BPJS Dalam Pandangan Hukum Syariah




BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (sebelumnya bernama Jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Hukum BPJS

Sebelum menentukan hukum BPJS, harus diketahui terlebih dahulu sistem dan akad yang digunakan di dalam BPJS tersebut. Setelah menelaah beberapa rujukan, didapatkan beberapa poin bawah ini, berikut pandangan syari’ah terhadapnya:  

Pertama: Menarik iuran wajib dari masyarakat. Ini sebagaimana dicantumkan dalam UU SJSN/No. 40 Th. 2004, Pasal 1 ayat 3 dan UU BPJS/No.24 Th.2011, Pasal 14 serta 16 dan Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 26.

Tanggapan:  Iuran wajib yang diserahkan kepada pemerintah bisa berupa zakat, yang harus didistribusikan oleh pemerintah yang menerapkan Syariat Islam. Bisa juga berupa pajak, yang mana hukumnya masih diperdebatkan di antara para ulama. Dari hasil pajak inilah seharusnya pemerintah memberikan dana sosial kepada masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan. Seandainya BPJS ini dialihkan menjadi pajak wajib bagi masyarakat dan dikhususkan untuk melayani kesehatan masyarakat, maka hukumnya boleh menurut sebagian ulama. Apalagi ada rencana mewajibkan BPJS kepada seluruh rakyat pada tahun 2019 . 

Jika iuran tersebut menggunakan sistem Asuransi Konvensional, peserta yang mendaftar wajib membayar premi setiap bulan untuk membeli pelayanan atas risiko (yang belum tentu terjadi), maka ini hukumnya haram. (Lihat Fatwa MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001)

Adapun jika menggunakan sistem Asuransi Takaful, pesertanya harus memberikan hartanya secara suka rela -bukan terpaksa- demi kemaslahatan bersama, tanpa mengharapkan harta yang diberikan tersebut. Maka dalam hal ini hukumnya boleh. (Lihat MUI, No: 21/DSN-MUI/X/2001).  Ini berdasarkan hadist Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الأشْعَرِيِّينَ إِذَا أرْمَلُوا في الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بالمَديِنَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ في إنَاءٍ وَاحدٍ بالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya keluarga al-Asy’ariyun jika mereka kehabisan bekal di dalam peperangan atau menepisnya makanan keluarga mereka di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di dalam satu kain, kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu bejana, maka mereka itu bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.“ (HR Bukhari, 2486 dan Muslim, 2500)

 Namun jika peserta Asuransi Takaful mengharapkan harta yang sudah diberikan, maka bertentangan dengan pengertian hibah, yang secara hukum Islam harta yang sudah dihibahkan hendaknya jangan ditarik kembali. Hal itu sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلرَّ جُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يرْخِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَ الِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَه          

“Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa-i, dan Ibnu Majah, dishahihkan Syekh Albani)

Ini dikuatkan dengan hadist hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lainnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ

“Orang yang mengambil kembali pemberian ( yang telah diberikan kepada orang lain ) seperti anjing yang menjilat muntahannya (HR Bukhari dan Muslim)

Kedua: Memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi  yang menimpa peserta, sebagaimana disebutkan dalam UU SJSN/No. 40 th 2004, Pasal 1 ayat 3.

Tanggapan: Memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta berdasarkan jumlah premi yang dibayarkan adalah salah satu ciri asuransi konvensional yang diharamkan, karena menjual sesuatu yang tidak jelas dan bersifat spekulatif (gharar). Jika peserta mendapatkan risiko, dia mendapatkan pelayanan, tetapi jika tidak mendapatkan risiko, premi yang dibayarkan tiap bulan akan hangus begitu saja.   

Ketiga: BPJS bertujuan agar masyarakat saling membantu satu dengan yang lainnya.

Tanggapan: Di dalam BPJS tidak selalu didapatkan  unsur saling membantu (ta’awun) dalam arti yang sebenarnya. Karena tidak setiap peserta BPJS ketika membayar premi berniat untuk membantu orang lain, bahkan cenderung demi kepentingan diri sendiri, agar jika sakit, ia  mendapatkan  pelayanan yang maksimal dengan biaya minimal. Dengan sistem tersebut, tidak selalu didapatkan orang kaya membantu orang miskin, justru pada kenyataannya banyak orang kaya yang  terbantu biaya pengobatannya dari iuran orang miskin yang tidak sakit.

Bentuk ta’awun yang dianjurkan adalah orang-orang kaya membantu orang-orang miskin, tanpa mengharap timbal balik dari orang miskin. Hal itu bisa diwujudkan dalam bentuk zakat, pajak, maupun pengumpulan dana sosial.

Keempat: Dana yang terkumpul dari masyarakat dikembangkan oleh BPJS, baik dalam bentuk investasi maupun di simpan di Bank-bank Konvensional, yang secara tidak langsung juga mengambil keuntungan. Ini tertuang dalam UU BPJS/No.24 Th.2011, Pasal 11  dan UU SJSN/No. 40 th 2004, Pasal 1 ayat 7 serta Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 33 ). Ini juga disebutkan dalam UU 24/2014, bahwa jaminan sosial harus disimpan dalam bank pemerintah yang ditunjuk.

Tanggapan: Pelayanan yang diterima oleh peserta BPJS adalah hasil dari investasi ribawi. Peserta BPJS sengaja melakukan akad investasi yang di simpan di Bank-bank Konvensional, kemudian hasilnya mereka terima berupa pelayanan kesehatan. Ini berbeda dengan dana haji ataupun dana-dana lain dari pemerintah yang diterima masyarakat, karena di dalamnya tidak ada akad investasi, tetapi hanya akad mendapatkan pelayanan, yang mana masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali melalui pemerintah.  

Selain itu, di dalam Asuransi Sosial tidak dibolehkan mengambil keuntungan kecuali  sekedar gaji bagi pengelola sesuai dengan kerjanya.

Kelima: Peserta BPJS jika meninggal dunia, maka haknya untuk mendapatkan dana BPJS gugur secara otomatis.

Tanggapan: Pada dasarnya, seseorang yang mempunyai hak berupa harta benda atau sesuatu yang bernilai, jika dia meninggal dunia, haknya tersebut akan berpindah kepada ahli warisnya. Jika hak tersebut menjadi hangus, di sini  ada unsur kezaliman dan unsur merugikan pihak lain. Jika hal itu dianggap kesepakatan, tidak boleh ada kesepakatan yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, sebagaimana dalam hadist Amru bin 'Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (Hadist Hasan Shahih Riwayat Tirmidzi)

 Ini dikuatkan dengan hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

       كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitab Allah adalah batil, walaupun seratus syarat." (HR Bukhari dan Muslim)

Keenam: Memberikan sanksi atau denda bagi peserta yang menunggak atau terlambat dalam membayar premi, sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan BPJS No.1/ 2014, Pasal 35, ayat 4 dan 5.

Tanggapan: Seseorang yang berutang dan terlambat dalam pembayarannya, tidak boleh dibebani dengan membayar denda, karena ini termasuk riba yang diharamkan, kecuali jika dia mampu dan tidak ada i’tikad baik untuk membayar, maka – menurut sebagian ulama - boleh dikenakan denda yang diperuntukkan sebagai dana sosial dan sama sekali tidak boleh diambil manfaatnya oleh yang mengutangi (Lihat Fatwa MUI, DSN No: 17/DSN-MUI/IX/2000). Hal ini sesuai dengan hadits Ali bahwasanya radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.

“Setiap pinjaman yang membawa manfaat (yang meminjamkan ) maka dianggap riba.“ ( HR. Baihaqi dan Hakim, berkata al-Bushairi di dalam Ittihaf al- Khirah al-Mahirah ( 3/380 ) : Sanadnya lemah karena di dalamnya terdapat Siwar bin Mush’ab al-Hamdani. Tetapi dia mempunyai penguat secara mauquf dari Fidhalah bin Ubaid )

Apakah denda tersebut masuk dalam kategori asy-Syarth al-Jazai (sarat bersangsi ), yaitu syarat berupa denda atas keteledoran dalam bekerja?  Sebagian  ulama membolehkan memberikan sangsi atas keteledoran atau keterlambatan dalam bekerja, tetapi tidak membolehkan denda di dalam utang piutang. Denda di dalam BPJS termasuk dalam kategori denda karena utang piutang.

Ketujuh: Belum ada Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan belum ada audit oleh Dewan Syariah Nasional  (DSN)

Kedelapan: Belum menerapkan Asuransi Syariah

Kesimpulan:

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa BPJS masih menyisakan banyak masalah, selain sistem administrasi yang belum rapi, terdapat beberapa penyimpangan dari sisi hukum Islam. Oleh karenanya, diharapkan ke depan pemerintah membentuk BPJS Syariah yang menerapkan Asuransi Syariah yang dalam operasionalnya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan diaudit oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Wallahu A’lam.

Pondok Gede, 1 Rajab 1436 H / 21 April 2015 M | Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA | Sumber: ahmadzain.com


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)