Presiden Yang Kehilangan Rasa



Peribahasa mengatakan bahwa ”Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup becermin bangkai” yang bermakna lebih baik mati daripada menanggung malu. Siapakah yang menganut pandangan ini sekarang? Meskipun wajah sudah tercoreng moreng akibat terlalu sering berbohong dan terlalu lama hidup dalam kebohongan, rasa malu sepertinya sudah tidak lagi tumbuh di hati, menghilangkan rasa dan sikap tanggung jawab.

 Setali pembeli kemenyan,
sekupang pembeli ketaya,
Sekali lancung keujian,
seumur hidup orang tak percaya.
Boleh jadi kita sudah mulai meragukan kebenarannya sebab bangsa ini cenderung amnesia. Coba perhatikan upaya golongan liberal untuk ‘membunuh’ FPI (Front Pembela Islam) bukan main gencarnya. Kalangan sekuler dan liberal itu terus menerus menebar opini hitam dan fitnah yang teramat keji diarahkan ke FPI dalam berbagai momentum dari waktu ke waktu bagai tidak ada jeda. Opini lancung, hitam dan fitnah keji itu memang berhasil ditebarkan ke seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia, yakni FPI diidentikkan dengan tindak kekerasan, bahkan FPI disebut indung dari segala kekerasan di negeri ini yang harus dibasmi. Namun tekad yang terakhir yakni : membasmi dan membubarkan FPI itu, tidak pernah terwujud. Hal ini kiranya telah membuat kalangan sekuler, liberal dan komprador antek asing itu semakin kehilangan akal dan hampir-hampir senewen dibuatnya.

Lebih setahun yang lalu ada peristiwa di Banyuwangi Jawa Timur, seolah-olah FPI memprakarsai penggrebegan “kampanye” bangkitnya komunisme oleh sejumlah aktifis kiri dari DPR seperti Rieke Dyah Pitaloka, dan Rybka Tjiptaning penulis buku : Aku Bangga Jadi anak PKI, yang memang selalu gencar ingin menghidupkan kembali komunis di negeri ini. FPI pun dihajar habis-habisan oleh pers nasional sebagai melakukan tindakan brutal menghalang-halangi kegiatan Turba anggota DPR. Dengan bersemangat pers nasional pun bagai mendapat mesiu untuk menghantam FPI, tapi apa lacur, fakta yang sebenarnya dari peristiwa Banyuwangi ini ternyata FPI tidak terlibat sama sekali, bahkan FPI Banyuwangi sudah lama dibekukan kepengurusannya oleh FPI Pusat. Jadi bagaimana FPI menyerbu kegiatan itu, wong FPI Banyuwangi memang tidak ada. Semua pihak yang merasa mendapat “Palu-Godam” untuk menghantam FPI dari kasus Banyuwangi itu pun kecele yang amat memalukan. 

Namun apakah mereka merasa malu karena secara telak telah salah tuduh kepada FPI? Ternyata tidak. Pers nasional, khususnya bagai tidak kapok-kapok berulang-kali kecele, namun kembali diulangi lagi fitnah dan opini lancung untuk membunuh FPI. Muncul momentum lain lagi pada awal 2012 tepatnya 11 Februari 2012, yakni Peristiwa Palangkaraya, di mana empat orang pimpinan teras FPI, saat mendarat di Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya dikepung oleh gerombolan preman yang sebelumnya terbongkar telah merancang hendak membunuh keempat pimpinan teras FPI itu. Sungguh mengagetkan pers nasional yang tahu pasti pokok masalah kasus Palangkaraya ini, yakni justru FPI telah dikepung dalam upaya pembunuhan di depan umum, namun semua pers nasional justru mengobarkan opini hitam dan lancung bahwa organisasi FPI harus segera dibubarkan karena berulangkali memprakarsai tindak kekerasan dan radikalisme. Sejumlah ormas Islam pun “melabrak” Komnas HAM, dan membongkar opini lancung pers nasional itu. Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH. Muhammad Al Khaththath dengan sangat vokal menyerang pers nasional yang disebutnya telah menghina kecerdasan dan nurani bangsa Indonesia. Bahkan disebutnya presiden SBY pun tanpa melakukan check dan recheck ikut menyerang FPI dengan kritikan agar FPI melakukan introspeksi diri, kata presiden.

Pernyataan lancung presiden mengomentari peristiwa berkaitan FPI dalam kasus FPI yang telah bentrok dengan preman Ronggolawe di Kendal Jawa Tengah, Ramadhan 1434 H yang lalu rupanya diulangi lagi, tanpa recheck kembali berkomentar yang amat menyudutkan FPI. Bagai presiden tidak memiliki aparat intelijen yang bisa memberikan informasi suatu kasus secara akurat apa yang sesungguhnya yang terjadi. Mengapa informasi intelijen bagai tidak dimiliki presiden ? Karena itu Al Khathtath di depan Komnas HAM tahun lalu itu mengkritik presiden SBY secara lugas. Kata Khaththath, ada dua hal aneh pernyataan presiden, pertama, SBY begitu cepat bereaksi (begitu juga dalam kasus Kendal Ramadhan lalu) ikut menggebug FPI tanpa tabayyun terlebih dahulu kepada FPI apa yang sesungguhnya yang telah terjadi. SBY merasa tidak aneh dengan gerombolan preman Palangkaraya itu mengatasnamakan mewakili Dayak. Betapa gerombolan ini memasuki bandara yang seharusnya steril, dan bersikap beringas, mengacung-acungkan senjata, parang, Mandau mereka hendak membunuh pimpinan FPI. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi bentrok fisik maupun non fisik Dayak dengan FPI, dan tidak pernah ada satu pun kejadian pengusiran orang Dayak di Jakarta oleh FPI. Artinya tidak ada alasan untuk melakukan balas dendam terhadap FPI, seperti alasan mereka sewaktu orang Dayak melakukan pembantaian dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) terhadap suku Madura beberapa tahun sebelumnya di Kalteng dan Kalbar. Sebaliknya wakil masyarakat Dayak dari Kabupaten Seruyan justru datang ke Markaz FPI di Jakarta untuk dibela dalam kasus ppenyerobotan tanah milik mereka oleh pengusaha setempat yang dilindungi penguasa setempat.

Yang kedua, SBY dalam kasus Palangkaraya ini kenapa tidak melontarkan pernyataan kepada para preman Dayak itu seperti ketika presiden mengomentari kasus Monas Juni 2008, “Negara tidak boleh kalah dengan kekerasan!” Jika SBY konsisten dalam memandang kasus kekerasan atas pimpinan FPI itu sebagai penolakan masyarakat yang harus dijadikan bahan introspeksi, kenapa dulu dalam peristiwa Monas 2008 SBY tidak mengatakan kepada Ahmadyah agar introspeksi atas penolakan umat Islam yang meluas di seluruh wilayah Indonesia. Sungguh cara berpikir presiden menjadi jungkir-balik dan hipokrit. “Saya heran kenapa itu terjadi, padahal tidak ada catatan bahwa beliau mengidap schizophrenia,” ujar Sekjen FUI itu tandas.

Rupanya sikap hipokrit, dan lancung kepada FPI seperti dugaan Al Khaththath ini makin meluas. Media Islam pun seperti Republika habis-habisan ikut menghantam FPI. Habib Rizieq tampak marah atas sikap Republika yang tanpa melakukan re check wartawannya kepada FPI dan telah menyebarkan berita fitnah yang luar biasa murahan dalam kasus FPI di Lamongan yang sesungguhnya FPI Lamongan sudah tidak eksisi lagi sebagaimana FPI Banyuwangi. Habib Rizieq menuduh penyandang dana dan pemilik Republika yang baru Erick Thohir yang telah ikut memproduksi film karya Hanung Bramantyo “?” yang sarat pelecehan Islam itu sebagai memiliki benih-benih ketidak-sukaan kepada FPI karena FPI terang-terangan menentang liberalisme. Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra yang juga pendiri Partai Bulan Bintang (PBB), dengan sinis menyebut sutradara Hanung di berbagai event budaya sebagai sutradara berotak dangkal, dan murahan. Tidak ada pikiran bermutu dari karya-karya Hanung. Seperti karyanya yang sangat melecehkan ulama Kraton dalam film Sang Pencerah, atau dalam film Perempuan Berkalung Sorban, Hanung seenak jidatnya kata Fadli Zonmengubah alur cerita novel yang ia filmkan tanpa meminta ijin penulisnya. Fadli dalam kunjungan silaturahim Idul Fitri 1434 H ke rumah Ketua FPI, Habib Rizieq memuji film Sang Kyai di mana sutradaranya, Rako Prijanto, jauh lebih cemerlang dari Hanung, dan terlebih penting jujur dalam memotret fakta historis yang diangkatnya—tentang kisah KH. Hasyim ashari—dalam karya filmnya.

Dalam kasus pendiskreditan FPI sebagai pelaku kekerasan bukan main opini lancung telah “menyihir” masyarakat luas siapa saja, menjadi setuju bahwa biang-kerok kekerasan adalah FPI. Padahal tindak kekerasan yang sebenarnya sejak era reformasi ini bergulir justru dimonopoli kalangan partai politik. Jika FPI melakukan tindak kekerasan tidak lebih hanya memecah kaca etalase sebuah café dan Rumah Minum, tak ada satu pun korban tewas di tangan FPI karena tindak kekerasannya. Tapi partai politik yang kalah dalam Pilkada telah membakar kantor bupati bernilai ratusan milyar, seperti terjadi di Tuban, Kota Waringin, atau kasus tewasnya ketua DPRD Sumatera Utara, yang diteror kekuatan politik Kristen yang ingin memaksa terbentuknya propinsi Kristen di Sumatera Utara dan serenceng tindak kekerasan bisa dibuka di internet dalam segala bentuk di negeri ini ratusan bahkan ribuan jenis. Dan tindak kekerasan sangat brutal itu tidak dilakukan oleh FPI. Niscaya dan saksikan sendiri. Jangan asal berkomentar dan menjadi lancung pula dibuatnya. ( suara-islam )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)