Mencermati Kebiasan Blusukan, Antara Umar bin Khattab dan Kabinet Kerja Jokowi



Blusukan telah mengantarkan Joko Widodo (Jokowi) ke Istana Negara Indonesia,” pernyataan ini terus dilontarkankan setelah Mahkamah Konstitusi menegaskan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia pun mulai tertarik dengan kiat blusukan yang telah ditunjukkan oleh Jokowi kepada masyarakat, sehingga sebagian besar masyarakat selalu mengidentikkan blusukan dengan Jokowi. Hadir ke perkampungan di Solo dan Jakarta, mendatangi masyarakat marjinal di Solo dan Jakarta, dan lain sebagainya, itulah Jokowi yang selalu diidentikan dengan blusukan. Padahal jika ditelisik lebih dalam sejarah pemimpin Islam, kegiatan blusukan juga telah dimulai oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Mendefinisikan Blusukan

Blusukan selalu diartikan sebagai sesuatu kegiatan yang bergerak menembus berbagai halangan, memasuki ruang dan celah baru yang belum banyak diketahui. Dalam kata lain, masuk perkampungan, pasar dan ruang-ruang publik, untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat (Lie, Alvin. 2014. Kiat Blusukan. Jakarta: Program Representasi). Jadi, kesibukan personal tersebut tidak hanya di kantor tetapi juga membaur di dan dengan masyarakat. Atau dengan kata lain, “pelaku blusukan” busying himself affairs with the society. Di dalam penekanan bahwa “pelaku blusukan” busying himself affairs with the society terlihat bahwa ada sesuatu yang ingin diutarakan secara jelas dari pelaku kepada setiap orang yang dihampiri tetapi dalam bentuk “ada” di tengah mereka. Selain pribadinya yang dilihat oleh masyarakat, ide-ide dari pribadi tersebut lebih mudah ditangkap masyarakat dan mudah dipahami, karena kedekatan mempengaruhi semua itu. Inilah “blusukan,” yang penekanannya ialah “ada” secara dekat dengan masyarakat, sambil menyibukkan diri dengan urusan masyarakat ( https://www.academia.edu/9528555/BLUSUKAN_dari_Sokrates_ke_Jokowi_ / Alvian Apriano ).     

Jokowi dan Blusukan

Jokowi hadir ke pasar, desa-desa kumuh, alun-alun Kota dengan mengenakan kemeja kotak-kotak atau kemeja putih yang itu-itu saja. Itulah kiat Jokowi tersorot oleh media masa Indonesia hingga rakyat mempercayakan “kursi” Presiden Republik Indonesia kepada Jokowi. Apakah blusukan Jokowi hanya pencitraan? Untuk menangkis tudingan pencitraan,  Jokowi  tak henti-hentinya menjelaskan tujuannya melakukan blusukan. Jokowi menjelaskan, problem-problem di Jakarta sangat banyak dan menumpuk. Dari blusukan itu, lanjut Jokowi, dia bisa membuat perencanaan, untuk selanjutnya menentukan langkah kedua, ketiga dan seterusnya. Lewat pemetaan masalah, dia kemudian membuat langkah-langkah pembangunan yang sekarang sedang berjalan. Jokowi mengungkapkan, jam kerjanya lebih banyak dihabiskan untuk blusukan ke lapangan ketimbang di balik meja. Presiden Joko Widodo alias (Jokowi) menggelar telekonferensi (e-blusukan) dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Gedung Bina Graha, kompleks Istana Presiden, Jakarta, Minggu (30/11). Telekonferensi ini dilakukan Presiden Jokowi agar bisa mendengar keluhan para TKI yang berada di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Mesir, Arab Saudi, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Rencananya dia akan memasang sistem e-blusukan ini di ruang kepresidenan. Dia mengungkapkan, tujuan e-blusukan ini untuk dapat melakukan komunikasi langsung dengan masyarakat. Karena Jokowi mengakui, bahwa tidak semua tempat dapat didatangi dirinya. Walaupun dapat mengetahui masalah yang terjadi di masyarakat, mantan wali kota Solo ini tetap akan melakukan pengecekan. Sehingga solusi yang diberikan dapat sesuai dengan sasaran (merdeka.com,  20/08/2013).

Biaya Blusukan Jokowi

VIVAnews (24/07/2013)- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis hasil temuannya bahwa anggaran yang dipakai untuk blusukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama mencapai Rp26,6 miliar lebih. Fitra menilai dana operasional sebesar itu terlalu boros. Sebelumnya, Fitra merilis jumlah anggaran blusukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2013 sebesar Rp26,6 miliar per tahun. Dana tersebut berasal dari APBD Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam  lampiran III Peraturan Gubernur No.10 tahun 2013 tertanggal 25 Februari 2013. Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Chadafi, minggu (19/7).

Ucok menyoroti gaya blusukan Jokowi dengan menyatakan bahwa anggaran blusukan Jokowi adalah Rp 26,6  miliar tepatnya Rp.26.670.450.000 per tahun. Ucok kemudian merincikan, perbulan anggaran blusukan Jokowi sebesar Rp 2,2 miliar per bulan, perhari sebesar Rp.74 juta, dan kalau dibagi dua antara Jokowi dengan Wakil Gubernur Basuki T Purnama (Ahok), masing-masing untuk satu orang sebesar Rp 37 juta per orang. (JakartaBagus.com, 21/7/2013).

Hidayatullah.com,15/04/2014-Aktivis perempuan Ratna Sarumpaet mengatakan, asing tidak akan sukarela melepas dominasinya politik ekonomi pada bangsa Indonesia, karenanya mereka akan melakukan apa pun untuk memenangkan calon presiden (Capres) yang mereka harap bisa jadi bonekanya. Ia bahkan mengatakan, semua biaya blusukan dan kampanye yang dilakukan Gubernur DKI Joko Widodo atau Jokowi dipengaruhi oleh konglomerat Indonesia yang pernah dekat mantan presiden AS, Bill Clinton, James Riady. Ia mengingatkan bahaya dominasi asing dan menuntut segera digelar SI MPRS 2014. Ratna juga mengatakan asing saat ini sudah menguasai bangsa Indonesia, termasuk ikut mengkonsep 70 Undang-undang perekonomian.

Blusukan Jokowi pada Rabu 26 November 2014, Presiden bersama rombongan berencana balik ke Jakarta setelah blusukan ke Bengkulu dan Riau. Pasukan pun disiapkan di Bandara Halim sejak pukul 11:00 WIB, namun ternyata keberangkatan ditunda dikarenakan Presiden mau melihat langsung kondisi kebakaran hutan di Riau, pada Kamis pagi 27 November 2014 dan baru bisa balik ke Jakarta siang harinya, selain pengamanan yang sudah diberangkatkan ke Bandara Halim, pasukan untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi juga sudah disiapkan dikarenakan ada jadwal penyuluhan. Meski para penyuluh sudah hadir di Bandara Halim, agenda penyuluhan tertersebut pun batal dilakukan. Meski pemerintah enggan membeberkan anggaran yang dikeluarkan untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi di Makassar pada awal November lalu, namun beredar kabar setiap kunjungan presiden maupun wakil presiden (termasuk anggaran pengamanan) mencapai Rp300 hingga Rp500 juta.

Menurut Endi Sutendi, selaku Kabid Humas Polda Sulselbar, pengamanan kepresidenan dijalankan seperti protap yang ada. Di bandara dibangun 3 ring. Ring 3 dijaga personil dari Mabes Polri, sementara ring 1 dan 2 dijaga oleh Paspampres dan TNI. Sementara personil Polda akan menyesuaikan dengan agenda kegiatan RI 1. “Jumlah anggaran pengamanan presiden jika nantinya kita menurunkan sedikitnya 2000 personil artinya kita akan menggunakan anggaran kurang lebih Rp 60 juta,” ungkap Endi. ( www.pkspiyungan.org ,  29/11/ 2014 )

Umar bin Khattab r.a. dan Blusukan

Dalam sejarah, sebenarnya blusukan bukanlah sesuatu yang baru. Dalam Islam blusukan sudah lama dipraktikkan. sejak 1400 tahun yang lalu. Contoh yang paling mahsyur adalah blusukan yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab.

Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, Umar tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam Umar yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang terletak di tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka terkejut saat mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Mereka pun bergegas mendekati gubuk tersebut untuk memastikan suara apakah itu.

Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan tua sedang memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di sampingnya tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena penasaran Umar pun meminta izin untuk masuk. Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh dan kembali melanjutkan aktifitasnya. Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam. Hingga akhirnya keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan Aslam duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si anak perempuan terus menangis.

Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan melihat ke dalamnya. Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci tersebut. “Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya. Perempuan itu hanya menganggukkan kepala. “Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar mereka mengira aku sedang memasak. Sebagai seorang janda miskin apa yang bisa aku lakukan. Meminta anak-anakku berpuasa dan berharap seseorang mengantarkan makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang datang. Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian menangis.”

Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan. Umar merasa bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan. “Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum. “Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”

Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun dihalangi oleh Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si Ibu. Dengan air mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memikulnya sendiri.

“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan. Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak?” Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika melihat Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.

Itulah salah satu kisah masyhur yang memperlihatkan bagaimana Umar begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin dan peduli terhadap rakyatnya. Ia bahkan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya menjadi contoh bagi pemimpin sekarang. Lewat kisah di atas Umar juga secara tak langsung juga mengajarkan bagaimana cara melakukan blusukan yang benar.

Blusukan Umar Sepi dari Sambutan Rakyat

Khalifah Umar memilih malam hari sebagai waktu untuk blusukan. Bahkan sejarah juga mencatat jika Khalifah Umar hampir setiap malam melakukan blusukan. Karena blusukan itu memiliki misi mulia, Khalifah Umar melakukannya secara sembunyi sembunyi, bukan terbuka. Khalifah Umar menerobos gelapnya malam untuk mengungkap fakta yang mungkin masih tersembunyi. Memastikan apakah pejabat di dalam pemerintahannya sudah bekerja dengan baik. Beliau melakukannya tanpa rekayasa.

Blusukan yang dilakukan Khalifah Umar jelas bukan untuk mendapatkan lambaian tangan rakyat ataupun pujian rakyat. Sebab yang dibutuhkan Khalifah Umar hanyalah informasi tentang masalah yang masih belum dapat diselesaikan selama kepemimpinannya. Sebab ia tau, amanah ini akan dipertanggungjawabkan di depan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berusaha menemukan masalah dan segera menyelesaikannya. Blusukan pada malam hari yang dilakukan Umar Bin Khattab mengisyaratkan jika blusukan tidak selamanya membutuhkan sorotan kamera apalagi set lighting yang menyilaukan mata. Blusukan Umar sepi dari sambutan rakyat.

Langsung Kerja Tak Banyak Gaya

Saat menemukan fakta yang mengejutkan Umar segera kembali ke Madinah. Ini adalah bukti jika Umar tak banyak gaya dan retorika. Yang dilakukan Umar adalah kerja, kerja, kerja. Memanggul gandum dengan tangannya sendiri adalah bentuk dari rasa tanggung jawab. Tak perlu ajudan atau pengawal kalau hanya sekadar ingin melakukan kebaikan. Dengan tangan sendiri beliau membantu kesulitan rakyatnya. Mungkin itu pula yang ingin Umar Bin Khattab sampaikan kepada pemimpin setelahnya. Jika semua yang dilakukan seorang pemimpin hanya sebatas gaya, apalagi dilakukan di depan massa dengan membawa bantuan kamera maka itu hanyalah pencitraan. Tetapi jika setelah blusukan tersebut lalu seorang pemimpini mengeluarkan kebijakan yang berkualitas, maka itu bukanlah bagian dari pencitraan. Sebaliknya jika usai blusukan lalu tidak ada yang berubah maka seorang pemimpin hanya sedang bersandiwara.

Kehidupan Pemimpin Harus Lebih “Susah” Dari Rakyatnya

Dalam sejarah, Umar Bin Khattab adalah pemimpin yang hidupnya sangat sederhana. Saat tanah Arab menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia makan hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya. Solusinya ia hanya menyantap roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya panas. Makanan yang ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi kenyang melainkan sebaliknya.

“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap Umar saat perutnya kosong.

Blusukan sejatinya harus diiringi dengan kesederhanaan pemimpinnya. Jika pemimpin masih bisa merasakan kenikmatan di tengah sulitnya kehidupan masyarakat maka blusukan menjadi tidak bermakna. Seorang pemimpin yang baik pasti tau jika rakyatnya sedang senang atau melarat. Demikian cara Umar dalam mendidik para pemimpin setelahnya. Hidup sederhana dan peduli dengan rakyat yang dipimpinnya.

Blusukan sebenarnya cara baik jika dilakukan dari niat yang baik. Lantas bagaimana cara membedakan antara blusukan dengan pencitraan? Ya sederhananya dapat ditemukan dari cara yang dilakukan. Jika hanya melulu berorientasi pada “drama” lalu tak jelas hasil dari blusukan tersebut maka dipastikan itu semua hanya sebuah pencitraan. Tetapi jika blusukan dibarengi dengan solusi kongkrit maka itu adalah sebuah kerja.

Khalifah Umar Bin Khattab hendak memberikan teladan yang baik bagi kaum muslimin tentang  konsep jabatan, harta dan zuhud seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya. Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan. Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.”

Subhanallah!

Betapa sederhana dan hati-hatinya Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. tatkala menjadi khalifah. Ia amat takut kepada Allah, sehingga matanya tidak bisa terpejam sepanjang malam, khawatir tidak mendapatkan ampunan Allah. Di keheningan malam saat rakyatnya tidur nyenyak, ia bangun dan mendekatkan diri di masjid. Tidak ada pengawal yang menyertainya. Di rumah, tak ada makanan istimewa layaknya para penguasa dan pejabat sekarang.

Bukan Hanya Pemimpin Yang Amanah, Tapi Juga Sistem Kepemimpinan Yang Amanah

Islam berbeda dengan agama-agama yang lain yang pernah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Islam diturunkan sempurna dan menyeluruh, termasuk dalam hal mengatur pemimpin dan sistem kepemimpinan. Seluruh kaum Muslim diwajibkan dalam Islam untuk memiliki pemimpin yang amanah. Selain itu, Islam juga mewajibkan diterapkan sistem kehidupan yang amanah. Dalam Islam, belum cukup ketika kaum Muslim memilih pemimpin yang amanah saja, tetapi sistem nya tidak amanah, contohnya seperti sekulerisme, liberalisme dan demokrasi seperti saat ini.

Pemimpin Islam diwajibkan untuk menjalankan sistem amanah juga, yaitu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang amanah tapi tidak sistem kepemimpinan yang amanah, hanya menjadikan pemimpin tersebut bermaksiat dalam sistem yang tidak amanah ini, dan merupakan sikap tak benar karena setengah-setengah dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sudah selayaknya kaum Muslim mengingatkan satu sama lain bahwa sumber permasalahan besar ummat bukan hanya tentang pemimpin yang amanah, namun lebih karena ditinggalkannya hukum Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sebuah sistem kepemimpinan. Wallahu a’lam bisshowab.Muslimdaily.net )
Oleh: Emma Lucya Fitrianty (Penulis buku-buku Islami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)