Politisi Islam & Politisi Busuk



Menjelang tahun 2014 mendatang, akan banyak pihak menghimbau masyarakat untuk menjauhi politisi busuk, tidak memasukkan mereka dalam daftar caleg, bahkan tidak mencoblos partai yang diduga kuat sebagai “sarang” politisi busuk. Politisi busuk akan membuat pemerintahan busuk yang pasti akan melahirkan penderitaan dan kezaliman yang berkepanjangan bagi rakyatnya.

Beberapa tokoh partai yang merasa partai dan dirinya menjadi sasaran tembak pastinya akan menjadi gerah. Mereka akan menjawab himbauan tersebut dengan meminta penjelasan mengenai kriteria politisi busuk. Kalau politisi busuk adalah mereka yang melakukan KKN, itu bisa jadi baru fitnah atau pembunuhan karakter, kata mereka. Bahkan, andai tuduhan itu sudah diputus di pengadilan pun, masih harus ditunggu keputusan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA). Kalau kasasi MA membebaskan, ya berarti tuduhan KKN itu nihil, dan sang politisi tidak jadi masuk kategori busuk.
  • Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya kriteria politisi busuk?
  • Lebih penting lagi, siapa yang berhak membuat kriteria itu?

Pembuat Kriteria

Pembuat kriteria yang sah bukanlah manusia, walaupun mereka seluruh anggota DPR. Bagaimana mungkin para politisi di DPR akan membuat kriteria, sementara mereka ada kepentingan agar mereka sendiri tidak “terjebak” kriteria itu? Mereka tidak mungkin membuat aturan yang akan merugikan mereka, walau itu demi kemaslahatan orang banyak.

Satu-satunya pihak yang tidak mempunyai kepentingan semacam itu hanya Allah Pencipta manusia, Pencipta langit dan bumi. Karena itu, satu-satunya yang berhak membuat kriteria baik ( khayr )–buruk ( syarr ) maupun terpuji ( hasan )–tercela ( qabîh ) juga hanya Allah SWT. Dialah Al-Hâkim yang memutuskan semua itu. Kita cukup berpegang pada apa yang berasal dari Allah, Pencipta kita. Allah SWT berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan mana yang benar dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS al-An‘am [6]: 57).
Berdasarkan ayat di atas, maka kriteria politisi busuk juga harus disandarkan pada dalil-dalil syariat.

Kriteria Politisi Busuk

Secara umum, politisi busuk adalah politisi yang hidupnya baik secara pribadi maupun secara sosial tidak sesuai dengan hukum syariat.

Secara pribadi, politisi busuk adalah politisi yang masih melakukan aktivitas kesyirikan, seperti mendatangi dukun klenik (termasuk peramal/paranormal), memakai jimat, atau meneruskan tradisi yang bertentangan dengan syariat. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang mendatangi seorang peramal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. (HR Muslim).
Politisi busuk adalah politisi yang meyakini pemisahan agama dari pengaturan kehidupan publik. Dia mengimani kewajiban shalat atau puasa, namun mengingkari kewajiban menerapkan syariat dalam pemerintahan, ekonomi, politik luar negeri, dsb. Inilah politisi sekular yang —sekalipun mengaku Muslim (dan mungkin juga masih melakukan aktivitas ritual)— ibadahnya tidak berpengaruh pada sikap, ucapan, dan perbuatannya terhadap manusia lain.
Apakah kamu mengimani sebagian dari al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi yang berbuat demikian melainkan kenistaan di dunia dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85).
Politisi busuk adalah mereka yang suka mempermainkan agama. Jika mereka mengutip al-Quran atau al-Hadis maka dalil-dalil ini hanya dipakai sebagai pembenar tindakan mereka yang bejat atau hanya untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sebaliknya, jika ada kepentingannya, mereka tidak segan-segan menyembunyikan dalil-dalil yang jelas. Misalnya saja, jika suatu ketika dalil “haramnya wanita menjadi kepala negara” menguntungkannya, maka dia akan ekspos agar suara pemilih Muslim mengalir ke kantongnya. Namun, ketika hal itu bakal merugikan posisinya di pemerintahan, maka dalil itu pun tiba-tiba tak pernah terdengar lagi.
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa saja yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api; Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat, tidak menyucikan mereka, dan bagi mereka siksaan yang amat pedih. (QS al-Baqarah [2]: 174).
Politisi busuk adalah politisi yang tidak kapabel, padahal syariat memerintahkan bahwa untuk setiap jabatan dibutuhkan orang-orang yang memiliki kafâ'ah (keahlian), himmah (etos kerja), dan amanah (bertanggung jawab). Orang dengan track record yang buruk, pendidikan yang amburadul (bahkan mungkin beli gelar), dan hasil kerja yang asal-asalan adalah calon politisi busuk.

Politisi busuk adalah politisi yang tidak memakai standar akhlak Islam. Dia tak sekadar sering melakukan kebohongan publik, tidak menepati janji (terutama janji saat kampanye), atau pernyataannya tidak klop dengan perbuatannya, namun juga tidak memegang norma-norma Islam; misalnya bergaya hidup hedonis, tidak mendukung dilarangnya pornografi, memiliki bisnis ‘esek-esek', mendukung homoseksual-lesbianisme, atau malah menentang pasal-pasal larangan zina di KUHP. Politisi seperti ini juga tidak merasa berdosa untuk merayakan “kesuksesannya” dengan minuman keras atau terlibat dalam bisnis haram semacam riba, perjudian, atau pelacuran.
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam: jika berkata berdusta; jika berjanji tidak ditepati; jika dipercaya berkhianat. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Politisi busuk adalah politisi yang tidak mampu menjaga diri dan keluarganya dari kemaksiatan, misalnya anggota keluarganya sampai ada yang murtad, terlibat narkoba, atau selingkuh; sementara tidak ada tanda-tanda penyesalan pada dirinyadan menganggap hal seperti itu wajar-wajar saja karena termasuk hak asasi. Kalau terhadap keluarganya saja dia tidak mampu menjaga mereka dari kemaksiatan, bagaimana mungkin dia mampu menjaga masyarakatnya?
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. (QS at-Tahrim [66]: 6).
Sementara itu, secara sosial, politisi busuk adalah politisi yang merampas hak-hak publik untuk dirinya (korup) atau kepentingan kapitalis, atau menyerahkan nasib rakyatnya kepada asing, serta tidak peduli dengan masalah yang diderita masyarakat. Politisi busuk adalah politisi yang gemar memperkaya diri dengan uang rakyat secara batil (korupsi), bekerjasama untuk kebatilan (kolusi), atau memberikan fasilitas kepada teman dan kerabat secara batil (nepotisme).
Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188).
Politisi busuk juga politisi yang gemar menjual aset-aset rakyat untuk kepentingan kapitalis, termasuk kapitalis asing, atas nama privatisasi. Walaupun seseorang dikenal sebagai jujur dan profesional, namun tindakannya mengobral aset publik adalah sesuatu kejahatan menurut syariat:
Janganlah kalian mencegah kelebihan air dengan maksud untuk menghalangi penyiraman padang gembalaan. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas mengandung larangan bagi siapapun untuk menghalangi masyarakat merasakan manfaat dari kekayaan milik umum (seperti air, listrik, BBM, laut, dan yang lainnya) yang ada dalam pengelolaannya.

Politisi busuk adalah juga politisi yang “gemar” menyerahkan nasib rakyatnya kepada kesewenang-wenangan asing, seperti dengan cara berutang pada IMF, atau mefasilitasi intelijen asing untuk menangkapi anak bangsanya sendiri.
Tidaklah seorang pemimpin kaum Muslim mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (HR Muslim).
Politisi busuk adalah juga politisi yang jarang peduli pada penderitaan umat. Mereka bisa tidur nyenyak meski tahu sekian ribu orang di bawah tanggungjawabnya digusur, kehilangan eksistensinya, atau tergenang banjir yang semestinya bisa dia antisipasi dengan baik. Dia tidak melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagaimana mestinya, meskipun dia mempunyai kekuasaan untuk itu.
Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Mulim, dia bukan termasuk golongan mereka. (HR. Hakim).
Penyebab Timbulnya Politisi Busuk

Politisi busuk bisa timbul karena memang kejiwaan dirinya bermasalah, namun lebih banyak timbul karena tekanan lingkungan masyarakat yang busuk serta sistem yang busuk. Lingkungan masyarakat yang sekular, materialistis, dan hedonis cenderung menghasilkan politisi berwawasan pendek, hanya memikirkan diri sendiri atau kelompoknya saja, dan tidak menjadikan usaha meningkatkan kualitas masyarakat sebagai misi hidupnya. Mereka melihat dunia politik sebagai lahan bisnis sehingga politik uang pun dilakukan tanpa malu-malu. Akibatnya, setelah terpilih sebagai pejabat atau wakil rakyat, mereka hanya berjuang agar “balik modal” dan menangguki keuntungan materi atau terpilih lagi di Pemilu mendatang.

Lebih dari itu, sistem yang sekular, mau tak mau, akan menggiring politisi yang sejatinya tulus dalam berjuang menjadi tulus memperjuangkan sistem yang salah.

Untuk menghilangkan dan mencegah munculnya politisi busuk diperlukan sistem masyarakat yang sehat dan kebal dari pembusukan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang diwarnai secara dominan oleh pemikiran dan perasaan yang telah dicelup dengan celupan Allah SWT. ( lihat QS. al-Baqarah [2]: 183 ). Dengan pemikiran dan perasaan umum Islam yang dominan dan disertai dengan penerapan syariat Allah yang rahmatan lil ‘alamin politisi busuk atau sekedar ide politisi busuk akan teralienasi. Dan rakyat pun, muslim maupun non muslim, akan hidup sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)