Antara Label Haram dan Label Halal



Pekan lalu, ba’da Maghrib, saya dan sahabat saya berada di rumah seorang pejabat BUMN di selatan Jakarta. Di ruang tamunya yang asri, kami bertiga asyik berdiskusi tentang berbagai masalah terkini, dari kondisi berbagai BUMN di Indonesia yang menyedihkan sampai krisis global yang pasti dampaknya akan berimbas sampai di negeri ini. Tanpa terasa, malam kian larut. Kami pun pamit.

Di dalam kendaraan menuju pulang, berbagai bahan diskusi masih berkecamuk di benak saya. Salah satunya, yang menarik, adalah kesalahan paradigma yang selama ini dianut oleh kita semua. Masih terngiang di telinga saya, sahabat saya berkata, “Selama ini kita banyak yang salah dalam mempersepsikan pikiran. Contohnya adalah soal label halal. Padahal yang seharusnya adalah label haram. Indonesia adalah negeri Muslim terbesar dunia, sudah seharusnya semua makanan atau produk yang ada di negeri ini memenuhi syarat kehalalan. Jadi, yang perlu ditempeli atau dilabeli adalah produk-produk yang haram dengan label haram.”

Saya dan tuan rumah sempat terhenyak. Baru sadar dengan kesalahan persepsi ini. Walau kelihatan sepele namun sangat prinsipil dan sangat penting untuk diubah. Memang, yang seharusnya dikasih label adalah makanan atau produk yang haram, dengan label “Haram”. 

Saya ingat, beberapa supermarket besar sudah menerapkan hal ini. Di deretan rak-rak yang menjajakan makanan, ada rak khusus yang dilabeli “Mengandung Babi”. Jadi, dengan sendirinya kita yang Muslim ini mengetahui jika makanan yang ditempatkan di sana adalah haram. Sudah seharusnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) menyadari kesalahan persepsi ini. Akuilah dengan ksatria, kita selama ini salah dengan persepsi label halal. Jika kita meributkan perlu tidaknya label halal, maka secara tanpa sadar, kita seolah mengakui jika makanan yang beredar diluaran secara defaultnya adalah haram. Ini berbahaya mengingat kiat ini negeri Muslim terbesar dunia. Lain halnya jika kita negeri kafir. 

Sebagai negeri Muslim maka default seluruh produk dan makanan yang beredar di negeri ini haruslah memang memenuhi standar kehalalan. Jika ada produk atau makanan yang diproduksi bukan untuk umat Islam dan mengandung bahan-bahan yang haram bagi umat Islam, maka produk itulah yang harusnya mencantumkan label HARAM. Bukan sebaliknya. 

Kesalahan persepsi ini bisa jadi disebabkan kekhilafan pejabat-pejabat kita. Mudah-mudahan, kesalahan persepsi ini bukan disebabkan unsur kesengajaan, karena bisa jadi memproduksi label halal berserta sertifikat untuk label halalnya akan lebih jauh lebih menguntungkan secara materil, ketimbang memproduksi label haram yang jelas jauh lebih sedikit itemnya. Mudah-mudahan pejabat-pejabat terkait dengan hal ini tidak mendahulukan pendekatan “Imanuhum fi Proyekihim”, mendahulukan proyek ketimbang kemashlahatan umat. Amien.

“Rumah sakit pun demikian,” ujar sahabat saya lagi. “Seharusnya rumah sehat.” Kami bertiga tertawa. Saya jelas mentertawakan kedhaifan saya sendiri yang masih saja, setidaknya sampai malam itu, memelihara kejahilan persepsi saya dalam memandang hal-hal seperti itu. Silaturahim memang selalu bermanfaat. Setiap kali bertemu dengan sahabat, kita akan selalu menemukan kebaikan dan mutiara di sana. Terima kasih ya Allah, Engkau telah begitu baik melimpahkan sahabat-sahabat di sekeliling saya yang begitu perduli dengan al-haq dan mau nasihat-menasihati di dalam kebaikan. Alhamdulilah(rd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)