Hukum Tidak Ada Kaitannya Dengan Jilbab



Kebijakan Polri dalam hal ini melukai perasaan pemeluk agama Islam, dan dapat menimbulkan tafsir bahwa memberantas teroris mulai dari memberantas jilbab dari institusinya sendiri. Dugaan ini sebenarnya tidak boleh lahir dan Polri sendiri juga tidak boleh mengundang masyarakat untuk melahirkan paradigma demikian
Jilbab merupakan identitas perempuan muslim dan sebagai kewajiban menjalankan perintah agamanya, sehingga tidak ada alasan logika melarang wanita menggunakan jilbab, apalagi di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

Menarik untuk dicermati Surat Keputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 yang tidak membolehkan Polisi Wanita menggunakan jilbab di lingkungan institusinya. Meskipun surat ini sudah di buat tahun 2005 silam, namun efeknya baru terasa saat ini. Padahal negara Indonesia tidak pernah memisahkan antara negara dan agama, hal ini dapat dilihat dari sila pertama Pancasila yang berbunyi ”ketuhanan yang maha esa ” namun sepertinya hal ini tidak diindahkan oleh Polri.

Hukum tidak ada kaitannya dengan jilbab, justru kebijakan ini mengindikasikan adanya upaya pengkerdilan dan diskriminasi terhadap pemeluknya untuk menjalankan kewajiban yang dianutnya. Sejauh ini juga belum ada kasus yang menimpa Polri karena personilnya menggunakan jilbab saat bertugas, namun alasan yang tidak tepat menjadi pembelaan polisi terkait larangan penggunaan jilbab sebagai peraturan seragam saja.

Tentu alasan yang dikemukakan Polri sangat tidak mendasar, masalah seragam itu berbeda dengan jilbab, jilbab bukan bagian dari seragam melainkan identitas keyakinan seseorang dalam menjalankan kehidupannya sebagaimana aturan agama yang diyakininya.

Kebijakan Polri dalam hal ini melukai perasaan pemeluk agama Islam, dan dapat menimbulkan tafsir bahwa memberantas teroris mulai dari memberantas jilbab dari institusinya sendiri. Dugaan ini sebenarnya tidak boleh lahir dan Polri sendiri juga tidak boleh mengundang masyarakat untuk melahirkan paradigma demikian.

Penuturan Polri, hanya polisi perempuan daerah Nangroe Aceh Darussalam yang harus mengenakan jilbab karena peraturan di daerah tersebut harus menggunakan jilbab bagi perempuan.

Pertanyaannya, jika di Aceh saja bisa dan tidak ada masalah lantas mengapa di daerah lain harus ada peraturan diskriminatif, apakah penggunaan jilbab harus melalui peraturan, jika tidak ada kewajiban dalam bentuk peraturan lantas Polri dapat diskresi memberlakukan kebijakan larangan penggunaan jilbab?

Kebijakan Inkonstitusional

Kebijakan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 secara hukum sudah bertentangan dengan paraturan di atasnya. Konstitusi Pasal 29 Ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jika konstitusi saja sebagai hukum tertinggi dalam hierarki menjamin pemeluknya menjalankan keyakinannya dalam hal menggunakan jilbab, lantas apa hak Polri melarang penggunaan jilbab, dan juga aturan yang mengatur sangat rendah dan tidak termasuk dalam hierarki perundangan, dengan demikian peraturan polri tersebut sudah bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan harus dicabut oleh pihak kepolisian, jika polri enggan mencabut peraturan tesebut, sebagai pihak yang merasa hak konstitusionalnya hilang karena peraturan tersebut dapat menguji peraturan tersebut.

Kebijakan inkonstitusional tentang pelarangan penggunaan jilbab sebenarnya bukan hanya ada di institusi kepolisian, namun di banyak institusi lain. Dunia pendidikan juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu melarang siswinya yang muslim menggunakan jilbab saat foto ijazah, dan bagi pihak yang tidak mengikuti aturan tersebut harus membuat surat pernyataan.

Paradigma kuno yang selalu digunakan berbagai pihak untuk membuat jilbab itu tampak tidak baik seharusnya menjadi bahan renungan kita, karena usaha pelarangan jilbab sudah semakin terlihat tujuannya. Padahal jilbab sendiri bukan lah sesuatu penghalang seseorang beraktivitas, justru melindungi penggunanya dalam beraktivitas.

Jilbab selalu saja dianggap sebagai simbol yang tidak relevan digunakan dalam era yang sudah maju, pernyataan demikian adalah pernyataan orang yang menginginkan negara dan agama dipisahkan, sehingga Indonesia tampak seperti negara sekuler layaknya Turki. Namun lagi-lagi semua itu kembali pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum tertinggi, bahwa negara dan agama di Indonesia tidak pernah terpisahkan melainkan satu kesatuan.

Hukum untuk Manusia

Hukum itu sejatinya dibentuk untuk manusia, sehingga hukum harus bisa menyesuaikan fungsinya untuk manusia yang berperilaku dinamis. Apabila hukum dibentuk untuk memaksakan kehendaknya maka bukan keadilan yang didapatkan melainkan kesengsaraan bagi yang menjalankannya.

Peraturan sepihak seperti pelarangan penggunaan jilbab harus dibatalkan apapun alasannya. Karena hukum dibentuk hanya untuk kepentingan penguasa bukan kepentingan manusia secara alami. Hukum juga tidak boleh bertentangan dengan local wisdom manusia itu sendiri, hukum harus dinamis tidak statis. Kekakuan hukum akan membawa dampak buruk bagi tegaknya hukum itu sendiri.

Kesimpulannya adalah larangan jilbab merupakan kebijakan kaku yang dibuat Polri dan ini bertentangan dengan HAM yang dijamin konstitusi.
Ari Yani SH / tribun banjarmasin
Penulis adalah PNS Sekretariat DPRD Kota Banjarmasin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)