MUI Semasa Buya HAMKA dan Sesudahnya



Buya HAMKA merupakan Ketua Umum MUI pertama. Pada masa beliau, MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam mengikuti perayaan natal dan haram pula mengucapkan selamat natal. Fatwa tersebut mendapat reaksi dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara, dan ia mewakili pemerintah meminta fatwa tersebut dicabut. Buya Hamka memilih mundur dari jabatan Ketua Umum MUI daripada harus mencabut fatwa tersebut. Buya Hamka wafat tahun 1981, tak lama setelah mengundurkan diri.

Buya HAMKA juga dengan tegas menolak aliran kepercayaan/kebatinan untuk diatur (dimasukkan) ke GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Meski akhirnya di tahun 1978 aliran kepercayaan berhasil masuk GBHN, namun ternyata semangat Buya Hamka itu masih tertanam kuat di dada umat, sehingga di tahun 2000-an setelah jatuhnya Presiden Soeharto, aliran kepercayaan itu pun dihapus dari GBHN oleh Sidang Istimewa MPR.

Buya Hamka juga mewariskan sesuatu yang sangat penting: Dalam Munas II Alim Ulama MUI difatwakan, Ahmadiyah itu di luar Islam, dan sesat menyesatkan. Fatwa itu pun diperkuat dengan diterbitkannya surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama 1984. Kini di tahun 2005 fatwa MUI itu punya makna penting untuk sandaran menutup dan melarang kampus Mubarok, pusat Ahmadiyah Indonesia di Parung Jawa Barat, yang ditetapkan pelarangaannya oleh Pemda Kabupaten Bogor dengan jajarannya, pada tanggal 20 Juli 2005.

Keberhasilan ini membuat orang-orang berpaham liberal seperti Dawam Rahardjo, Johan Effendi (anggota resmi Ahmadiyah), Musdah Mulia, dan Ulil Abshar Abdalla (yang berfaham pluralisme agama alias menyamakan semua agama) serempak menggugat-gugat fatwa MUI. Bahkan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan lancang mengusulkan dalam dialog dengan H. Amidhan (Ketua MUI) di Metro TV (Senin malam 18 Juli 2005), agar Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah itu dicabut dan direvisi. Ternyata Ulil ini selain menamakan dirinya liberal juga terkesan lebih otoriter dibanding rezim Orde Baru. Rezim Soeharto saja tidak sampai mengungkapkan usulan lancang seperti dilontarkan Ulil, meski berbeda pendapat berkenaan dengan fatwa MUI tentang perayaan natal. Ketika itu, usulan lancang Ulil ditolak H Amidhan (Ketua MUI), kalau fatwa itu direvisi atau bahkan dicabut maka akan kacau. Sebab fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah itu sudah melalui proses kajian yang sangat mendalam.

Pasca Buya Hamka

Kepengurusan MUI pasca Buya Hamka dipimpin oleh KH Syukri Ghozali, asal Salatiga Jawa Tengah, yang penampilannya sangat tenang. Sedangkan yang mendampinginya sebagai wakil adalah KH Hasan Basri, asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Pada masa kepemimpinan KH Syukri Ghozali ini, Teguh Esha, Nazwar Syamsu dan lainnya yang mengusung faham Inkar Sunnah (tidak memakai Hadits Nabi saw sebagai landasan Islam) pun dilibas oleh kiai tenang ini. Pentolannya pun dipanggil. Lalu Kejaksaan Agung (pemerintah) pun melarang faham Inkar Sunnah. Seorang pejabat Departemen Agama yang terpeleset dalam mu’amalahnya sehingga terperosok mengikuti paham Inkar Sunnah pun terkena geser dari jabatannya. 

Sayangnya, meski MUI berhasil melibas Inkar Sunnah dengan persetujuan pemerintah, namun tidak berhasil melibas buku Catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam suntingan Djohan Effendi dan Ismet Natsir yang diterbitkan LP3ES Jakarta (1982). Ketika itu, petinggi LP3ES adalah Dawam Rahardjo. Buku itu diberi kata pengantar oleh Mukti Ali mantan menteri agama. 

Walaupun MUI menyatakan bahwa buku itu berbahaya, sesat, dan penulisnya dinyatakan murtad –karena di antara isinya bertentangan dengan Islam, misalnya Karl Marx akan masuk surga dan surganya tertinggi bersama Nabi Muhammad saw– namun menurut satu sumber, cukup dikilahi oleh Djohan Effendi yang pejabat di Departemen Agama dengan sepucuk surat dari Badan Litbang Depag bahwa itu buku ilmiyah, maka tidak bisa dibredel. 

MUI dan umat Islam yang sudah risau dengan buku itu sejak 1982, tahu-tahu di tahun 2002 buku Catatan Harian Ahmad Wahib itu dijadikan objek lomba penulisan resensi oleh kelompok JIL, dengan iming-iming hadiah pertama 30 juta rupiah. Lomba itu diulang-ulang sampai kini.

Pada tahun 1983 KH Syukri Ghazali dipanggil ke hadirat Allah SWT. Beliau hanya sempat memimpin MUI selama 2 tahun (sejak 1981). Pada tahun-tahun 1983 itu, pekerjaan MUI masih sangat banyak.

Sepeninggal KH Syukri Ghazali, ada seorang tokoh dari Bandung yang ditengarai akan memuluskan program Presiden Soeharto untuk melegalkan asas tunggal Pancasila. Konon di kota suci Makkah pun tokoh ini sempat berbincang masalah yang disengiti umat Islam itu. Ada yang memperkirakan, tokoh ini berhasrat memimpin MUI, ketika itu diperkirakan Soeharto pun merestui, karena KH Hasan Basri wakil Ketua MUI yang punya peluang memimpin MUI, dikenal sebagai orang keras. Ternyata Allah SWT berkehendak lain, yaitu mewafatkan tokoh itu sebelum Munas MUI 1985. Maka sambil menunggu keputusan Munas MUI 1985, secara otomatis kepemimpinan MUI dipegang oleh KH Hasan Basri. Entah kenapa, walaupun Soeharto khabarnya kurang senang kepada KH Hasan Basri, namun beliau tetap dibolehkan terpilih jadi ketua umum MUI periode 1985-1990.

Begitu diangkat jadi Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri langsung ditugaskan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali untuk menjadi Amirul Hajj Indonesia (pemimpin haji Indonesia) 1985. Sepulang dari berhaji, KH Hasan Basri berbicara kepada para wartawan bahwa umat Islam Indonesia, khususnya mereka yang melaksanakan ibadah haji, ternyata banyak yang belum mengerti tatacara ibadah, termasuk soal tata cara ber-wudhu, sehinga perlu disediakan pembimbing ibadah haji. Saran KH Hasan Basri itu dilaksanakan oleh Menteri Agama. Maka mulai 1986 diadakan tim pembimbing ibadah haji (TPIH). Dalam pelaksanaannya, yang berangkat kebanyakan pejabat Departemen Agama dan mereka membawa isteri. Maka tahun 1987 Menteri Agama menginstruksikan TPIH tidak boleh membawa isteri. Selanjutnya dari ormas-ormas Islam diberi kesempatan menjadi anggota TPIH. Terhadap kebijakan ini, ada yang memaknai sebagai kampanye terselubung untuk mendukung Golkar. Ketika itu lahirlah istilah “Haji Abdidin” (Haji atas biaya dinas).

Di masa KH Hasan Basri, banyak masalah yang harus dihadapi MUI. Antara lain merajalelanya Porkas yang kemudian dinamai SDSB (Sumbangan Dana Sukarela Berhadiah), alias judi kupon dengan membeli nomor kupon secara nasional. Gara-gara terpengaruh SDSB yang menjanjikan hadiah besar ini, rakyat awam yang kurang iman dan ingin cepat kaya pun banyak yang menjual sawah, kebun, rumah, dan sebagainya untuk membeli kupon SDSB. Ketika itu, orang-orang gila pun naik pangkat, dijadikan ‘narasumber’ untuk ditanyakan tentang nomor yang akan keluar tiap seminggu sekali. Bahkan para Kiai pun ada yang ditanya tentang nomor. 

KH Hasan Basri dalam satu rapat di Forum Ukhuwah Islamiyah MUI, pernah menginformasikan, bahwa beliau dan jajaran pengurus MUI pernah menghadap ke Presiden Soeharto, untuk melaporkan bahwa SDSB menurut pengamatan MUI dan laporan MUI daerah-daerah, lebih banyak mudhorotnya dibanding mafaatnya. Tetapi keluhan MUI ini dijawab Soeharto dengan tenangnya: “Kalau begitu Pak Kiai, tolong kami dibantu mengurangi mudhorotnya itu!” Rupanya, presiden Soeharto tidak paham maksud mudhorot yang disampaikan para ulama.

Judi SDSB saat itu sangat sulit dihentikan, karena merupakan kemauan presiden. Sehingga Menteri Sosial kala itu (seorang perempuan) tidak bisa berbuat lain. Ketika sang ibu menteri sosial pulang dari menunaikan ibadah haji ditanya wartawan, bagaimana tentang SDSB, dijawab: “Insya Allah dilanjutkan!” Sebuah jawaban yang menunjukkan kebingungan.

Setelah umat Islam kian sangat resah, MUI kembali menegaskan bahwa SDSB haram hukumnya. Akhirnya SDSB dicabut setelah berjalan sekitar 7 tahun dan telah mengakibatkan aneka kerusakan di masyarakat.

Di samping harus menghadapi masalah judi, MUI juga harus menghadapi Menteri Agama Munawir Sjadzali yang bersikeras mau mengubah hukum waris Islam, agar wanita bagiannya sama dengan laki-laki. MUI tidak diam. Karena di Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 11 menegaskan, bagi anak laki-laki (bagian warisannya) seperti dua bagian anak perempuan; maka Ketua Komisi Fatwa MUI Prof KH Ibrahim Hosen menentang pendapat Pak Munawir Sjadzali. Penentangannya itu dilakukan dengan berkirim surat ke Presiden Soeharto dan juga ke pers. Sehingga proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang oleh Menag Munawir Sjadzali diupayakan untuk mengikuti pendapatnya, ternyata berhasil digagalkan, karena MUI pun duduk di sana bersama ulama-ulama se-Indonesia.

Masalah KHI ini kembali terulang (di tahun 2004) pada masa Departemen Agama dipimpin oleh Said Agil Al-Munawwar. Sosok Musdah Mulia menjadi figur sentral di dalam mengajukan KHI versi pikiran sesat orang-orang berfaham Liberal. Hal ini menunjukkan bahwa setan-setan pengusung paham liberal dan pluralisme agama ini tidak pernah berhenti mengacaukan aqidah ummat, meski Ahmad Wahib dan Harun Nasution sudah mati, Mukti Ali dan Munawir Sjadzali juga mati, namun penerusnya masih hidup dan terus berusaha merusak aqidah umat.

Periode selanjutnya, KH Hasan Basri masih terpilih lagi sebagai ketua umum. Ketika itu, beliaun sudah dalam kondisi sakit-sakitan, kemudian wafat. Kepemimpinan MUI pun kemudian dipegang KH Sahal Mahfud yang tinggal di Pati Jawa Tengah. Ulama yang petinggi NU (Nahdlatul Ulama) ini harus bolak-balik Pati- Jakarta yang jarak tempuh mobil sekitar 9 jam. Maka sering-sering yang memberi pernyataan dalam hal-hal yang spontan biasanya H Amidhan selaku salah satu Ketua MUI atau Din Syamsuddin Sekretaris Umum MUI. 

Dalam kasus Ahmadiyah, suara MUI cukup mendapatkan respon positif dari umat Islam, tetapi mendapat respon negatif dari kalangan liberal yang sering membela kesesatan termasuk Ahmadiyah, padahal Ahmadiyah telah difatwakan MUI sesat menyesatkan, sebagaimana telah difatwakan oleh Liga Dunia Islam (Rabithah Alam Islami) yang bermarkas di Makkah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (27) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (16) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (53) Poligami (12) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)