Hidup Ini Pun Merupakan Kondisi Saling Menyombongkan



Telah ditafsirkan bahwa, ridha berarti rela menerima “qadha”, ketentuan Tuhan. Kemudian ridha kita ini, kita tingkatkan menjadi rela sebagai “hamba, abdi Tuhan”. Nah, puncak dari ridha adalah bangkitnya kesadaran bahwa dunia ini hanyalah “perhiasan”, “sandi wara”, dan “permainan”. Jadi, ada 3 hal yang perlu kita kupas dan ulas, yaitu dunia sebagai perhiasan, permainan, dan sandiwara.

Pertama, dunia sebagai perhiasan. Kita semua ini adalah perhiasan. Kepunyaan siapa? Ya, kepunyaan Tuhan! Lho, Tuhan koq perlu perhiasan? Katanya, Tuhan tidak memerlukan apa-apa. Dia Maha Kaya. Betul, betul sekali... bahwa Tuhan tidak perlu apa-apa. Dia tidak perlu perhiasan, karena Dia itu indah. Dia itu indah! Karena itu, Dia mencintai keindahan.

Dia ciptakan perhiasan untuk memenuhi kecintaan-Nya terhadap keindahan. Dan, perhiasan itu berupa dunia, bumi-langit dengan segala isinya. Tetapi, ternyata yang paling indah....adalah “perempuan yang saleh”! Nah lho, ada diskriminasi. Lha, kalau saya laki-laki kan tidak bisa menjadi perhiasan yang terindah bagi Tuhan? Lha wong, cuma perempuan yang saleh yang menjadi perhiasan terindah. Apa nggak diskriminasi namanya?

Dalam bahasa Arab, perempuan juga melambangkan kelembutan, atau bagian yang halus. Jiwa atau “nafs” juga merupakan kata benda perempuan. Bumi juga diberi status perempuan. Bulan yang cahayanya terasa teduh bila dipandang, disebut berwatak perempuan. Nah, perhiasan terindah adalah makhluk Tuhan yang bertabiat perempuan! Kita tak akan sanggup menerima “qadha” bila tidak tumbuh kelembutan di dalam diri kita ini. Kita belum bisa menjadi “Islam”, berserah diri, bila kita belum mampu menundukkan kepentingan-kepentingan pribadi kita. Ya, tapi kan langka, orang yang dapat mengesampingkan kepentingan dirinya. Justru pada kelangkaan itu letaknya sebuah nilai! Perhiasan dalam pengertian yang sesungguhnya, seperti emas, mutiara, permata, dan lain sebagainya itu mahal karena kelangkaannya.

Dunia ini perhiasan! Kadangkala mempesona. Kadangkala memperdaya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita menyadari bahwa nilai perhiasan itu bersifat ekstrinsik, cuma nilai yang dilekatkan dari luar, maka kita tak akan teperdaya. Jika kita melihat suatu perhiasan itu indah, sebenarnya karena kita ini dipengaruhi oleh orang lain yang mengatakan itu indah. Penilaian terjadi karena pikiran kita dipengaruhi oleh pikiran orang lain sejak kecil. Sehingga jika kita disuguhi makanan dengan tempurung kelapa [bathok], sedangkan yang lain dengan piring, maka kita merasa terhina dan tidak bisa makan. Tapi bagi orang yang minta-minta, dia tetap bisa makan dengan tempurung atau selembar daun sekalipun. Bagi si peminta, kelaparan tak ada hubungannya dengan sebuah nilai. Jadi, ridha menerima Allah berarti menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini cuma sebuah perhiasan, bukan hakiki.

Mari kita perhatikan beberapa ayat yang berkaitan dengan nilai dunia ini:
3:185 Setiap jiwa merasakan mati. Dan sesungguhnya imbalan untukmu disempurnakan pada saat kebangkitan. Barangsiapa yang dijauhkan dari api, dan dimasukkan taman, maka menanglah dia. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah perhiasan yang memperdayakan.
3:186 Sungguh kalian semuanya diberikan cobaan berupa harta dan nafs kalian. Dan, kamu akan mendengar banyak caci-maki dari ahli kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka ini adalah perkara yang perlu keteguhan hati.
57:20 Ketahuilah, sebenarnya kehidupan dunia itu permainan, sandiwara, perhiasan, saling menyombongkan diri di antara kamu, dan berlomba banyak harta dan anak. Itu ibarat hujan yang menyebabkan lebatnya tanaman sehingga menyenangkan para petaninya. Lalu, tanaman itu layu dan tampak kuning, dan akhirnya sirna. Dan, di akhirat ada azab yang keras dan ada juga perlindungan dari Allah, serta keridhaan-Nya. Dan, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali perhiasan yang memperda-yakan.
Ayat yang pertama, 3:185, adalah kaidah umum. Apa itu? Setiap diri merasakan mati. Jika makna mati diperluas, termasuk juga tidur, maka siapa yang masih memakai raga jasmani dunia ini pasti mengalami kematian. Dan, suatu imbalan pasti dirasakan bila kesadaran kita ini bangkit. Anak kecil [kurang dari 2 tahun] tidak terlalu mengerti makna suatu imbalan. Kesadarannya belum bangkit. Lain dengan manusia dewasa yang sehat lahir dan batin, kesempurnaan imbalan dari Tuhan itu akan dirasakan. Jika hidup-nya penuh dengan keridhaan, maka jauhlah dia dari neraka. Dekatlah dia dari surga. Imbalan surga itu dirasakan di dalam dirinya. Ia menang! Ia realistis menempuhnya hidupnya. Ia ridha, rela!

Untuk menopang dan mengukuhkan sikap ridha itu, Tuhan memberi tahu bahwa kehidupan dunia itu hanyalah perhiasan, kesenangan, yang sifatnya memperdayakan mereka yang tertarik. Lho, apa tidak boleh orang bersenang-senang? Tentu saja boleh! Tetapi, jangan sampai lengah, lalai. Jika kita berekreasi mencari kesenangan, maka kita pun harus tahu batas. Kita harus “rela” meninggalkan tempat rekreasi itu bila waktunya habis. Kita kembali! Karena itu dunia ini pun dikenal sebagai kesenangan sementara. Tidak kekal! Segala sesuatu yang terus berubah memang tidak kekal.

Konsekuensi hidup di dunia adalah senantiasa berhadapan dengan berbagai cobaan hidup. Cobaan itu berupa harta benda dan nafs. Harta benda adalah semua benda yang diberi nilai, diberi “aji”. Kita belum berebut udara untuk bernapas, karena kita belum memberikan nilai, harga pada udara. Tetapi jika udara sudah menjadi barang langka, maka kita akan berlomba untuk mendapatkannya, dan mengumpulkannya. Nah, apa yang disebut “cobaan berupa nafs”. Yang terkandung dalam cobaan nafs adalah rasa dan keinginan. Dalam menghadapi hidup ini manusia sering mengalami rasa takut, rasa cemas, rasa khawatir, rasa hampa, dan berbagai rasa yang sifatnya membuat hidup menderita. Sedangkan berbagai rasa senang mendorong manusia untuk memenuhi semua keinginannya. Seakan-akan hidup ini hanya untuk memenuhi keinginan. Padahal keinginan yang dituruti terus-menerus akan menghasilkan dilusi!

Dan, yang harus diingat, bila kita ingin hidup benar, maka datanglah cemoohan justru dari orang-orang yang telah membaca kitab. Itulah sebabnya mengapa di negara yang mayoritas penduduknya beragama banyak sekali orang yang tidak berani menempuh hidup benar. Tidak kuat menghadapi cobaan harta-benda dan nafs! Korupsi meraja lela, karena tidak tahan menghadapi cemoohan para pembaca kitab dan orang-orang yang mengalami disorientasi dalam hidup ini. Agar tidak tergoda dan tahan menghadapi caci maki, maka diperlukan kesabaran dan ketakwaan. Dan, hal ini perlu keteguhan!

Pada ayat ketiga, ditegaskan bahwa hidup ini pun merupakan kondisi saling me-nyombongkan, lomba banyak harta dan banyak anak. Memang, setting ayat ini ketika manusia bangga bila banyak anak. Kalau sekarang justru orang merasa enggan untuk mempunyai banyak anak. Tetapi lomba banyak harta semakin meraja lela, khususnya di Indonesia. Karena yang dijadikan perlombaan itu tentang banyaknya harta, maka jangan heran bila korupsi yang berkecamuk. 

Berbangga, menyombongkan diri, dan berlomba banyaknya harta, itu diibaratkan “hujan”. Ketika hujan turun maka tumbuh suburlah tanaman milik petani itu. Tanaman yang tumbuh lebat ini menyenangkan petaninya. Petaninya merasa senang karena dalam angan-angannya, tanaman itu pun akan berbuah lebat, akan memberikan hasil besar. Tetapi, tak disangka-sangka datanglah hama yang menyerang tanaman itu. Tanaman yang tadinya segar bugar, meranalah seketika. Serangan hama yang hebat, hanya dalam semalam sudah membuat tanaman layu dan mati.

“Lho, di tengah krisis ini kok orang-orang kaya tidak menjadi merana. Bahkan mereka tampak jaya saja. Malah yang melarat yang tambah menderita!” Tentu..., mereka tidak seperti tanaman. Tetapi, dalam keadaan krisis yang melanda negeri kita ini mereka tampak “layu”. Coba perhatikan wajah mereka di tv! Pandanglah wajahnya dengan tenang, tanpa terbuai kekayaan mereka. Sorot matanya, cahaya yang terpancar dari wajahnya, itu lho yang redup, layu! 

Dunia ini hanyalah kesenangan sementara. Kesadaran tentang hal ini harus kita tumbuhkan. Agar, jika kita menerima anugerah-Nya kita tidak lupa. Kita tidak terlalu berbangga. Kesenangan itu hanyalah gelombang pikiran. Ia datang, dan pergi! Karena itu jangan terperangkap.

Kedua, dunia sebagai permainan. Tahukah Anda bahwa permainan itu dalam diri-nya sendiri tidak mempunyai tujuan. Sepak bola, misalnya. Permainannya sendiri tidak meminta pemainnya terdiri dari dua kesatuan yang bertanding, dan masing-masing 11 orang. Tetapi ada orang yang menciptakan aturan mainnya, dan diterima oleh mereka yang bertanding. 

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari permainan? Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah “aturan main”. Aturan main itu lahir dari kesepakatan, konvensi. Aturan itu berubah sesuai dengan perubahan pengetahuan manusia-manusianya yang terlibat dalam permainan itu. Aturan permainan sepak bola sekarang ini sudah pasti sangat jauh berbeda dengan aturan ketika permainan ini baru diciptakan.

Manusia juga begitu. Aturan manusia zaman berburu berbeda dengan manusia peramu [pengumpul buah]. Ketika masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pertanian, aturannya berubah. Tatkala masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pedagang, ada transaksi hutang-piutang. Pedagang membuat aturan laba-rugi! Lalu, muncullah masyarakat industri. Dan sekarang kita berada di tengah-tengah masyarakat informasi. Semua ini akan mengubah aturan permainan dalam kehidupan ini. 

Sistem pekerjaan, peribadatan, perkawinan, pergaulan, dan pembernegaraan, itu semua berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris, peribadatan ditujukan untuk memuja tuhan kesuburan, tuhan matahari, tuhan sungai, tuhan halilintar dan sebagainya. Ketika masyarakat pedagang berkembang, maka sistem ketuhanan juga berubah menjadi tuhan yang menjamin rezeki, keuntungan, kekayaan dan lain sebagainya. Ketika pertanian dan perdagangan bertemu dan menjadi satu sistem, maka tumbuhlah agama “tauhid”.

Bagi masyarakat pertanian, munculnya masyarakat perdagangan mereka anggap sebagai datangnya malapetaka. Nasib petani biasa dipelintir pedagang. Masyarakat pedagang dipelintir masyarakat industri. Dan masyarakat industri dikuasai oleh mereka yang memegang supremasi informasi! Aturan main dalam agama tauhid yang muncul pada masyarakat petani+pedagang, harus ditafsirkan kembali, dilakukan re-thinking. Kita bukan hanya rela menjadi abdi, tetapi bersedia meningkatkan diri untuk mengikuti aturan main di dalam taman-Nya. 

Di mana lokasi taman Tuhan itu? Ada di dalam diri Anda yang terdalam. Ada di lubuk hati Anda yang mukmin. Di situlah Anda menjumpai taman, surga Tuhan itu seluas langit dan bumi. Bukankah bumi dan langit itu tak mampu menjangkau Tuhan? Tetapi, hati seorang mukmin, hati seorang yang beriman, hati orang yang aman jiwanya, dapat menjangkaunya. Bumi dan langit, atau alam semesta tidak mampu me-nampung Tuhan. Tetapi, hati seorang yang aman dapat menjadi Singgasana-Nya!

Relakah kita mengikuti permainan di taman-Nya? Aha..., rupanya kita belum siap. Kita belum rela meninggalkan aturan lama yang sudah tidak fit, tidak cocok lagi. Permainan baru telah digelindingkan Tuhan, misalnya bioteknologi, kultur jaringan, rekayasa genetika, dan kloning. Kita tidak rela mengikutinya bahkan kita mengutuknya. Kita lupa bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa kodrat dan iradat Tuhan. Kita cuma bisa menuduh bahwa itu ulah dari para orang kafir. Akhirnya, kita sendiri yang “kufr bi n-ni‘mah”, kafir terhadap kenikmatan dari Tuhan.

Nah, marilah kita sadar bahwa kehidupan dunia ini ternyata hanyalah permainan. Pemilik permainan itu Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, mari kita ikuti permainan ini dengan sebaik-baiknya. Jangan dilanggar! Jika demokrasi yang menjadi permainan kita, maka jangan cari-cari dan curi-curi dalil agama untuk kepentingan golongan, atau kepentingan pribadi dengan stempel agama. 

Di bawah ini ada ayat-ayat yang menyebutkan bahwa dunia ini permainan, dan juga sandiwara.
6: 32 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali permainan dan sandi wara. Sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu untuk memahami?
29: 64 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali sandiwara dan permainan. Dan sungguh negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka menggunakan akal untuk memahami.
Ketiga, disamping sebagai permainan, kehidupan dunia ini ibarat sandiwara. “Lho, kok demikian? Lha, kalau cuma sandiwara, buat apa kita hadapi dengan serius?” Jangan gusar dulu. Tuhan memberitahukan yang sebenarnya. Kalau seseorang menjadi presiden sekarang ini, itu hanyalah peran. Yang sesungguhnya, dia ini cuma seorang hamba. Tapi, peran kepresidenannya itu harus disyukuri. Peran itu harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Sehingga timbul apresiasi terhadap perannya.

Bagaimana orang berperilaku jahat? Itu juga peran! Konsekuensi orang yang berperan kejahatan adalah menerima hukuman. Lihatlah sandiwara di atas panggung. Agar penonton tidak kecewa, yang salah, yang berbuat jahat, menerima hukuman atau dibuat kalah. Lho, kok mau menjadi pemeran kejahatan? 

Di sini memang ada “blue print” bagi orang yang terlahir di bumi. Pernahkah Anda mendengar bahwa racun itu harus ditangkal dengan racun? Begitulah, sebenarnya “blue print” kejahatan pada diri seseorang itu untuk menangkal kejahatan. Namun, tidak semua orang bisa menjalankan peran yang diterimanya. Akhirnya ia bukan menjadi penangkal kejahatan, tetapi betul-betul menjadi pelaku kejahatan.

Peran positif mudah dipahami. Sedangkan peran negatif sulit sekali dipahami dengan cara berpikir normatif. Untuk memahami kejahatan sebagai peran, tidak cukup dikaji secara teoritis. Ia harus dikaji secara filosofis, bahkan dipahami dengan spiritual yang tinggi seperti yang digambarkan oleh Khidir di depan Musa. Pada tingkatan objektif rasionalnya Musa, Khidir telah bertindak salah karena telah membunuh seorang anak yang tidak bersalah. Secara lahiriah Khidir telah bertindak salah. Ia pembunuh. Tapi pada level yang lebih tinggi, Khidir telah menolak kejahatan yang akan datang. Tidak perlu bingung dan menjadi beban pikiran. Yang penting kita sekarang ini ambil peran yang positif, dan kita pentaskan yang sebaik-baiknya. 

Anda tak perlu memaksa pikiran Anda untuk mengerti hal-hal yang belum bisa Anda jangkau. Yang wajar-wajar saja! Laluilah semampu Anda. Jangan berandai-andai melampaui kemampuan Anda. Nanti malah terjatuh. Yang perlu kita sadari sekarang ini adalah kita ini sedang bermain sandiwara. Dan kita terpanggil untuk ambil peran yang positif. Maka kepositifan peran kita itu kita tingkatkan. Hingga timbul apresiasi. Bukan apresiasi dari pemain sandiwara lainnya, tetapi apresiasi dari sang keberadaan. Dalam bahasa spiritualnya, kita mendapat apresiasi dari Tuhan, Sang Sutradara Agung!

Jika kita bukan penjahat, maka jangan coba-coba berperan sebagai penjahat. Dan bila kita merasa peran kita sebagai penjahat, maka peran itu kita optimalkan untuk bisa menolak kejahatan yang lebih besar. Kalau kita ambil contoh secara nalar, memata-matai orang itu sebuah kejahatan. Tetapi bila peran itu kita optimalkan sebagai intel negara, demi keselamatan orang banyak [seluruh negara], maka pujian yang datang dan bukan sumpah serapah. Mencuri adalah perbuatan jahat. Tetapi banyak pemerintah, dan kelompok agama mencuri rahasia negara atau golongan lain. Dan, masih banyak contoh lainnya yang Anda sendiri bisa mencarinya.

Jika dunia merupakan permainan dan sandiwara. Maka akhirat adalah kehidupan yang sebenar-benarnya. Hanya saja orang telah mengecilkan dan menyempitkan makna akhirat. Jika dunia yang sangat terbatas ini punya fungsi perhiasan [kesenangan], sandi- wara dan permainan; maka akhirat juga harus kita pahami yang seluas-luasnya. Yang melampaui pemahaman kita tentang dunia. Selama ini akhirat hanya diartikan sebagai alam yang akan datang, yang adanya setelah dunia ini musnah! Ini sebenarnya hanya salah satu makna bagi akhirat. Padahal dunia dan akhirat itu satu adanya. Perhatikan kembali “surga” yang seluas langit dan bumi [QS 3: 133, 57:21]. Perhatikan keberadaan surga dan neraka selama ada semua langit dan bumi [QS 11:107, 108].

Akhirat juga sisi lain dari alam semesta. Bila dunia kita lihat sebagai kenyatan lahiriah, maka sisi yang tersembunyi, yang batiniah itu juga merupakan akhirat. Bila dunia itu adalah “kenyataan yang sekarang” maka akhirat adalah keberadaan yang akan datang. Bila dunia mewakili pengalaman hidup di bumi ini maka akhirat adalah sebuah kehidupan di tempat lain. 

Dengan memahaminya dalam pengertian yang luas, maka kita akan bisa mengerti arti bahwa dunia itu hanyalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Dunia sebagai perhiasan karena nilainya bukanlah nilai intrinsik. Bukan nilai asli yang terkandung di dalamnya. Emas itu menyenangkan kita karena ada nilai yang diatributkan kepadanya. Tetapi, bagi salah satu suku di Irian Jaya [Papua], yang bernilai itu bukan emas, intan dan berlian melainkan tulang dan gigi babi. Bagi kanak-kanak, mainan lebih berharga daripada satu ton emas! 

Sebagai permainan, kehidupan dunia terus berubah. Aturannya pun terus berubah sesuai dengan perubahan dunia itu sendiri. Dulu dengan alasan pasutri tidak punya anak maka suami harus diizinkan kawin lagi. Tetapi, sekarang ada bayi tabung, ada kloning. Sehingga alasan itu menjadi usang nantinya jika bayi tabung dan kloning sudah murah harganya. Sehingga terjangkau oleh mereka yang biasa-biasa saja kekayaannya. Nah, rela tidak, ridha tidak, kita menyambut perubahan aturan main itu?

Kehidupan juga sandiwara. Sehingga kita ini adalah pemain di dalamnya. Tentu harus kita optimalkan pentas kita di panggung sandiwara ini. Pentas kita harus mampu melahirkan prestasi dan apresiasi. Bukan apreasi dari sesama pemain sandiwara. Tetapi apreasiasi dari Sang Sutradara. Sepi ing pamrih rame ing gawe, sunyi dari pamrih terhadap sesama, tetapi menonjol dalam karya. Sudahkah kita ridha?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)