Da’wah Merupakan Jalan Para Rasul



Da’wah merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tanpa da’wah dapat dipastikan bahwa Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini. Sebab, hanya da’wah lah yang mampu mempertahankan eksistensi Islam hingga saat ini. Dalam mana kita dapat membayangkan, apa jadinya jika dunia sepi dari kegiatan da’wah? Sepi dari kegiatan transfer ilmu agama?, Pasti akan muncul sebuah generasi yang tidak mengenal aturan hidup (syari’at). Pada akhirnya akan muncul suatu kehidupan yang berantakan (chaose). Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika al-Qur’an menyebutkan bahwa da’wah merupakan jalan para Rasul Allah. Sejak Rosul pertama sampai dengan rosul terakhir, Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Secara etimologi, da’wah berasal dari akar kata da’aa-yad’ua, yang mengandung arti mengajak, menyeru dan mengundang. Adapun secara terminologi, merupakan segala aktivitas yang dilakukan secara terorganisir, untuk mengajak seseorang atau lebih kepada jalan yang lurus (ash-shiroth al-mustaqim), mengeluarkan sesorang dari kesesatan menuju hidayah dan dari kegelapan menuju cahaya Islam, dengan menggunakan metode yang sistematis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Dalam berda’wah, setidaknya ada sepiluh pilar yang harus diperhatikan oleh para da’i. Dalam mana sepuluh pilar ini merupakan hasil ijtihad seorang ulama dan mujahid Islam yang sangat populer, yaitu Hassan al-Banna. Selanjutnya, sepuluh pilar itu sudah banyak dijelaskan oleh banyak ulama dan cendekiawan muslim, seperti Sa’id Hawa dalam “Afaaq Risalah at-Ta’lim”, Dr. Abdullah al-Khatib dan Dr. Abdu Halim dalam “Nazharat fi Risalah Ta’lim” , Dr. Yusuf al-Qordowi dalam “Aulawiyat al-harokah al-Islamiyah” dan yang terakhir Rahmad Abdullah dalam bukunya “untukmu kader da’wah”. Adapun herarkis sepuluh pilar itu adalah.

Pertama, al-Fahmu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti pemahaman. Artinya setiap da’I harus mampu memberikan pemahan yang benar kepada obyek da’wahnya tentang apa yang ia da’wahkan, dalam hal ini adalah Islam.

Kedua, al-ikhlas. Artinya seorang da’i harus melandasi seluruh aktivitas da’wahnya dengan totalitas keikhlasan kepada Allah SWT. Da’i tidak boleh mengharapkan dari aktivitas da’wahnya itu melainkan keridho’an Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga orang-orang yang diajak pun mampu merasakan pancaran kesucian jiwanya. Dalam pada itu, mereka pun akhirnya akan percaya bahwa yang disampaikan oleh da’i itu merupakan kebenaran dari Allah SWT, sebelum pada akhirnya mereka pun akan mengikuti arahan dan pesan da’wah dari da’i tersebut. Bahkan tidak mustahil kelak mereka pun akan menjadi da’i-da’i baru yang akan meneruskan agenda da’wah muka bumi ini.

Ketiga, al-’Amal. Sangat ironis sekali jika seorang da’i mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, namun ia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkan. Disamping mendapat murka dari Allah SWT, orang lain pun akan meremehkannya dan tidak akan menggubris apa yang dikatakannya. Dalam pada itu, sangat besar kemungkinannya agenda da’wah akan terhambat. Dikarenakan ulah sebagian da’i yang tidak mampu memberi contoh yang baik (qudwah hasanah) bagi obyek da’wahnya.

Keempat, al-Jihad. Di dalam da’wah amal saja tidak cukup, melainkan diperlukan pula adanya kesungguhan dan usaha keras dari para da’i tersebut. Sehingga da’wah itu dapat berjalan secara efektif dan mampu mengajak lebih banyak objek da’wah. Tanpa kesungguhan, da’wah akan berjalan ala kadarnya, bahkan sangat dimungkinkan akan terjadi futur (patah semangat) dalam diri da’i itu. Mengingat da’wah bukanlah pekerjaan yang ringan. Sehingga kesungguhan merukapakan hal yang harus dimiliki oleh setiap da’i.

Kelima, at-Tadhiyah. Disamping kesungguhan, diperlukan pula adanya pengorbanan dari da’i, baik pengorbanan material maupun mental. Merupakan kebohongan besar, jika ada yang ingin mengambil jalan da’wah tanpa mau berkorban. Mengingat orientasi da’wah tidak lah sama dengan perdagangan, yang nota bene berorientasi pada keuntungan material. Maka dari itu, pengorbanan merupakan suatu keniscayaan bagi para da’i.

Keenam, ath-Tho’ah. Dalam berda’wah seorang da’i tidak boleh berjalan secera sendiri-sendiri. Melainkan harus secara berjama’ah. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya kepatuhan dari setiap da’i terhadap keputusan jama’ah itu. Jika tidak, maka hampir dapat dipastikan bahwa da’wah tersebut akan kandas di tengah jalan, bahkan bisa jadi para da’I itu akan mengalami kesulitan dan rintangan dari musuh-musuh da’wah.

Ketujuh, ats-Tsabat. Disamping memiliki kepatuhan, seorang da’i dituntut untuk memiliki keteguhan hati. Sehingga sanggup melawan segala rintangan dan kesulitan yang ditemuinya dalam menjalankan tugas dan amanahnya dari da’wah tersebut.

Kedelapan, at-Tajarrud. Agar dapat menyampaikan da’wahnya dengan benar, maka seorang da’i juga harus memiliki paradigma berfikir yang benar dan terbebas dari pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami. Dalam pada itu, ketika seorang da’i sudah tercemari paradigma berfikirnya, maka ada kemungkinan da’i, yang sedianya ingin menyelamatkan orang, malah menyesatkannya. Inilah makna dari At-Tajarrud itu.

Kesembilan, al-Uhkuwah. Ketika berda’wah,hampir dapat dipastikan bahwa da’i akan menemui pelbagai rintangan, sehingga bantuan dari da’i lain sangat diperlukan dalam rangka menyukseskan agenda da’wah. Dari itu, rasa persaudaraan, baik sesama da’i, maupun antara da’i dengan obyek da’wahnya, merupakan hal yang sangat krusial dalam da’wah. Sehingga ketika memerlukan bantuan ia dapat memanggil saudaranya.

Kesepuluh, ats-Tsiqoh (kepercayaan). Mustahil rasanya, seseorang mau mengikuti perkataan orang lain tanpa adanya kepercayaan orang tersebut kepadanya. Dari itu, kepercayaan merupakan hal yang harus dibangun oleh para da’i di hadapan para obyek da’wahnya. Dalam mana, ketika kepercayaan sudah ada maka para da’I, dapat dengan mudah mengarahkan obyek da’wahnya untuk mengikuti arahan dan pesan da’wah yang ia berikan padanya. Sebelum pada akhirnya, da’i tersebut juga dapat mempercayakan suatu perkara kepada kader da’wah yang muncul dari mereka, untuk meneruskan da’wahnya. Maka rasa saling mempercayai dari kedua belah pihak merupakan sebuah keniscayaan.

Itulah sepuluh pilar dalam da’wah. Dalam mana harus dipegang teguh oleh setiap da’i dan dilaksanakan menurut herarkinya. Dan mudah-mudahan, dengan melaksanakan itu semua, Allah SWT berkenan untuk menjadikan kita para da’i yang berkompeten dan meraih kesuksesan dalam berda’wah. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (27) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (16) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (53) Poligami (12) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)