dengan santai mendiamkan keimanan sebagian orang Arab yang memeluk ajaran agama mereka. Padahal sejak awal, kitab agama mereka tidak tertulis dengan bahasa Arab. Kalau dengan agama lain mereka berani bersikap kritis, tapi kenapa dengan agama sendiri mereka seakan-akan buta?. Kalau saja “Semut di seberang lautan jelas kelihatan. Tapi kenapa gajah yang ada di pelupuk mata tidak kelihatan?”.

Penutup

Sebagai penutup saya ingin mengutip sebuah ungkapan:
“Singa yang marah mengetahui bagaimana ia menyerang (musuh), Sebagaimana kijang diberi kecepatan berlari”
Mereka (orang-orang non-Islam) menyerang kita dengan bermacam tuduhan setelah menemukan banyak kelemahan pada diri kita. Tapi, kita tidak boleh tinggal diam dengan serangan mereka. Kita perlu mencari sejuta cara untuk menolak serangan mereka. Menolak bukan berarti kita melarikan diri karena takut. Akan tetapi menolak dengan menyusun strategi jitu guna menghadapi serangan.

Kita harus berfikir, jangan hanya berdiam diri. Kita harus menjadikan serangan mereka sebagai jalan untuk berfikir. Dengan serangan-serangan tersebut kita harus bangkit dan berbenah diri. Kita menyadari akan kemajuan dan perkembangan mereka. Sebagaimana kita sadar akan keterbelakangan kita saat ini. Namun keterbelakangan ini jangan lantas membuat kita terlelap dalam tidur panjang.

Kita memang tidak suka dengan apa yang mereka lakukan terhadap kita. Tapi ketidaksukaan kita pada mereka janganlah sampai membuat kita berkeinginan untuk balas dendam, yang pada akhirnya bukanlah akal yang kita pakai, tapi malah nafsu.

”Musuh yang pintar itu lebih baik dari pada teman yang bodoh”. Kita sadar akan kemajuan mereka, kita harus terus berusaha agar kita lebih maju dan lebih hebat dari apa yang mereka raih. Kita harus bangkit dan belajar, sehingga kita bisa bersaing di pentas sejarah. Malah kalau bisa, kita perlu memberikan perhatian khusus kepada mereka. Sebab mereka telah menunjukkan kesalahan-kesalahan kita. Seperti disebutkan dalam pepatah lain, “Cintailah musuhmu, karena dia telah menunjukkan kesalahan-kesalahanmu”.

Kalaupun terpaksa harus membenci, bencilah sekedarnya saja. Jangan sampai kebencian kita pada mereka melampaui batas. Karena itu hanya akan membuat kita senantiasa sibuk dengan kutukan-kutukan yang pada akhirnya kita lupa akan fungsi utama kita sebagai “rahmatan lil alamin”.

Islam diturun Tuhan ke muka bumi sebagai sebuah kebenaran. Namun kebenaran tersebut tidaklah turun sendirian. Kebenaran itu tidaklah turun seperti air yang mengalir deras dari pegunungan. Di sana ada lawan yang mengikuti dan membuntutinya. Lawan itu tak lain adalah kemungkaran. Kita tak akan pernah mungkin bisa menghapus segala macam kemungkaran dari papan tulis kehidupan. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir kejadiannya.

Sebagai penutup, penulis hanya berpesan kepada para pembaca agar menjadikan segala serangan yang mereka (orang-orang yang tidak suka pada Islam) lakukan sebagai cambuk atas kelalaian kita. Sebagai pemompa motivasi, untuk kemudian kita bangkit mengokohkan diri seperti karang di lautan yang tahan dengan hantaman ombak-ombak samudra. Agar cita-cita Islam untuk tetap “Go Internasional” dapat kita wujudkan. Dengan begitu Islam akan menjadi seperti dalam firman-Nya “Al-Islamu ya’lu wa la yu’la alaihi”. Semoga sukses..!!!!

1 komentar:

  1. Mengapa mereka disebut ĂŤSLAM'

    INI ARTI SEBENARNYA DARI ISLAM;

    IKUT SETAN LALUI AJARAN MUHAMMAD

    BalasHapus

Ahmadiyah (1) Akhlak (27) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (16) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (53) Poligami (12) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)