Tahun 2015, Masihkah " Bukan Urusan Saya ! " ?



Baru beberapa bulan diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke-7 oleh MPR pada 20 Oktober 2013, Joko Widodo (Jokowi) langsung menjadi sorotan, terutama terkait kebijakan-kebijakannya. Banyak yang bertentangan dengan janjinya saat kampanye Pilpres 2014 lalu.

Sebut saja, Presiden Jokowi pernah berkata kabinet yang akan dibentuknya adalah kabinet ramping. Tentu kabinet ramping dikatakan, lebih kecil dari jumlah kabinet era Presiden SBY yang selama dua periode memerintah sejak 2004, ada 34 kementerian.

Namun kenyataannya, justru kabinet ramping yang dijanjikan dan menjadi andalan saat kampanye 2014, tidak bisa diwujudkan. Janji tak ditepati. Jumlah kementerian tidak berubah, tetap 34 kementerian. 

"Kepada menteri-menteri nanti jangan ikuti kebohongan Jokowi seperti ini," kata anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat, di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/9/2014)

Selain itu, yang menjadi sorotan hangat juga soal Jaksa Agung. Janji independent seorang Jaksa Agung, tidak terpenuhi juga. Presiden Jokowi menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. 

Persoalan ini menimbulkan polemik, apakah Prasetyo adalah orang parpol atau bukan. Karena beberapa jam sebelum dilantik di Istana Negara, HM Prasetyo adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem). Memang saat dilantik, semua atribut Prasetyo dicopot, baik keanggotaan dia dari NasDem ataupun DPR.

Namun sayangnya kondisi seperti ini bukan serta merta membuat Presiden Jokowi dapat dikritik oleh para oposisi. Jokowi tampaknya selalu punya 1001 cara untuk menghindar dari penilaian inkonsisten itu. 

Cara yang masih dilakukannya adalah dengan melakukan blusukan dan komunikasi ala kampanye yang isinya sebenarnya tak menjawab permasalahan pokok yang ada, tetapi lebih kepada pencitraan.

Contoh terang benderang dapat dilihat dari kebijakan Jokowi-JK yang menaikkan harga BBM. Pemerintah mengatakan ini dilakukan dengan alasan mengalihkan subsidi ke sektor produktif yakni infrastruktur. 

Ini mendapat kritik keras dari DPR dan masyarakat karena pemerintah melakukan saat harga minyak dunia turun dan belum ada langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan minyak negara mulai dari hulu sampai ke hilir. Seperti belum transparannya harga produksi minyak yang sebenarnya dari Pertamina.

Kebijakan ini pun jelas konsokuensinya akan berpengaruh pada kenaikkan harga kebutuhan pokok, yang berarti membuat masyarat miskin akan semakin miskin. Tak ayal kebijakan ini pun mendapatkan perlawanan dari lapisan masyarakat, seperti dari elemen buruh, mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Reaksi keras kenaikan harga BBM ini direspon hampir di seluruh Indonesia. Banyak juga yang menyesalkan kebijakan ini. Karena Jokowi pernah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM.

Kebijakan yang diambil hanya beberapa pekan setelah diambil sumpahnya ini, memakan satu korban jiwa. Seorang pemuda bernama Muhammad Arief, warga sekitar kampus UMI, Makassar, Sulawesi Selatan, ditemukan tewas saat terjadi bentrokan antara massa dengan kepolisian. HIngga kini, tidak diketahui kenapa almarhum meninggal. 

Berbagai persepsi muncul. Mulai dari korban terkena senjata di bagian kepala, atau hal lain. Tapi yang jelas, dia adalah korban kebijakan kenaikan BBM, seorang masyarakat kecil yang hanya bisa memprotes kebijakan pemerintah melalui aksi demonstrasi.

Presiden Jokowi memang dikenal dengan gaya komunikasi politiknya yang ceplas-ceplos, dan tidak bertele-tele. Tetapi dengan gaya seperti itu, membuat banyak pihak yang juga memprotes, karena justru sikap itu menjadikan Presiden Jokowi terlihat menanggapi santai terhadap suatu peristiwa, seperti saat M.Arief tewas tersebut.

Saat ditanya awak media, bagaimana tanggapan dengan hilangnya nyawa rakyat tersebut, Jokowi menilai ini sebenarnya bukan urusannya. "Itu sebenarnya urusan kepolisian," katanya.

Jawaban ini entah bermaksud polos dan lugu, atau menggambarkan keberpihakan Jokowi sebenarnya. Tetapi yang jelas memancing kritik dari publik. Di media sosial seperti twitter bahkan muncul tanda pagar (tagar) #bukanurusansaya menjadi trending topic selama 3 hari, dan itu berisi seputar kritik kepada Jokowi terkait komentar tersebut.

Hal ini membuat para politisi dan cukup banyak pengamat angkat bicara, terkait komentar Jokowi yang #bukanurusan saya. Seperti pakar komunikasi politik Effendi Ghazali, yang menyindir komentar Jokowi sebagai presiden Indonesia yang kurang elok memberi komentar seperti itu.

"Kalau di standup comedy orang bilang ini #bukanurusansaya. Dengan kata lain urusan pemerintah hanya menaikkan harga BBM," sindir Effendi.

Sekretaris harian DPP Partai Demokrat, Farhan Effendy, juga angkat bicara, dia mengatakan komunikasi pemerintah Jokowi-JK, kacau. 

Farhan menilai kekacauan komunikasi ini terlihat dari tak sinkronnya pembicaraan presiden dengan wakil presiden, dan para pembantunya.

Dengan begitu Farhan menyarankan agar Jokowi segera menunjuk juru bicara (Jubir). Karena apabila kondisi ini terus terulang, menurutnya akan membahayakan keberlangsungan dan wibawa pemerintah.

"Dalam situasi begini sebaiknya Presiden Jokowi menunjuk juru bicara (jubir). Dia tidak perlu malu, ini demi kebaikan presiden sendiri. Tidak perlu jaga image," katanya.

Menurutnya, dengan mempunyai jubir tak akan membuat narasi blusukan Jokowi jadi pudar. Dan juga tidak membuat jarak antara presiden dengan rakyat.

"Karena memang perlu ada situasi dan tema khusus yang dimana jubir harus bicara. Semua presiden punya jubir agar tertib dan formal," tuturnya.

Terakhir, dengan mengingat pernyataan Jokowi yang mengatakan tak akan menggunakan jubir dalam pemerintahan karena tak mau berjarak dengan rakyat. 

Ditambah lagi pernyataan wakilnya Jusuf Kalla (JK) yang mengaku tak ingin diwakili orang lain atau jubir dalam menyampaikan sesuatu, karena menurutnya jubir terbaik itu ialah dirinya sendiri, biar tidak keliru dalam menyampaikan sesuatunya.

Ini membuat kita tak dapat berharap banyak kalau komentar menyerupai bukan urusan saya akan terulang kembali pada tahun 2015. [gus]
Sumber : inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)