Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil-'alamin, sebab istilah rahmatan lil-'alamin telah dinyatakan oleh al-Qur'an. Istilah rahmatan lil-'alamin dipetik dari salah satu ayat al-Qur'an;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-'aalamiin (Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam)." (QS al-Anbiya' : 107).
Dalam ayat itu, "rahmatan lil-'alamin" secara tegas
dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad saw. Artinya, Allah tidaklah
menjadikan Nabi saw sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau
menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah
kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat
manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada
yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang
menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sahabat Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam, pakar
dalam Ilmu Tafsir menyatakan: "Orang yang beriman kepada Nabi saw, maka
akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat.
Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka akan
diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika
masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari
langit."
Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan
bahwa rahmatan lil-'alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam
dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar
mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: "Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat." (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan
lil-'alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi saw.
Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-'alamin dengan
sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini
berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-'alamin sangat erat
kaitannya dengan kerasulan Nabi saw, yakni penyampaian ajaran Islam
kepada umatnya.
Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-'alamin tidak
boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri.
Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga
keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa
bersama lintas agama dengan alasan itu adalah "Islam rahmatan
lil-'alamin". Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna
rahmatan lil-'alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-'alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-'aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
"Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (QS. al-Furqan : 1).
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba' : 28).
Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-'alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-'alamin.
Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama
lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat
disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak
berjalan baik.
Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.
Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-'alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim
menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu,
pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong
orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang
salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ
اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya." (QS. al-Ma'idah : 2).
Doa Lintas Agama
Doa bersama lintas agama, dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-'alamin. Padahal,
karakter rahmatan lil-'alamin, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan
doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari
pada ibadah (mukhkhul 'ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan.
Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan
memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang
dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera
mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah,
bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam
hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang saleh yang
dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam
oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat istisqa' (mohon diturunkannya
hujan) dalam kitab-kitab fiqih.
Ada dua pendapat di kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa'.
Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa'. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka itu tidak berhak dilarang.
Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa', karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa' ditujukan untuk memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.
Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi'iyyah Muktamar NU di PP
Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa "Doa Bersama
Antar Umat Beragama" hukumnya haram. Diantara dalil yang mendasarinya:
Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: "Wa laa yajuuzu an-yuammina 'alaa du'aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du'aal kaafiri ghairul maqbuuli." (Lebih jauh, lihat: Ahkamul Fuqaha, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta'lif wan-Nasyr, NU
Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). Wallahu a'lam.*
Oleh: KH.Muhammad Idrus Romli, Penulis adalah
Pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur. Tulisan ini sudah
dimuat di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 15 Desember 2011 dengan judul
"Rahmatan Lil-'Alamin dan Toleransi" dan diambil dari hidayatullah.com.
Ket.foto:gp-anshor.org. (bilal/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar