Hukum Islam adalah ‘Barang Lama’ Yang Selalu Sesuai Dengan Masanya



Sekularisme adalah keyakinan terhadap pemisahan hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi, ukhrawi, suci dan spiritual (Sekularisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholis Madjid, hlm.26). Sehingga, ideologi sekularisme secara bertahap, akan menjauhkan manusia dari spirit keberagamaan dan lebih jauh lagi menceraikan manusia dengan Tuhannya

Harvey Cox (1929) – pelopor sekularisasi Eropa – menyatakan bahwa masa modern adalah zaman yang tidak ada agama sama sekali, oleh karenanya perlu dijelaskan bagaimana berbicara Tuhan tanpa agama (Tuhan sekuler). Dengan teori inilah, akhirnya pandangan sekularis (penganut teologi sekuler) tentang Tuhan berbeda sama sekali dengan konsep ketuhanan dalam Islam.

Maka, imbas dari gerakan sekularisasi adalah peminggiran peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Ludwig Feurbach (1804-1872), salah seorang tokoh sekulerisme Barat, dalam The Essence of Christinity secara lugas menyatakan bahwa agamalah yang sebenarnya menyembah manusia (religion that worships man), bukan sebaliknya. Pendapat Feurbach ini kemudian diikuti oleh Harvey Cox yang meyakini manusia sebagai pemegang otoritas dalam beragama. Baginya, manusia adalah fokus dalam teologi. Maka ia mengusulkan agar konsep Tuhan perlu dimanusiawikan dan diduniawikan.

Sekularisme, sebagaimana digagas oleh Ludwig Feurbach dan Harvey Cox memang merupakan paham yang menjadikan manusia sebagai pembahasan utama, menggantikan teologi tradisional (aqidah al-salaf dalam terminologi Islam) yang masih menekankan pada Tuhan. Artinya, gerakan sekularisasi akan mengalihkan keberagamaan manusia dari theosentris menjadi antroposentris. Karena lebih berwawasan antroposentris inilah, maka dalam sekularisme otoritas Tuhan termarginalkan – dengan bahasa lain, bila diimplementasikan dalam umat Islam, syari’ah tidak diperlukan lagi, bahkan dianggap sebagai ‘hantu’. Sebagai gantinya, hukum manusia adalah segalanya dalam memegang otoritas beragama – seperti ditegaskan oleh Feurbach – bahwa manusia adalah filsafat yang paling tinggi.

Dengan demikian, teologi sekuler dibangun atas dasar ilmu antropologi dan filsafat akal – yang bakal menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan (God is man, man is God). Jika dihadapkan dengan wacana Robert N. Bellah, pendapat Harvey Cox ini hampir sama. Bellah memiliki konsep civil religion yang berangkat dari pemahaman menjadikan politik sebagai agama. Kesepakan-kesepakatan pelaku politik – yang terdiri dari beragam pemeluk agama, suku dan kepercayaan – dijadikan sebagai pandangan hidup (worldview) bersama yang harus ditaati.

Tentu dalam kesepakatan itu doktrin-doktrin agama yang tidak ‘menguntungkan’ kehidupan bersama dipinggirkan. Secara tidak langsung Robert N. Bellah menyempitkan peran Tuhan dan sebaliknya mendahulukan kesepakatan bersama yang ditentukan manusia. Hal ini mirip dengan ideologi humanisme-sekuler yang menempatkan manusia sebagai tolak ukur kebenaran.

Pengembangan civil religion meniscayakan eliminasi, minimal pengurangan semaksimal mungkin, meminjam tawaran Khaled Aboel Fadl (Speaking in God’s Name, 2003), terhadap otoritarianisme. Kontestasi simbol-simbol agama diminimalisasi dan politisasi nama Tuhan juga dihindari.

Baik Harvey Cox dan Robert N. Bellah, menganggap konsep Tuhan sebagai konsep sosiologis dan politis. Teologi metafisis diganti dengan teologi perubahan sosial. Konsep ini berangkat dari paradigma bahwa agama dan Tuhan tidak lepas dari historis (sejarah). Sehingga dalam konsep Bellah (civil religion), ‘politik’ berperan sebagai agama publik.

Dengan demikian, dalam sistem sekuler tidak ada otoritas Tuhan yang mutlak, sebagai gantinya kesepakatan manusia yang menggantikan otoritas Tuhan. Tampak jelas pandangan ini menuhankan manusia – atau akal. Hal ini sejalan dengan teori Rene Discartes bahwa manusia dungu adalah yang terlalu tunduk secara total kepada agama, tidak berani menyentuh – bahkan menggugat sakralitas agama.

Manusia seperti ini menurut Discartes tidak mempunyai eksistensi (tidak wujud), sebab manusia baru menemukan eksistensinya bila menggunakan akal. Inilah kerancuannya yang menempatkan akal sebagai penentu kebenaran (memposisikan akal manusia sebagai tuhan).

Padahal akal manusia berbeda-beda. Potensi dan kekuatan juga tidak sama. Maka pertanyaannya, akal yang mana yang berhak menentukan kebenaran? Jika dikembalikan kepada individu, tentu akal satu dengan lainnya bisa saling bertabrakan. Kalau dikatakan akal individu menjadi standar kebenaran, maka pernyataan ini dengan sendirinya tidak masuk akal. Sebab, kekuatan akal berbeda-beda. Apa ukuran bahwa akal si fulan lebih kuat dari akal orang lain?

Dalam Islam, akal harus dibimbing oleh wahyu karena rasio manusia terbatas, tidak mutlak, dan perlu petunjuk dari agama. Dengan bimbingan wahyu, akal manusia berfungsi dengan baik, mampu membedakan yang baik dan buruk, halal dan haram. Maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan rasio. Kekurangan yang ada dalam rasio manusia bisa dilengkapi dengan bimbingan wahyu.

Mengenai konsep Tuhan, teori ke-Tuhanan Islam telah terumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Qur’an. Karena berdasarkan wahyu itulah, menurut Prof. Naquib al-Attas, konsep Tuhan dalam Islam bersifat otentik dan final (Prolegomena to the Metaphysic of Islam, 1995). Agama Islam adalah berdasar wahyu, bukan manusia dan bukan pula budaya, sebagaimana Kristen dan Yahudi. Nama Tuhan Islam adalah proper nameDzat Yang Maha Kuasa memiliki nama-nama tertentu (asmaul husna yang berjumlah 99).

Nama Allah tidak boleh dilafadzkan secara sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana membaca Al-Qur’an yang harus mengikuti kaidah ilmu qira’at. Imam al-Razi dalam penafsiran surat al-Isra’:110 mengatakan, tidak diperbolehkan menyebut Allah selain yang nama-nama yang telah dikenalkan Al-Qur’an (asmaul husna). Berdasarkan hal itu, maka nama Tuhan umat Islam (Allah) bersifat otentik dan final yang pelafaladzannya melalui sanad yang mutawatir. Menurut Imam al-Ghazali, nama Allah adalah isim jamid, bukan musytaq (memiliki akar kata).

Anti Tuhan

Dengan konsep yang telah final dan otentik ini, maka konsep Tuhan tidak pernah berubah. Tuhan umat Islam adalah bukan Tuhan sejarah – sebagaimana agama-agama lain – yang bisa saja berevolusi. Aturan hukum yang ditetapkan Tuhan pun juga final, otentik, dan universal. Keistimewaan hukum Islam terletak pada finalitas dan universalitasnya – tidak terpengaruh ruang dan waktu. Kapan dan dimana pun akan selalu sesuai dengan zaman dan tempatnya.

Hukum Islam adalah ‘barang lama’, tapi selalu sesuai dengan masanya, bahkan selalu kelihatan lebih baru. Itulah istimewanya syari’ah, dibanding hukum agama lain, yang selalu berevolusi. Lihat saja kitab agama Kristen yang hingga kini belum menemukan bentuk aslinya, selalu berubah-ubah. Nama Tuhan Yahudi pun belum jelas.

Karena sudah mapan, final dan otentik, bagi umat Islam tidak ada perlunya lagi mengotak-atik Tuhan. Bahkan bila umat Islam hendak mengubah-ubah konsep ke-Tuhan-an beserta syari’ahnya, justru akan menemukan kerancuan dan tidak akan menemukan kebenaran yang memuaskan. Yang terjadi adalah kekacauan dalam kehidupan.

Perzinahan dinilai absah – selama itu dilakukan suka-sama suka, tidak menggangu dan menyakiti orang lain. Dalam bidang seni juga sama, menampilkan gambar telanjang tidak masalah karena tidak ada yang dirugikan. Itulah akibat bila manusia tidak arif dan rendah hati menerima bimbingan wahyu. Disebabkan keterbatasan manusia dalam berfikir, manusia belum mampu menentukan kebaikan, kecuali jika dibimbing wahyu. Turunnya wahyu merupakan anugerah besar manusia, sebab dengan wahyu itu manusia dapat menyempurnakan segala kekurangannya.

Jadi, manusia sekuler adalah manusia yang congkak dan sombong, bahkan bisa dikatakan dungu, karena tidak menyadari kekurangan rasionya dan menolak kebenaran. Seperti dikatakan oleh Imam al-Ghazali, orang bodoh adalah orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu (rajulun la yadri annahu la yadriy). Kata Rasulullah SAW: al-Kibru man bathorul haq wa ghamtu al-nas (HR.Ahmad no.3569). Manusia sekuler tidak saja meremehkan manusia, tapi sudah merendahkan Tuhan.

Oleh karena itu, tidak ada yang namanya hukum Tuhan dalam sistem sekuler. Di Barat Barat ada tren – yang belakangan digandrungi pemuda di Indonesia – yaitu  faith without religion. Mereka percaya tentang adanya Tuhan, tapi tidak yakin ada hukum Tuhan. Sebagai gantinya rasio manusia menggeser agama-agama formal. Atas dasar itu, seorang futurolog Barat, John Naisbitt dan Patricia Aburdene meramalkan suatu saat ada kecenderungan baru, spirituality yes; organized religion no!. Manusia bisa menjadi makhluk yang baik dan meraih kepuasan spiritual tanpa harus beragama.

Mewujudkan manusia yang ‘shaleh’ tanpa harus beragama, itulah target dari sistem sekularisme. Hingga pada saatnya agama-agama formal harus mengalah, bahkan dibuang karena dianggap tidak bermanfaat lagi. Karena sistem sekuler bercorak humanisme, maka syari’ah tidak diperlukan lagi, yang lebih penting adalah maqashid. Agama yang baik harus humanis – yang lebih mementingkan manusia secara umum. Dan untuk era modern, Tuhan sudah saatnya ‘mengalah’ pada manusia. Sehingga sistem sekularisme hakikatnya bukan lagi menuhankan manusia, akan tetapi ia sudah anti-Tuhan.
Teologi sekuler dibangun atas dasar ilmu antropologi dan filsafat akal – yang menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan
Oleh: Kholili Hasib* / Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama’ ISID Gontor di khabarislam.wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)