Perempuan,sejak dari awalnya memang dipandang tidak lebih sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan secara murahan. Sebagai contoh, dalam doktrin peradaban Yunani, menurut penuturan Prof. Will Durant:
Di Roma, hanya kaum lelaki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa-masa awal negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya —pada masa-masa tersebut— menjadi miliknya pribadi….Proses kelahiran menjadi suatu perkara yang mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.
Bahkan para filosof Yunani sendiri pun menyamakan perempuan dengan para budak yang hina dan ‘patut’ ditindas. Aristoteles mengatakan:
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah....Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan....
Orang-orang Yunani juga memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Orang-orang Sparta juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain.
Pandangan yang lebih menghinakan lagi dapat kita dapati dalam peradaban Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati, bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan:
Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan.
Pandangan yang tak jauh berbeda juga dilontarkan oleh peradaban Hindu. Sebuah buku yang berisi aturan-aturan keagamaan Sansekerta kuno,Draramasastra, memuat satu bab tentang “kedudukan klan kewajiban agama kaum perempuan” atau stridharmapaddhati. Pengarang (atau lebih tepatnya penyusun) buku ini, Tryambaka, adalah seorang pandit (pendeta) ortodoks yang tinggal di Thanjavur, yang sekarang terletak di bagian selatan negara bagian Tamil Nadu, India.
Aturan tentang kaum perempuan dalam buku tersebut secara umum menempatkan kaum perempuan pada golongan warga negara kelas dua.Sebagai contoh, seorang istri tidak mempunyai hak atas harta kekayaan suaminya. Harta kekayaan yang dimiliki bersama oleh suami dan istri hanya boleh dikeluarkan oleh sang suami; boleh dikeluarkan oleh istri, tetapi harus seizin suaminya. Ada tiga pesan yang dapat diambil dari buku Pandit Tryambaka ini.
Pertama: seorang istri tidak perlu memperhatikan kehidupan pribadinya.
Kedua: seorang istri bahkan harus rela untuk dijual apabila suaminya menghendaki.
Ketiga: kepatuhan kepada suaminya harus diutamakan ketimbang kewajiban-kewajiban lainnya, termasuk kewajiban-kewajiban agama sekalipun.
Agama Nasrani pun tak luput dalam melecehkan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica, “Sejak awal, lembaga gereja telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang amat rendah.”
Barat pun ‘Melecehkan’ Perempuan
Saat ini, di Barat ketika kaum perempuan merasa bertanggung jawab atas segala urusannya sendiri, apakah mereka telah mencapai puncak kesetaraan jender? Apakah “perempuan baru” yang ada di Barat telah mampu membebaskan diri sepenuhnya dari berbagai penindasan sebagaimana yang mereka perjuangkan? Apakah kemunculan gerakan “pembebasan” mereka itu menandakan datangnya kehidupan dunia yang baru dan lebih bermoral? Apakah gerakan “pembebasan” itu telah mampu mewujudkan emansipasi kaum perempuan yang hakiki, dan membebaskan mereka dari ketidakadilan?
Menurut mereka (kaum feminis), jawaban yang diberikan pastilah, “Ya.” Namun, sayangnya kita terpaksa menjawab, “Tidak!”
Mereka mengklaim telah mempunyai peradaban modern dan beradab. Namun sejatinya, peradaban mereka penuh dengan nuansa bar-bar dan kembali pada kebodohan. Tingginya angka pembunuhan bayi, prostitusi, pemerkosaan, perceraian, dan single parent (yang paling umum adalah single mother) adalah menjadi pertanda bahwa adat kebiasaan mereka sama dengan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh “bangsa-bangsa biadab” Romawi Kuno, Persia, Arab Jahiliah, dan Yahudi.
Salah satu fakta yang menunjukkan bagaimana di mata Barat perempuan sangat dilecehkan adalah kasus aborsi. Pada abad modern ini, di Barat, membunuh bayi perempuan tidak berdosa yang baru lahir boleh jadi sangat jarang kita temui. Akan tetapi, menggugurkan mereka ketika masih berbentuk janin, kemudian mengeluarkan jasad mereka dari rahim dalam keadaan terpotong-potong seperti sampah, semakin umum dilihat dan dipraktikkan.
Teknik aborsi yang terbaru, yang diberi nama “partial birth-abortion”, dilakukan dengan mengeluarkan janin dari dalam rahim sepotong demi sepotong sehingga tinggal kepala bayi yang masih tersisa di dalam rahim. Kemudian para praktisi aborsi (apakah orang-orang seperti ini layak diberi gelar dokter?), melubangi tengkorak bayi dengan sebuah alat yang taham, memasukkan kateter ke dalamnya, dan menyedot otak bayi sampai habis. Setelah isinya disedot habis, maka kepala bayi berikut sisa-sisa tubuh lainnya dapat dikeluarkan semuanya dengan mudah. Inikah sebuah peradaban modern yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan?
Fakta kedua tentang pelecehan Barat terhadap perempuan adalah industri pornografi. Pesatnya pertumbuhan industri pornografi sejak tahun 1950-an, sekali lagi, dipandang mencerminkan kemajuan “kesetaraan jender” di Barat. Dunia pornografi sama sekali tidak mempertimbangkan kaum perempuan sebagai manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan, namun hanya sekadar sebagai komoditas yang layak dimanfaatkan dan segera disingkirkan apabila tak lagi dapat dijual. Kaum perempuan diyakinkan bahwa dengan menjual tubuh, mereka akan mampu meraih “kesetaraan”. Padahal kenyataannya, kaum perempuan hanya menjadi obyek kaum laki-laki yang memanfaatkan kedok “kesetaraan” untuk dapat mengeksploitasi kaum perempuan semata-mata demi kepentingan hawa nafsu mereka dan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Pada tahun 1980-an, sebuah “langkah maju” dalam hal manipulasi perempuan kembali terjadi. Sheila Jeffreys, seorang feminis, menulis:
Kaum perempuan telah diberitahu oleh para pengusung ide kebebasan, bahwa karena sekarang kaum perempuan telah “setara” dengan kaum laki-laki, maka tidak ada salahnya kaum perempuan ikut menikmati pornografi. Ideologi ini justru telah menggagalkan gerakan emansipasi perempuan, bukan mendukungnya. Gagasan untuk menjual produk-produk pornografi kepada kaum perempuan sejak tahun 1980-an telah menjadi sebuah strategi yang canggih dan efektif dalam memperkuat kekuasaan kaum laki-laki.
(Gus Uwik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar