Tulisan Ini Tidak Akan Membahas Janji Tuhan



Tidak bisa dipungkiri bahwa janji-janji banyak bertebaran di sekiling kita, mulai dari janji Tuhan kepada hamba-hambanya, janji hamba kepada Tuhannya, janji pemerintah kepada rakyatnya, janji rakyat kepada pemerintahnya, janji personal antarmanusia, dan janji publik seseorang pada masyarakat luas.


Tapi, tulisan ini tidak akan membahas janji Tuhan, karena janjinya bersifat absolut kebenarannya, melainkan tentang janji manusia yang sangat memungkinkan berada di dua kemungkinan: ditepati atau dikhianati.

Bahasan tentang janji ini menjadi urgen ketika ia diposisikan oleh agama sebagai pembeda antara orang yang amanah dan yang khianah, antara orang yang jujur dan orang yang bohong, antara orang mukmin dan orang munafik. Kajian tentang hal ini menjadi lebih penting lagi ketika Rasulullah Muhammad menyatakan bahwa akan datang suatu masa dimana orang jujur dianggap pembohong sementara pembohong dianggap jujur, serta orang yang khianat dipercaya untuk menjabat sementara orang yang amanah malah disingkirkan dan dianggap penjahat.

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang tegas menunjukkan hukum ini, salah satunya adalah surat An-Nahl, ayat 91: “Dan tepatilah perjanjianmu apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Mengingkari janji adalah salah satu bentuk pengkhianatan yang diancam Allah dengan api neraka. Lebih dari itu Allah mempersamakan mereka yang suka membual janji-janji kosong dengan perbuatan setan, sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa, ayat 120: “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.”

Suatu keharusan bagi setiap yang beriman untuk menepati janji dan tidak mudah berjanji jika tidak akan dan tidak mungkin ditepati. Lebih dari itu, setiap kita harus senantiasa berupaya untuk tidak tertipu dengan janji-janji kosong setan dan janji-janji kosong orang-orang munafik yang menebar janji untuk kepentingan sesaat dan memenderitakan penerima janji untuk waktu yang tidak sesaat.

Kalau ingin mengetahi ciri-ciri orang munafik, perlu kita menyimak hadits Nabi Muhammad yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim tentang sifat-sifat munafik. Beliau bersabda bahwa “ada empat perkara yang kalau hal itu ada pada seseorang, maka dia termasuk benar-benar orang munafik, yaitu kalau berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, jika bersumpah khianat, jika bertikai berbuat dzalim (melampau batas). Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat tersebut, maka dia memiliki sifat kemunafikan."

Hadits di atas mungkin sudah dianggap basi dan tidak banyak menjadi pertimbangan ketika dalam hidup keseharian terlalu sering dijumpai pengingkaran janji. Ketika janji itu bersifat antar personal, mungkin saja hanya menyakiti satu hati, walau tidak boleh diremehkan karena satu hati sesungguhnya lebih luas dari luasnya langit dan bumi.

Bagaimana jika janji itu adalah janji seseorang atau pemerintah pemegang kebijakan dan kekuasaan kepada para rakyat yang jumlahnya ratusan juta? Berapa jumlah hati yang terluka dan berapa banyak harapan yang pupus dan mengantar pada derita?

Janji politik sepertinya menjadi janji yang bisa membahagiakan banyak orang tetapi juga bisa mengecewakan banyak hati lebih dari pada janji-janji yang lain. Sangat bisa dipahami ungkapan bahwa politik dan janji adalah dua hal yang menyatu tak terpisahkan, tetapi sangat tidak bisa dimaklumi ketika semua janji politik adalah janji yang indah bagi yang ada di atas panggung kampanye tapi paling buruk pada akhirnya bagi yang berada dibawah dan depan panggung kampanye.

Kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan janji inilah yang akan menjelma menjadi apa yang dikatakan Lord Acton: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Ungkapan ini tidak akan berlaku dalam lingkar kekuasaan yang didasarkan pada niat yang baik, ketulusan dalam pengabdian dan pelaksanaan yang didasarkan pada etika politik.

Sulit untuk memberikan contoh negara modern yang secara utuh mencerminkan tabiat kekuasaan seperti ini, tetapi kepemimpinan masyarakat madani zaman Rasulullah dan sahabat bisa untuk dijadikan bacaan dan renungan.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, janji politik telah menjadi mantera mustajab lima tahunan. Setelah diperoleh apa yang diinginkan, mantrapun dilupakan begitu saja. Banyak class action yang mencoba menggugat wanprestasi janji politik, tetapi harus tunduk pada kenyataan bahwa sampai saat inipun tidak ada putusan hukum yang menjadikan tidak terwujudnya janji politik sebagai sebuah pelanggaran hukum. Karena itulah maka beberapa pengingkar janji politik tetap saja leluasa dan tanpa merasa bersalah mengadu nasib dengan janji-janji barunya setiap lima tahunan.

Benar bahwa secara hukum belum mendapatkan perhatian yang pas, tetapi sesungguhnya pengingkaran janji politik mulai mendapatkan hukuman secara sosial. Rembukan dan gossip masyarakat bawah di warung-warung kopi, diskusi dan seminar kelas menengah di kampus dan gedung-gedung publik serta maraknya percakapan dan perdebatan di media sosial adalah bukti kesadaran sosial yang mulai meningkat untuk menakar janji dengan kenyataan.

Menjelang pilpres yang tidak lama lagi, masyarakat Indonesia harus cerdas membaca janji-janji politik para calon dan membaca prestasi nyata dan kesetiaan janji jabatan selama ini. Mereka yang terbukti banyak memberikan janji tapi tidak pernah tuntas melaksanakannya dan tidak memberikan bukti yang sesungguhnya tidak layak untuk diberikan amanah mengarahkan dan membimbing bangsa Indonesia untuk periode 2014-2019.

Janji-janji boleh didengarkan, sembari mengamini agar dilaksanakan. Selama yang berjanji bukan Tuhan dan utusan-utusan Tuhan, janganlah mempercayainya 100 persen. Berikan ruang untuk siap menerima kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan janji, agar tidak kecewa terlalu dalam dan berkali-kali.

Syair lagu Bob Tutopoli menyatakan “lidah tak bertulang,” sementara Ibnu Qayyim al-Jawziah berkata: “Paling mudahnya gerakan anggota tubuh manusia adalah gerakan lidah, tetapi gerakan lidah itulah yang paling berbahaya.”
“JANGANLAH mudah berjanji kalau tidak akan dan tidak mungkin ditepati karena itu pasti akan menyakiti hati orang-orang yang telah membangun harapan di atas janji-janji itu.”
Demikian ajaran guru kehidupan yang mewariskan kebajikan yang berasal dari pengalaman bahagia dan derita yang datang silih berganti. Lebih baik tidak berjanji tetapi memberikan bukti yang membahagiaan daripada mengumbar janji manis yang berakhir dengan kenyataan pahit.
Sumber : Ahmad Imam Mawardi // inilah.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)