Contoh - Contoh Pemikiran Pluralisme Agama Yang Dikembangkan Di Indonesia



MUI mendefinisikan Pluralisme Agama (PA) sebagai: ''Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.''

Definisi empiris

Definisi PA versi MUI memang bukan definisi akademis, tetapi tampaknya lebih merujuk kepada definisi empiris gagasan PA yang selama ini dikembangkan para aktivisnya. Berikut ini berbagai ungkapan tentang PA, sebagaimana disampaikan para pendukung dan penyebarnya di Indonesia.

Dalam catatan hariannya tertanggal 16 September 1969 --yang dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib-- Ahmad Wahib juga mengaku sebagai seorang pluralis. Wahib mengaku diasuh selama dua tahun oleh Romo HC Stolk dan selama tiga tahun oleh Romo Willenborg. Ia mencatat: ''Aku tak tahu apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.'' Ide persamaan agama dan jawabannya telah dibahas dengan baik, misalnya, oleh Prof Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi (Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hal. 24-33). Dr J Verkuil pernah menulis buku berjudul Samakah Semua Agama? yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). 

Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang memercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya. 

Transcendent Unity of Religion

Dalam Konferensi Parlemen Agama-Agama di Chicago tahun 1893, diserukan bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya menyerukan persamaan antara Kon Hu Chu, Budha, Islam, dan agama-agama lain. Mereka juga berkesimpulan bahwa berita yang disampaikan oleh nabi-nabi itu sama saja.

Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian dipopulerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial, seperti penghalalan perkawinan antaragama, dan sebagainya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat disandarkan pada ide Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Fritchof Schuon.

Dengan gagasan Pluralisme Agama itu, maka tidak boleh ada truth claim, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran secara mutlak, karena masing-masing mempunyai metode, jalan, atau bentuk untuk mencapai Tuhan. 

Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua Agama, esensinya dianggap sama saja, sebab agama-agama itu didasarkan kepada sumber yang sama, Yang Mutlak. Bentuknya bisa berbeda karena manifestasi yang berbeda ketika menanggapi yang Mutlak. Tapi, semua agama dapat bertemu pada level esoteris, kondisi internal atau batin, dan berbeda dalam bentuk lahirnya (eksoteris) saja. Semua agama adalah jalan untuk mencapai Yang Mutlak (Fritchof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, The Philosophical Publishing House, Wheaton, 1984). 

Ide trancendent unity of religion ini secara sistematis telah dikritisi oleh berbagai ilmuwan Muslim, seperti Prof Naquib al-Attas. Lihat uraian masalah ini secara lengkap di Majalah ISLAMIA edisi 3 dan 4). Tanpa banyak mendapat perhatian para tokoh Muslim, diam-diam paham Pluralisme Agama disebarkan secara aktif ke tengah umat. Paham ini menyelusup jauh ke jantug-jantung lembaga pendidikan umat, sehingga dapat disaksikan pada respons negatif terhadap fatwa MUI yang diberikan sejumlah kalangan akademisi dari kalangan perguruan tinggi Islam.

Para penyokong paham ini mempromosikan gagasan 'Teologi Pluralis'. Salah satu penyebar aktif paham ini adalah Budhy Munawar Rahman, yang menulis satu artikel di website http://www.islamlib.com/ pada 13 Januari 2002, berjudul ''Memudarnya Kerukunan Hidup Beragama, Agama-Agama Harus Berdialog.'' Berikut ini kutipan agak panjang dari artikel tersebut: ''Teologi pluralis melihat agama-agama lain sebanding dengan agama-agama sendiri, sebagai dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in the many (Seyyed Hossein Nasr). Di sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif. 

Dalam tulisannya yang lain, Budhy, yang juga penulis buku Islam Pluralis, menyimpulkan,''Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman --tanpa harus melihat agamanya apa-- adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.''


Ulil Abshar Abdalla mengatakan: ''Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.'' (GATRA, 21 Desember 2002). Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antaragama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) yang berjudul ''Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam'', Ulil menyatakan: ''Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.'' 

Sukidi, aktivis PSAP Muhammadiyah menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): ''Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama --entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya-- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.''

Sumanto Al Qurtuby, dalam bukunya Lubang Hitam Agama, menulis: ''Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!'' (Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Rumah Kata, Yogyakarta, 2005, hal. 45). Jadi itulah contoh-contoh pemikiran Pluralisme Agama yang dikembangkan di Indonesia. MUI sudah tepat merumuskan dengan ringkas fenomena pengembangan faham ini dan status hukumnya. Jadi, diskusinya tidak perlu melebar ke mana-mana. 

Romo Magnis pun menolak

Frans Magnis Suseno, dalam bukunya yang berjudul Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk uga menolak keras PA. Pluralisme agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan.

Paham Pluralisme agama, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan ''Dominus Jesus.'' Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 

Di kalangan Katolik sendiri, ''Dominus Jesus'' menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung ''Dominus Jesus'' itu, dan menyatakan, bahwa ''Dominus Jesus'' itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran daripada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini.

Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: ''Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.'' Jadi, fatwa MUI tentang Pluralisme Agama sudah tepat, meskipun terlambat. Wallahu a'lam. (RioL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)