Orang jenius itu sedikit. Yang idiot juga sedikit. Yang banyak itu, tidak jenius, tidak pula idiot.
Yang rupawan, cantik dan ganteng, itu sedikit. Yang jelek, berparas buruk, juga sedikit. Yang banyak itu, bertampang pasaran. Pendek kata, yang banyak itu adalah, yang sedang-sedang, yang rata-rata.
Tetapi orang yang biasa-biasa, yang tidak jenius tidak pula idiot, seringkali berusaha agar pintar seperti orang jenius. Begitu pula, orang yang bertampang standar, berwajah biasa, justru berusaha memoles diri agar tampak rupawan.
Mengapa? Karena orang jenius, orang pintar yang selalu ranking satu, dianggap akan sukses. Begitu pula, orang cantik dan ganteng, akan dipuja dan diperhatikan.
Memang, sejak lahir hingga mati, manusia adalah makhluk yang terus-menerus menjadi. Ia bukanlah mesin, yang setelah diciptakan, tidak bisa mengubah dirinya sendiri.
Manusia juga tidak seperti hewan dan tumbuhan, yang hanya tumbuh dan berkembang secara alamiah. Manusia tumbuh sekaligus menumbuhkan dirinya. Manusia diciptakan sekaligus menciptakan dirinya.
Karena itu, sudah seharusnya manusia senantiasa berusaha meningkatkan kualitas dirinya. Sejak bayi hingga dewasa, ia harus memerhatikan tubuhnya agar tetap sehat dan kuat.
Ia harus makan, minum, olahraga dan istirahat yang cukup. Ia juga perlu pakaian dan tempat tinggal yang melindunginya dari cuaca, panas matahari dan guyuran hujan. Jika sakit, ia harus segera berobat sampai sembuh.
Begitu pula, agar tidak bodoh, ia harus menjalani pendidikan di rumah, di sekolah hingga perguruan tinggi. Bahkan, setelah tamat dari pendidikan formal pun, manusia tetap harus terus belajar, seumur hidupnya.
Ibarat menembak objek yang bergerak, manusia harus bergerak mengikuti perubahan. Ia harus mau belajar di sekolah kehidupan, yang selalu berkembang, berubah dan kompleks.
Tetapi, kebutuhan manusia akan pendidikan itu lama-lama menjadi berlebihan. Anak yang kecerdasannya biasa-biasa saja, malah dipaksa dan dilecut agar menjadi juara.
Pelajaran di sekolah makin hari makin berat. Katanya, agar anak-anak kita siap bersaing di era global. Hidup ini seolah hanya soal menang-kalah, dan lembaga pendidikan bertugas membuat anak-anak kita menjadi pemenang.
Menang-kalah itu juga berlangsung antarlembaga pendidikan. Lembaga yang menang akan menjadi favorit. Bantuan pemerintah akan mengalir deras, dan para pejabat akan membanggakannya.
Para orangtua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke lembaga itu. Ketika peminat membludak, biaya akan mudah membengkak. Akhirnya, kemampuan membayar lebih utama daripada kemampuan belajar.
Lebih parah lagi, kemampuan membayar itu secara perlahan berubah menjadi gengsi, sebagai simbol kelas sosial si anak dan orangtuanya. Yang dibanggakan tidak lagi kualitas pendidikan yang didapatkan, tetapi kemahalan biaya yang dibayarkan.
Sekolah atau kuliah di lembaga itu menjelma sebagai simbol kekayaan. Pendidikan akhirnya menjadi ajang memamerkan, bahkan menciptakan kesenjangan.
Di sisi lain, muncul pula gairah menggebu untuk mengubah nasib melalui pendidikan. Ini suatu hasrat yang baik. Tetapi tidak jarang, pilihan atas lembaga pendidikan itu tidak lagi peduli dengan kemampuan, minat dan bakat, melainkan gengsi, atau peluang untuk menjadi PNS semata. Akibatnya, lahirlah guru yang tak berjiwa mendidik, dokter yang tak berjiwa melayani, insinyur yang tak teliti, dan seterusnya.
Sikap berlebihan di dunia pendidikan di atas, ternyata tampak sejalan dengan sikap banyak orang yang rela melakukan apa saja, agar tetap kelihatan muda, cantik dan ganteng, dari memakai rupa-rupa kosmetik, perawatan rutin di salon, olahraga, diet hingga operasi plastik, bahkan pergi ke dukun. Selain dirawat, tubuhnya juga diselimuti dan dihiasi pakaian indah dan mewah.
Padahal, setiap yang berlebihan itu buruk. Yang kita perlukan bukan menjadi manusia-manusia cantik dan ganteng seperti artis, tetapi menjadi manusia yang berbadan sehat.
Yang kita perlukan bukan melahirkan sebanyak mungkin jenius seperti Habibie, melainkan pendidikan yang adil dan merata untuk seluruh rakyat. Yang lebih kita perlukan lagi adalah, melahirkan manusia yang baik dan jujur.
Bukankah kebanyakan koruptor di negeri ini adalah orang-orang pintar, tetapi tidak jujur? Bukankah gaya hidup para artis yang cantik dan ganteng itu seringkali berbahaya jika dicontoh oleh anak-anak kita? (*)
Sumber: Banjarmasin Post Edisi Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar