Korupsi di Indonesia Memang Sudah Sangat Mengerikan



Jika korupsi harta dijadikan masalah besar sekarang ini, maka seyogyanya, korupsi aqidah, korupsi iman, korupsi konsep al-Quran, korupsi konsep etika dan hukum Islam, seharusnya juga menjadi agenda serius. Upaya sebagian kalangan untuk melepaskan etika dari agama dan membangun “ethic without religion” adalah upaya yang salah dan rapuh. Etika tanpa agama akan berakhir dengan kekacauan.

Ketika itulah akan muncul anggapan umum, bahwa korupsi bahaya buat masyarakat, tetapi zina – dan semua yang mendorong ke arah perzinaan, seperti pornografi – dianggap bukan hal yang bahaya.

Wartawan, Farid Gaban, pernah menulis di Harian Republika berjudul “Negeri Vampire” untuk korupsi dalam semua sektor kehidupan di Indonesia.

Kamis, (15 Januari 2004), dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti-korupsi. Menurut Din Syamsuddin, wakil ketua PP Muhammadiyah, gerakan tersebut merupakan gerakan moral untuk memberikan rasa berani kepada masyarakat dan penegak hukum supaya berani mengungkapkan dan menangani kasus-kasus korupsi. Dalam jangka panjang, gerakan itu bertujuan menguatkan basis budaya dan pendidikan antikorupsi dengan memberdayakan masyarakat. Peristiwa ini sungguh hal yang menggembirakan dalam perkembangan sosial-politik di Indonesia di awal tahun 2004.

Menjelang pemilu 2004, gerakan antikorupsi semakin meningkat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memiliki kewenangan besar dalam upaya pemberantasan kasus korupsi, pun sudah dibentuk.

Sepertinya, seluruh bangsa Indonesia sudah sepakat, bahwa korupsi memang harus diberantas. Keterlibatan organisasi dan tokoh-tokoh agama semakin menambah kuatnya gaung gerakan antikorupsi. Banyak konglomerat dan juga mantan pejabat yang sudah dijebloskan ke penjara, gara-gara kasus korupsi. Namun, mungkin, lebih banyak lagi yang belum disentuh hukum. Bahkan ada yang mungkin tak tersentuh hukum atau kebal hukum.

Yang hebat lagi, jika ada yang melakukan korupsi sambil terus berkampanye melawan korupsi dan rajin berceramah tentang perlunya menegakkan hukum. Semua orang Indonesia tahu, korupsi sudah menjadi bagian dan gaya hidup kita. Kata Ketua Muhammadiyah, korupsi sudah menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Di sekolah, universitas, kantor pemerintah, pelabuhan, dan sebagainya, ada korupsi. Datanglah ke bandara Soekarno Hatta untuk bepergian ke luar negeri. Biasanya, tak lama, akan ada yang datang menawarkan jasa untuk mengurus fiskal senilai Rp 800.000. Hemat Rp 200.000 dari tarif resmi.

“Kita juga tidak tahu Pak, uang itu larinya kemana?” kata seorang petugas, mempertanyakan kemana larinya uang fiskal yang Rp 1 jt. Di mana-mana! Sekolah dikatakan gratis, tidak ada pungutan. Itu omongan pejabat. “Tanya saja ke Pak Menteri,” kata seorang guru sekolah dasar ketika dikonfirmasi, bahwa tidak ada uang pungutan untuk siswa baru. Mau mengurus dokumen jalur cepat, ada tarifnya sendiri. Mau agak lambat, ada tarifnya. Belum lama, saya mengurus satu dokumen. Biasanya selesai 5-6 hari. Orang yang antri di depan saya minta selesai hari itu juga. Petugas dengan cepat menyetujui, tapi bayarnya naik hampir dua kali lipat. Begitu mau masuk kantor pemerintah itu, sejumlah orang sudah mendekati saya, dan menawarkan jasa, kalau dokumen mau selesai hari ini, bisa dia uruskan. Padahal, di beberapa bagian dinding di kantor itu banyak ditempeli pengumuman yang melarang berurusan dengan calo. Di berbagai kantor itu pun sudah disediakan berbagai keperluan pengunjung, yang harganya bisa dua, tiga, atau empat kali harga di toko-toko umum. Tidak ada pilihan, harus beli.

Seorang wartawan, Farid Gaban, pernah menulis sebuah essay indah di Harian Republika berjudul “Negeri Vampire”. Di negara itu, semua elemen terlibat proses saling menghisap dan saling melukai. Jika dia di peras dalam satu sektor kehidupan, maka dia akan membalas memeras pada sektor yang dia kuasai. Dari bawah ke atas. Dari atas ke bawah, terjadi lingkaran vampire, saling menghisap dan menindas.

Korupsi di Indonesia memang mengerikan. Namun, karena sudah menjadi bagian dan gaya hidup, banyak yang merasa biasa-biasa saja. Tengoklah prestasi korupsi negara kita. Meskipun laporan Transparansi Internasional tidak dapat dibenarkan 100 persen, tetapi inilah yang diekspose di dunia internasional.

Tahun 1996 Indonesia masuk peringkat keenam negara terkorup dari 85 negara yang disurvei, setelah Nigeria, Tanzania, Honduras, Paraguay, dan Kamerun. Kemudian tahun 1999 Indonesia naik ke peringkat tiga dari 99 negara yang disurvei setelah Nigeria dan Kamerun. Tahun 2000 Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negera terkorup dari 90 negara yang disurvei, setelah Azebaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan Nigeria. Tahun 2001 peringkat Indonesia naik ke posisi keempat dari 96 negara yang disurvei. Juga tahun 2002 Indonesia tetap bertahan di peringkat keempat negara terkorupsi dari 102 negara yang disurvei, setelah Bangladesh, Negeria, dan Paraguay.

Begitu dahsyatnya korupsi, sehingga turun tangannya NU-Muhammadiyah, tentu diharapkan dapat mengurangi kadarnya yang terlalu tinggi. Dari mana mulainya? Ya sebaiknya dari tubuh NU dan Muhammadiyah sendiri. Setelah itu dari para ulama dan tokoh-tokoh agama, lalu para pejabat tinggi, mulai Presiden, menteri, dan seterusnya. Ibda’ binafsika. Mulai dari diri sendiri.

Tokoh-tokoh organisasi keagamaan yang terindikasi korupsi, segera dinonaktifkan, dan jika terbukti, tidak diakui sebagai warga organisasi tersebut. Begitulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam membangun satu masyarakat Islam teladan. Beliau saw sudah mengingatkan, bahwa hancurnya satu bangsa akan terjadi jika bangsa itu memberikan kelonggaran kepada para elite-nya untuk melakukan pelanggaran hukum, sementara rakyat jelata, diberikan sanksi hukum yang tegas jika melanggar.

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya hancurlah orang-orang sebelum kamu. Sebab, jika ada orang-orang besar (elite) mencuri, maka mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), maka dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad (SAW) mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya." (HR Ahmad, Muslim, dan Nasai).

Sumpah semacam itu perlu dibudayakan oleh para elite negara. Almarhum Hartono Mardjono pernah mengajukan gagasan “sumpah laknat” untuk para hakim, sebelum memutuskan perkara, yang bunyinya kira-kira: “Demi Allah, jika saya bersikap tidak adil dalam memutuskan perkara ini, maka Ya Allah, kutuklah aku!” Para calon Presiden, seyogyanya diminta bersumpah semacam itu, “Demi Allah, kalau aku korupsi, maka Ya Allah kutuklah aku dan keluargaku.” Jika para tokoh NU dan Muhammadiyah bersumpah: “Demi Allah, jika ada warga Muhammadiyah yang korupsi, maka akan kami keluarkan dari organisasi, lalu disambung doa: Ya Allah, kutuklah, laknatlah, para pimpinan dan warga organisasi kami yang korupsi!” maka pengaruhnya Insyaallah akan sangat hebat untuk pemberantasan korupsi.

Sebenarnya, ada banyak jenis korupsi yang perlu diberantas. Bukan hanya korupsi harta. Kata korupsi, berasal dari bahasa Latin “corruptus--corrumpere”, yang diartikan dengan “break to pieces, destroy”. Jadi, dari kata asalnya, semua yang menimbulkan kehancuran, bisa disebut dengan istilah “korupsi”. Secara maknawi, istilah in kemudian berkembang dan memiliki makna khusus, terutama yang berkaitan dengan istilah hukum. Hal in sudah banyak dimaklumi.

Ada satu jenis korupsi yang jarang disinggung dan diungkapkan, yaitu korupsi ilmu, atau korupsi kebenaran. Prof. Syed Muhammad Nuquib al-Attas dalam karya monumentalnya, berjudul “Prolegomena to The Metaphysics of Islam”, menggunakan istilah “curruption of knowledge” untuk korupsi jenis ini. Ia menulis, bahwa “Our real challenge is the problem of the corruption of knowledge”. Tantangan utama kita adalah problem korupsi ilmu pengetahuan. Problema ini datang dari kerancuan dari dalam maupun yang datang dari pengaruh filsafat, sains, dan ideologi budaya dan peradaban Barat modern. Alatas menekankan faktor penyebaran sekularisasi sebagai penyebab penting kerancuan yang ujungnya adalah krisis kebenaran dan krisis identitas.

Kerancuan ilmu memang jauh lebih serius dampaknya dibandingkan “kejahilan”. Ulama atau cendekiawan yang menyebarkan ilmu yang salah akan berdampak buruk kepada masyarakat. Besarnya pengaruh budaya dan peradaban Barat – termasuk dalam tradisi keilmuan–telah menyeret dunia ke jurang kehancuran yang luar biasa seriusnya. Secara ekonomi, politik, budaya, lingkungan, pertahanan-keamanan, dunia sekarang berada di jurang kehancuran. Semua in berawal dari kerancuan ilmu. Barat yang mewarisi tradisi Yunani, Kristen, dan juga peradaban Islam, telah melakukan proses sekularisasi dalam seluruh apek kehidupan, memisahkan ilmu pengetahuan dari Tuhan. Ini akibat trauma yang mendalam mereka terhadap warisan sejarah mereka sendiri, terutama ketika agama Kristen mendominasi kehidupan dan berlaku sewenang-wenang. Sampai-sampai pada abad ke-18, di Eropa muncul fenomena yang dinamakan “anticlericalism” (anti-pendeta).

Trauma terhadap agama begitu mendalam. Terutama dengan alat kekuasaan (institusi) Gereja yang bernama Inquisisi. Sampai-sampai mantan biarawati, bernama Karen Armstrong menulis, bahwa salah satu institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi. (Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century. Its methods were also used by Protestants to persecute and control the Catholics in their countries. (Lihat, Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Owen Chadwick, dalam bukunya, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), mengungkap sebuah ungkapan populer ketika itu, yang menunjukkan fenomena anti-clericalism di kalangan masyarakat Eropa: “Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind.” (Hati-hatilah terhadap wanita, jika berada di depannya; hati-hatilah terhadap bagal jika berada dibelakangnya; dan hati-hatilah terhadap pendeta baik kamu di depan atau di belakangnya).

Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, membuka bukunya itu dengan petikan surat Lord Acton, tahun 1887, yang ditujukan kepada seorang penguasa Gereja, Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” Robert Held, dalam bukunya, “Inquisition”, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita.

Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa. Fenomena Barat modern inilah yang memunculkan orang-orang yang terang-terangan anti-Kristen. Jika sebelumnya, para cendekiawan yang dipandang mengancam Gereja, maka pada abad-abad ke-19 dan seterusnya, bermunculan cendekiawan yang sekuler, agnostik, atau atheis. Ide liberalisasi, yang arti asalnya, adalah bebas dari segala batasan (free from restraint), mendominasi Eropa abad ke-19. Sampai-sampai mereka benar-benar tidak ingin melibatkan agama dalam kehidupan mereka sehari-hari, selain Sebago masalah individual. Dalam dunia sains pun diusahakan sekuat mungkin terlepas dari unsur-unsur agama. Sampai-sampai Teori Darwin, yang sebenarnya bukan teori ilmiah, terus dipertahankan sebagai mitos dalam dunia ilmiah dan diajarkan di sekolah-sekolah melalui mata ajaran Biologi, termasuk di negeri-negeri Muslim.

Korupsi besar-besaran dalam dunia ilmu pengetahuan, melalui proses sekularisasi inilah yang kemudian ditularkan dan diajarkan kepada kaum Muslim. Dalam sejarah peradaban Islam, fenomena seperti in tidak ditemukan. Para ulama dan cendekiawan Muslim di masa lalu adalah orang-orang yang tidak memisahkan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Meskipun al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan, menjadi ilmu dunia dan ilmu-ilmu syariat, tetapi beliau menekankan aspek fardhu ain dan fardhu kifayah dalam penelaahan ilmu. Seorang Muslim wajib menguasai ilmu-ilmu fardhu ain dan sekaligus bagi orang-orang tertentu yang dikaruniai Allah kemampuan akal yang tinggi, berkewajiban mengembangkan jenis-jenis ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat. Maka, tidak heran, jika para ilmuwan Muslim terdahulu, yang memiliki kepakaran tinggi di bidang sains, adalah para ulama yang mendalam pemahaman mereka tentang al-Quran, hadith, fiqih, dan sebagainya. Tradisi Islam tidak menginginkan manusia terkotak-kotak menjadi “spesialis” yang hanya tahu bidangnya saja, dan tidak tahu ilmu-ilmu lainnya. Prof. Dr. Wan Moh Nor Wan Daud, guru besar di ISTAC-IIUM, menulis buku yang komporehensif berjudul “Budaya Ilmu”, yang isinya antara lain membandingkan perbedaan konsep budaya ilmu antar berbagai peradaban, seperti budaya ilmu dalam masyarakat Yunani, Cina, India, Yahudi, Barat, dan Islam. Dalam tradisi Yunani, misalnya, seperti dikatakan Robert M. Huchins, bekas Presiden dan conselor University of Chicago, bahwa di Athens: “pendidikan merupakan matlamat (tujuan.pen.) utama masyarakat. Kota raya me ndidik manusia. Manusia di Athens dididik oleh budaya, oleh paideia.” Namun, meskipun berbudaya ilmu, masyarakat Yunani mengabaikan akhlak – satu ciri budaya ilmu yang berbeda dengan budaya llmu dalam Islam.

Demonsthenes, seorang filosof Yunani, mengungkap pandangan kaum cerdik pandai tetapi pintar menjustifikasi amalan tidak berakhlak: “Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.”

Satu konsep menarik yang diajukan penulis buku in adalah konsep “integratif” – disamping konsep “Islamisasi”. Penulis mengkritik keras konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary. Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan yang menghasilkan “manusia barbar” inilah yang tidak dikenal dalam tradisi Islam.

Inilah jenis korupsi yang sangat serius dan perlu juga diberi perhatian besar oleh para tokoh dan organisasi keagamaan. Kerancuan, kekacauan, dan kekeliruan dalam memahami ilmu, menjadi pangkal kerancuan dan kehancuran satu peradaban. Jika korupsi harta dijadikan masalah besar, maka seyogyanya, korupsi aqidah, korupsi iman, korupsi konsep al-Quran, korupsi konsep etika dan hukum Islam, seharusnya juga menjadi agenda serius. Upaya sebagian kalangan untuk melepaskan etika dari agama dan membangun “ethic without religion” adalah upaya yang salah dan rapuh.

Etika tanpa agama akan berakhir dengan kekacauan. Ketika itulah akan muncul anggapan umum, bahwa korupsi bahaya buat masyarakat, tetapi zina – dan semua yang mendorong ke arah perzinaan, seperti pornografi – dianggap bukan hal yang bahaya. Malah dikatakan, bahwa zina adalah “hak hiduk dan hak untuk bekerja”, karena tidak merugikan orang lain. Inilah tradisi keilmuan Yunani yang diwarisi Barat sekuler dan kemudian ditularkan ke dunia Islam. Bahkan, dalam legenda Yunani, para Dewa pun berseingkuh dengan manusia. Cupid, anak Dewa Venus, terpikat oleh kecantikan seorang gadis bernama Psyche dan akhirnya memboyongnya ke istana dewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (27) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (16) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (53) Poligami (12) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)