Mencari Damai Dalam Kebisingan Dunia



Dalam perjalanan hidupnya, seorang sufi ada melalui tiga tahap kehidupan yaitu takhalli [deconditioning], meninggalkan perilaku yang tidak terpuji, tahalli [conditioning; reconditioning] yaitu membiasakan diri untuk melakukan tindakan yang terpuji, dan tajalli [unconditioning; no mind action] yaitu berbuat dan bertindak yang bebas dari kepentingan pribadi [kelompok].

Pada posisi “sabar” kita mengisi hidup kita dengan perbuatan dan tindakan baik, kita kendalikan emosi kita, dan motivasi hidup kita kita arahkan ke jalan yang benar, jalan yang dibentangkan oleh Tuhan semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut berjalan menuju Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut berada di jalan Allah, fi sabili l-lah. Inilah tahap ‘tajalli’!

Zuhud adalah usaha memasuki tahap tajalli. Di dalamnya kita melalui subterminal iman [yang kokoh], hijrah, dan jihad. Pada era globalisasi ini kita harus melakukan hijrah pemikiran kembali. Disamping kita harus melakukan ‘jihad’ pemikiran yang disebut ‘ijtihad’. Kita tidak boleh terjebak dalam peperangan dan pertempuran fisik. Tetapi kita harus berani melangkah ke dunia yang penuh ‘trick’ atau jebakan ini. Karena di dunia macam inilah kita hidup sekarang ini!, bukankah kita ini ingin hidup damai?

Betul, betul sekali! Manusia, pada umumnya, menginginkan kedamaian hidup. Yang terselip di dalam hati yang paling dalam adalah menuju ‘sorga’ yang penuh kedamaian. Dan Tuhanlah kedamaian itu! Di dalam salah satu doa [dari sebuah Hadis] yang biasa dibaca setelah sembahyang adalah “Allahumma anta s-salam” [Ya Tuhan, Engkau-lah kedamaian itu]. Lalu, doa itu dilanjutkan dengan kalimat “dan kedamaian itu datangnya dari Engkau, dan kepada Engkau kembalinya kedamaian itu!” Sebagai seorang hamba, kita diajari Nabi untuk melanjutkan doa itu dengan kalimat “Fa hayyina rabbana bi s-salam”, ya Tuhan hidupkanlah kami penuh dengan kedamaian.”

Yang kita tuju adalah kedamaian. Tetapi, damai yang ada di bumi ini seperti damai yang ada di dalam hati. Jika di dalam hati damai itu terselip di dalamnya, bahkan di bagian dalam hati; maka di atas bumi ini ‘damai’ juga terselip di tengah-tengah keributan dan kebusukan dunia. Karena itu, kedamaian harus dicari! Kedamaian tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang Romawi memiliki semboyan, yang bahasa Indonesianya “Bila kalian ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk perang”. Tentu saja berperang secara fisik. Pada zaman dulu, berperang secara fisik memang jalan satu-satunya untuk memperoleh kedamaian. Sebab, menang perang adalah keadaan yang menjamin kesejahteraan warganya. Pada zaman dulu, orang malu kalau ingin hidup sejahtera dengan cara menyengsarakan rakyat atau bangsanya sendiri. Ini tidak berarti, untuk memperoleh kedamaian kita harus berperang untuk menaklukkan negara lain. Pada zaman sekarang ini kita harus hijrah dan jihad di lapangan pemikiran, ‘ijtihad’. Ijtihad pun tidak hanya terbatas pada dunia fikih atau agama. Kita harus berijtihad untuk menemukan solusi bagi kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Sekarang ini kita sering dihadapkan pada pengertian yang salah tentang ‘damai’. Kata damai dikaburkan maknanya menjadi ‘aman’. Padahal aman hanyalah salah satu keadaan yang ada di dalam kata ‘damai’. Keadaan yang aman, artinya tidak ada gangguan atau kekerasan [fisik]. Kalau damai yang ini, berarti cukup dengan tunduk atau takluk pada kekuatan di luar dirinya. Damai yang sejati adalah wujud dari keseimbangan, keselarasan dan keserasian, yang disebut hidup harmoni. Di tengah kedamaian yang sejati inilah terletak kemerdekaan. Damai yang demikian ini yang dilukiskan dalam kamus “Oxford Advanced Learner’s Dictionary” sebagai keadaan yang bebas dari peperangan dan kekerasan, suasananya tenang, dan penuh dengan keharmonisan dan persahabatan.

Nah, ternyata damai harus diperjuangkan. Ingin hidup damai tak ubahnya kita ini mencari intan di tumpukan sampah. Di sinilah harus ada hijrah dan jihad [ijtihad] dalam pemikiran. Ketika Nabi Muhammad Saw menyebarkan risalah keislaman, beliau sebenarnya membangun paradigma berpikir yang baru. Beliau tinggalkan cara-cara berpikir jahiliah dan beliau bangun cara-cara berpikir yang islami. Ada puluhan, bahkan ratusan, ayat Al Quran yang menyeru manusia untuk ‘berpikir’. Perintah berpikir ini disampaikan dalam berbagai bentuk, misalnya tafakkaru, tadzakkaru, nazhara, ta‘qilun, dan lain-lain.

Kita harus memberdayakan pikiran dan emosi kita untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan ini. Bila ada penawaran hidup damai, maka kita harus condong pada perdamaian. Kita tak boleh berprasangka buruk kepada orang-orang yang mengajak hidup damai. Karena itu kebersediaan hidup damai harus disertai dengan sikap tawakal kepada Tuhan. Dan menyeru kepada kehidupan damai harus terus-menerus digiatkan. Ya, mencari kedamaian hidup itu bagaikan mencari intan di tengah onggokan sampah. Bau sampah itu menyengat sehingga mengganggu kita dalam menemukan intan di dalamnya. Sama seperti menyeru hidup damai, bau jejak setan ada di mana-mana. Tapi kita tak boleh putus asa! “Jangan merasa lemah dalam menyeru kepada perdamaian [salm] karena kedudukanmu [yang menyeru damai] itu lebih tinggi. Allah beserta kamu! Dan Allah tidak menghilangkan amalanmu.” (QS 47:35)

Jadi, bukan hanya condong kepada perdamaian, tetapi memprakarsai perdamaian! Dan, damai yang diserukan dalam Al Quran ini bukan ‘damai’ seperti yang dilakukan pelanggar lalu lintas dengan polisi penangkapnya. Kalau yang ini bukan damai namanya tetapi transaksi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum. Ini masalah penegakan hukum. Dan saya tak hendak berkomentar dalam hal ini. Damai yang dituju dalam Al Quran adalah keadaan yang aman dan tentram, dan dalam posisi keseimbangan. Tidak terjadi adu kekuatan dan saling menekan di dalam perdamaian. Damai bukanlah aman! Tetapi keamanan terjamin dalam perdamaian.

Pada ayat itu kita diperintahkan untuk menciptakan keadaan hidup yang damai. Ada proses, ada aktivitas untuk mencapai hidup damai. Dalam menyerukan perdamaian kita tidak boleh merasa lemah. Bukankah lemah itu timbul dari pikiran? Lemah adalah jejak setan, langkah setan. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu musuhmu yang nyata,” bunyi QS 2:208. Nah, sebagai konsekuensi bagi orang yang ingin hidup beragama yang benar, kita harus aktif dalam menyerukan perdamaian.

Menyerukan perdamaian tidak sama dengan menebar slogan dan ucapan “mari menempuh hidup damai” atau “mari berdamai” atau “damai itu indah”. Kalau yang ini sih sekadar ungkapan hati, atau tipu daya. Menyerukan perdamaian berarti berusaha keras, memprakarsai hidup damai. Karena itu kita dilarang ‘merasa lemah’ dalam menyerukan perdamaian. Harus ada ijtihad alias jihad pemikiran. Artinya kita harus memeras otak [bukan memeras keringat karena kita tidak melakukan perang fisik] untuk mencari langkah-langkah yang bisa mengantarkan umat manusia menuju hidup damai. Inilah makna perdamaian!
“Orang-orang yang hidup di negara maju [tentu saja ada yang malas] bekerja keras, bekerja dengan cermat, berusaha memenuhi komitmen dalam masyarakat, membuat perjanjian yang melindungi dan menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma penegak hukumnya], dan semua aktivitas untuk menyongsong hari depan yang baik adalah wujud untuk menyerukan perdamaian.”
Orang yang menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah. Karena penyeru perdamaian itu lebih tinggi kualitasnya. Baik kualitas mental, moral, kecerdasan akal, emosional dan spiritualnya. Yang jelas bukan kualitas fisiknya yang lebih unggul. Kualitas fisik diperlukan, tetapi bukan hal yang terlalu penting. Kekuatan fisik adalah kekuatan pendukung, bukan kekuatan utama. Orang yang cerdas dan cerdik tidak merasa lemah dalam perjuangan hidupnya. Dalam jihad fisik jelas lemah, tetapi dalam jihad pemikiran dia tidak lemah.

Di ayat 47:35 itu disebutkan bahwa Tuhan beserta orang-orang yang menyerukan perdamaian. Apa maksudnya Tuhan menyertai orang-orang yang menyerukan “hidup damai” atau “perdamaian” itu? Menyeru itu lahir dari kehendak orang yang menyeru. Tuhan adalah sumber iradah. Maka iradah atau kehendak Tuhanlah yang menyertai orang-orang yang menyerukan perdamaian. Dan, Tuhan pun tidak menghilangkan daya dari amalan orang-orang yang menyerukan perdamaian. Karena itu, orang yang berniat menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah.

Dengan demikian jelas sekali bahwa perdamaian atau kedamaian hidup adalah prinsip dibangkitkannya agama Islam. Kalau bukan ini, apa bedanya agama Islam dengan ajaran jahiliah yang mengutamakan keunggulan suku dan sikap mau menang sendiri? Rasul Saw dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya aku ini dibangkitkan untuk mengutamakan budi pekerti yang mulia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)