Menghayati Kesementaraan Dunia



Zuhud adalah kata yang seolah sudah berkonotasi hidup anti-dunia. Hal ini terjadi karena pada masa penjajahan atau pergolakan, banyak ulama yang mengasingkan diri di daerah terpencil. Ulama-ulama ini hidup dengan para muridnya atau santrinya di daerah yang terpencil yang tidak terjangkau penjajah atau terimbas pergolakan. Mereka memang menarik diri dari kehidupan semacam itu.

Zuhud berasal dari kata ‘za-ha-da’, artinya berpantang, meninggalkan, melepas-kan, menarik diri dari, atau meninggalkan kesenangan duniawi. Karena itu zuhud juga diterjemahkan sebagai ‘asketik’. Kata yang seakar kata dengan ‘zuhud’ ditemukan pada Surat Yusuf/12:20. Pada ayat ini disebutkan bahwa rombongan kafilah menjual Yusuf [sebagai budak] dengan harga yang murah. Kafilah itu dikatakan sebagai ‘zahidin’, yaitu orang-orang yang tidak tertarik kepada Yusuf. Karena tidak tertarik, maka Yusuf dijual murah. Jadi, zuhud adalah sikap tidak tertarik pada kehidupan dunia.

Zuhud adalah sebuah maqam, terminal, stasiun atau posisi dalam tasawuf. Dari uraian di atas, jelas bahwa zuhud bukan anti dunia. Zuhud juga bukan menarik diri dari kehidupan dunia. Juga tidak berarti meninggalkan kesenangan duniawi. Seorang zahid, tetap membina rumah tangga. Orang yang zuhud juga bekerja keras! Hanya saja dunia ini tidak menarik, baginya. Lho, ada apa sampai tidak tertarik pada dunia? Karena mereka tahu akan hakikat dunia ini. Mereka menyadari apa sih makna dunia dalam hidup ini. Mereka tetap mengelola dunia ini sebaik-baiknya, karena manusia yang hidup ini adalah bagian dari dunia. Tetapi orang yang zuhud tidak dikendalikan oleh dunia. Justru dunia ini dikendalikan oleh orang zuhud.

Kalau kita ingin tahu siapa tokoh zuhud di dunia ini, ya Nabi Muhammad Saw. Beliau bukan hanya mengajarkan agama tetapi juga menegakkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara dengan gigih. Beliau tegakkan sistem perekonomian yang adil. Sasarannya adalah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu negara yang penuh kebajikan dan Tuhan melindunginya (QS 34:15). 

Umumnya ayat tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “negeri yang baik dan Tuhan Maha Pengampun”. Sebenarnya suatu terjemahan yang kurang sambung. Karena kalimat yang depan menunjukkan keadaan negara sedang kalimat sambungannya merupakan sifat Tuhan. Hal ini disebabkan penterjemah kaku dengan arti kata “ghafur”, yang selama ini diartikan pengampun. Padahal kalau mau mengembalikan kata tersebut kepada bentuk akarnya ‘gha-fa-ra’, maka salah satu artinya adalah melindungi.

Ayat tersebut ada di Surat Saba’, yang menceritakan kemakmuran kaum Saba’. Rezeki di negara tersebut berlimpah. Alam negeri itu dimanajemeni dengan baik, yang disebut negeri penuh kebajikan. Karena itu Tuhan memberikan perlindungan terhadap negeri yang penuh kebajikan. Namun, generasi berikutnya tidak melaksanakan manajemen dengan benar, sehingga malapetaka menimpa Saba’. 

Kisah ini diwahyukan kepada Nabi, agar beliau mengambil keteladanan kisah tersebut. Artinya. Jika ingin mempunyai negeri yang penuh kebajikan, maka keamanan dan kedamaian [bukan ‘pen-dekatan keamanan’, atau ‘security approach’ lho] harus menjadi prioritasnya. Karena itu, peperangan yang dilakukan oleh Nabi di Madinah, sasarannya adalah mempertahan-kan persatuan dan perdamaian yang telah digalang pada awal hijrah.

Dengan demikian keterlibatan orang yang zuhud terhadap kehidupan dunia ini sangat tinggi. Tetapi orang yang zuhud tidak terpengaruh atau tidak tertarik oleh kenikmatan dunia. Dia tidak dikendalikan oleh dunia, bahkan dunia dikendalikan untuk menjadi pelayannya. Bukan cuma Nabi yang menjalani hidup zuhud, para sahabat besar juga mencontoh Nabi untuk menjalani kehidupan zuhud. Abu Bakar ketika di Mekah adalah orang yang sangat kaya. Demi penegakan kehidupan yang damai, Islam, beliau membebaskan perbudakan [yang terkenal adalah peristiwa pembebasan Bilal]. Ketika hijrah ke Madinah, beliau tinggalkan kekayaan yang berupa harta-benda. Umar pun orang yang kaya. Bahkan ketika menjadi khalifah pun beliau cukup berteduh di dalam rumah gubuk sebagai istananya.

Tentu saja kehidupan zuhud tidak hanya dilakukan beberapa sahabat. Sebagian besar sahabat menjalani kezuhudan. Mereka mendalami makna kehidupan dunia. Dunia bukan untuk dimiliki tetapi digunakan sebagai sarana untuk melayani. Itulah yang sebenarnya diajarkan Rasul melalui Al Qurannya. Ada 9 kata ‘sakhkhara lakum’ dalam Al Quran. Kata ini biasa diterjemahkan “Allah menundukkan bagimu [matahari, bumi, bulan dsb]”. 

Sepintas terjemahan ini tidak tampak salah. Tetapi kalau kita memahami penciptaan manusia itu relatif yang terakhir kehadirannya dari semua ciptaan. Bagaimana mungkin matahari ditundukkan bagi manusia. Lha wong ketika matahari diciptakan itu makhluk hidup di bumi belum diciptakan, apalagi manusia.

Salah satu arti dari ‘sakhkhara’ memang menundukkan atau menaklukkan. Tetapi, kata ‘sakhkhara’ juga punya arti ‘menjadikan dapat melayani’. Jadi, bumi, langit dan seisinya ini diciptakan Tuhan untuk dapat melayani/memenuhi keperluan dan keinginan manusia. Dalam bahasa bebasnya, semua ini diciptakan untuk menjadi prasarana dan sarana bagi kehidupan manusia. Di bawah ini saya ambilkan ayat di Surat Ibrahim yang mengandung kata ‘sakhkhara’.
14:32 Allahu l-ladzi khalaqa s-samawati wa l-ardha wa anzala mina sama-i ma-an fa akhraja bihi mina ts-tsamarati rizqan lakum wa sakhkhara lakumu l-fulka li tajriya fi l-bahri bi amrihi wa sakhkhara lakumu l-anhar.

14:33 Wa sakhkhara lakumu sy-syamsya wa l-qamara da-ibaini wa sakhkhara lakumu l-laila wa n-nahar.

14:32 Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu ditumbuhkan pohon buah-buahan sebagai rezeki bagi kamu. Dan Dia menjadikan kapal sebagai wahana bagimu di laut berdasarkan amar [ketetapan]-Nya. Dia juga menjadikan sungai-sungai itu sebagai pra-sarana dan sarana bagimu.

14:33 Dan Dia menjadikan matahari dan bulan yang terus-menerus beredar, dan siang dan malam, untuk menjadi prasarana dan sarana bagimu.
Jadi, sebagian besar sahabat Nabi memahami apa arti dunia seisinya ini. Semua ini adalah prasarana dan sarana untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Semua ini diperlukan manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Kemana? Kembali kepada Tuhan, wa ilaihi raji-un. Yaitu, kembali ke orde atau tatanan hidup yang benar yang telah ditetapkan oleh Tuhan. 

Hidup seperti apa itu? Ya, hidup yang saling mengasihi, saling menyayangi, saling menolong, saling melayani dalam situasi penuh kedamaian. Ya, Allah adalah As-Salam, Allahumma antas-salam, ya.. Allah sejatinya Engkaulah Kedamaian itu.

Selain dunia ini sebagai prasarana dan sarana bagi manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya, sifat dunia ini sementara. Nah, agar kita tidak terbelenggu oleh dunia, maka kita harus betul-betul menyadari kesementaraan dunia. Orang Barat maju karena tokoh-tokohnya [ilmuwan, politikus, pengusaha, dan elite bangsa] menghayati kesementaraan dunia ini. Lho, apa tidak terbalik? Tentu saja tidak! Justru orang-orang yang memperebutkan harta-benda dan kekuasaan itu terbelenggu oleh bawah sadarnya, bahwa dunia ini kenyataan satu-satunya. Mereka merasa bahwa hanya dunia [tegasnya bumi] ini realitas itu. Kalau mereka itu ditanya, apakah dunia ini akan berakhir dan ada realitas lain yang disebut akhirat? Dengan segera mereka menjawab, pasti! Ini bukan karena mereka sadar, tetapi ungkapan bawah-sadar mereka.

Keadilan dan kejujuran di suatu negara bisa ditegakkan bila para tokohnya amat menyadari kesementaraan dunia ini. Mengapa cukup para tokohnya saja? Karena umat manusia itu pada umumnya bersifat “silent majority”, mayoritas diam. Mereka ini hanya berjalan mengikuti tatanan yang ada, tidak peduli apakah tatanan itu baik atau buruk. Bila dalam tatanan yang ada itu korupsi merajalela, maka mereka pun menerima kehidupan korupsi. Meskipun mereka tidak terlibat dalam korupsi. Meskipun mereka mengumpat atau mencela kehidupan korupsi. Tapi mereka secara tak berdaya menerima kehidupan korupsi. Mereka tak ingin campur tangan terhadap sesuatu yang mungkin malah memperparah kehidupannya.

Apakah perlu banyak tokoh untuk menggerakkan kehidupan yang adil dan jujur itu? Tidak perlu! Yang penting muncul orang yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan roda keadilan dan kejujuran itu. Muncul orang yang mampu menggerak-kan roda kedamaian. Islam pun mula-mula muncul dari seorang Muhammad. Indonesia merdeka pun mula-mula digerakkan oleh seorang Soekarno. India pun merdeka dari seorang Gandhi. RRC muncul dari seorang Mao Tse Tung. Memang nanti dalam perjalanannya harus didukung banyak tokoh.

Di atas disebutkan bahwa Barat maju karena kezuhudan tokoh-tokohnya. Zuhud macam apa yang mereka lakukan? Pernahkan Anda mendengar bagaimana para ilmuwan itu menghadapi siksaan para penguasa! Bagaimana Nietzsche memberontak kemapanan dunia korup dan eksploitasi manusia di Eropa pada abad XIX. Padahal kalau mau hidup enak, Nietzsche tidak perlu melawan kemapanan. Pada waktu itu, sarjana bisa memperoleh gaji yang besar.

Soekarno pun setelah lulus dari ITB 1926 sebagai seorang insinyur, dengan mudah dapat mencari pekerjaan yang berpenghasilan sangat besar. Hatta yang lulus dan sebagai sarjana ekonomi tamatan Belanda [kuliah di Belanda], bisa bekerja di dunia internasional yang memberikan imbalan berlimpah. Tetapi mereka rela meninggalkan statusnya. Demi Indonesia merdeka, mereka rela dipenjara Belanda. 

Memang dalam perjalanannya seorang zahid bisa kandas bila lingkungan tidak berubah. Dengan kata lain, tidak banyak tokoh yang muncul untuk mendukungnya. Bahkan yang muncul itu di sekitar tokoh itu adalah orang-orang yang ‘vested interest’, yang meiliki cita-cita untuk kepentingannya sendiri atau golongannya.

Kita lihat perjalanan Indonesia. Di dalam negeri, sebelum Indonesia merdeka, baik ketika menjadi mahasiswa maupun ketika sudah lulus, Soekarno konsisten untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Sebagai proklamator, tentu beliau mempunyai visi bagi Indonesia di masa depan. Wujud dari visi itu adalah ‘Pancasila’ yang sekaligus digunakan sebagai landasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tetapi nyatanya, setelah Indonesia dinyatakan merdeka, beberapa tokoh muncul dan mendekati beliau [dan Hatta]. Bukan untuk mendukung perjuangan beliau berdua, tetapi untuk membisikkan kepentingan sendiri. Beberapa tokoh Islam, malah menginginkan Indonesia yang berdasar Islam. Yang komunis ingin negara yang berhaluan komunisme. Yang nasionalis ingin negara berdasarkan nasionalisme. Jadi, visi negara Indonesia yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dikaburkan dikuburkan.

Tokoh-tokoh yang muncul di sekeliling Soekarno-Hatta bukanlah para zahidin. Mereka adalah orang-orang yang mementingkan golongannya sendiri. Mereka yang mengaku Islam bukan orang-orang yang memahami Islam dengan benar. Tetapi orang-orang yang mementingkan kekuasaan atas nama Islam. Mereka tidak menginginkan negara Pancasila yang islami. Kekuasaan, dan bukan kedamaian, yang diutamakan! Keuasaan, dan bukan keadilan dan kejujuran, yang diprioritaskan. Kekuasaan itu amat sangat duniawi, karena itu bukan ajaran zuhud, bukan ajaran Islam.

Ingat, Nabi mengajarkan agama [nama agama Islam muncul di kemudian hari], untuk menegakkan moralitas manusia. Innama bu-‘itstu liutammima makarima l-akhlaq, saya dibangkitkan untuk menegakkan budipekerti yang mulia. Nabi diutus untuk membawa manusia ke dalam kehidupan yamg damai, jalan Tuhan. Serulah [manusia] ke jalan Tuhan engkau dengan hikmah [bijaksana] dan ajaran kebaikan, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik [QS 16:125]. Kurang lebih ada 10 kali ajakan ke jalan atau kampung yang penuh kedamaian. Dan, inilah cita-cita Islam.

Untuk bisa sampai di tempat yang penuh kedamaian itu, dibutuhkan sikap zuhud. Suatu sikap yang bisa mengiringi perjuangan hidup yang berat. Suatu perjuangan yang tidak tergesa-gesa mereguk kenikmatan. Perjuangan berat untuk bisa sampai di ujung sana. Bukan di sini, sekarang ini! Untuk itu diperlukan hidup bersama yang adil [fair], jujur, dan saling menolong [bukan saling bertikai/berselisih]. Suatu sikap hidup yang tidak tergiur akan kenikmatan sementara.

Jika kita masih tergiur oleh kenikmatan sementara, kita tak akan mampu menjadi ilmuwan yang ulung, peneliti yang tangguh, pemerintah yang adil, elite yang memen-tingkan rakyat, dan pengusaha yang dermawan. Tanpa zuhud, perusahaan hanya menjadi tempat pemerasan terhadap karyawan yang lemah. Tanpa zuhud, negara adalah wilayah eksploitasi kalangan elite terhadap masyarakat bawah. Kezaliman merajalela yang dibungkus agama. Kezaliman yang dibungkus agama, dikemas dengan ayat-ayat Tuhan inilah yang hendak dilenyapkan Islam. Karena itu Islam mengajarkan konsep ketakwaan, tobat, wara’, sabar, dan zuhud.

Zuhud adalah sebuah maqam yang lebih tinggi dari sabar. Karena tanpa kesabaran seseorang tak akan mampu menjalani hidup zuhud. Tidak dapat menjadi seorang zahid. Zuhud adalah maqam. Jadi, sikap zuhud melekat pada berbagai macam profesi. Seorang peneliti yang zuhud, berarti orang yang sungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan penelitian hingga bisa menguak rahasia alam. Hingga ia mampu membuat teknologi baru yang lebih unggul untuk kehidupan manusia di bumi ini. Seorang pengajar yang zuhud adalah orang yang sungguh-sungguh mendidik muridnya sehingga lahirlah para murid yang unggul.

Tapi itu semua harus didukung oleh kalangan pemerintah yang zuhud pula. Mereka harus menyediakan prasarana dan sarana bagi kegiatan profesinya. Pemerintah yang zuhud harus didukung oleh pengusaha dan kalangan profesional yang zuhud pula. Yaitu, dengan membayar pajak yang proporsional menurut kekayaannya. Nah, pada intinya, kemakmuran dan keadilan suatu negara bisa dicapai bila sebagian besar tokoh di segenap profesi berlaku zuhud.

Gambaran kehidupan dunia

Untuk bisa memahami kehidupan dunia ini, Islam memberikan pelajaran yang berupa perumpamaan atau gambaran. Perumpamaan diberikan agar manusia tidak sulit dalam memahaminya. Kalau berupa teori-teori, perlu kecerdasan akal-pikiran untuk bisa mengertinya. Karena itu ada beberapa gambaran. Untuk bagian mengakhiri pelajaran sekarang ini, saya kutipkan satu ayat di Surat Yunus.
10:24 Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu seperti air yang Kami turunkan dari langit. Lalu, air itu diserap oleh tumbuh-tumbuhan di bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan [yang mengandung air tadi] ada yang dimakan oleh manusia, dan ada yang dimakan ternak. Sampai suatu ketika bumi tertutupi kesuburan tumbuhannya dan terhiasi [ter-dekorasi], dan penduduknya mengira menguasinya, tibalah ketetapan Kami pada waktu malam atau siang. Maka Kami jadikan itu bagaikan ladang yang telah dituai hasilnya, seolah-olah pada waktu kemarin tak ada tanaman yang tumbuh di situ. Demikian Kami jelaskan ayat-ayat kepada kalangan yang berpikir.
Suatu gambaran kehidupan yang bagus sekali. Hidup [urip], live, nafs, dalam kemunculannya di bumi ini digambarkan bagaikan ‘air’. Perhatikan diri kita, hidup kita merupakan sesekor sperma [setetes sperma] yang bergabung dengan sel telur di rahim ibu. Tetesan sperma itu ada yang terserap telur dalam rahim dan akhirnya tumbuh menjadi jabang bayi, dan ada yang tidak. Di ayat itu digambarkan air yang turun di bumi, dan ada yang diserap oleh tumbuhan.

Dengan proses itu bumi menjadi subur. Diri kita pun tidak sendirian. Kita hidup bersama di suatu tempat. Dan kita menyangka bisa menguasai tempat itu selamanya. Kita lupa ada ‘ketetapan’ atau aturan main Tuhan yang telah digelar di alam semesta ini. Kita lupa bahwa tanaman itu bisa mati oleh berbagai sebab, seperti terkena banjir, angin topan, kekeringan, terserang hama-penyakit atau oleh sebab-sebab lainnya. Kita pun lupa bahwa ada ‘ketetapan’ bahwa jasmani kita ini bisa mati sewaktu-waktu oleh berbagai sebab. 

Kita biasanya merasa akan mati bila sudah tua! Karena itu kita merasa bisa menguasai kenikmatan hidup di dunia ini selamanya. Padahal, ketika suatu bencana berat datang tiba-tiba, dan bisa menyebabkan kematian, maka hilanglah kenyataan bahwa kita bisa menguasai kenikmatan harta-benda dunia itu. Dalam kondisi demikian, kekuasaan yang pernah kita miliki seolah-olah tidak pernah ada.

Jangankan sudah mati, masih hidup saja ketika manusia sudah tua-renta, sudah tidak bisa lagi merasakan berbagai kenikmatan duniawi yang pernah dirasakannya. Hanya kenikmatan batin yang tetap melekat sampai mati. Orang yang bisa merasakan kenikmatan batin tidak pernah merasakan kekecewaan atau kesesedihan dalam hidup ini. Tidak kecewa atau sedih atas berkurangnya atau hilangnya kenikmatan lahiriyah. Dia telah zuhud! Tidak keluar air liur atas gebyarnya dunia.

Selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia. Ini salah besar! Meninggalkan kehidupan dunia itu bukan zuhud, tapi kalah. Ia merasa tak mampu negatasi dunia. Makanya ia menarik diri dari kehidupan dunia ini. Kalau sekarang saja sudah kalah, bagaimana mungkin dapat mengatasi kehidupan akhirat yang memerlukan modal lebih besar. Bukan modal harta-benda, tetapi modal batin, modal metafisik. 

Dengan zuhud energi batin kita tidak terserap oleh dunia. Energi batin inilah yang menggerakkan pertumbuhan ‘zigot’ menjadi jabang bayi. Karena rahman dan rahim-Nya, bayi yang hidup di bumi ini bisa tumbuh dan berkembang dengan energi fisik, yaitu makan dan minum.

Tetapi, energi fisik tidak dapat mendorong orang hidup bersemangat, orang hidup adil dan jujur, orang hidup damai. Energi fisik hanya membantu fisik untuk tetap hidup. Dan itu pun terbatas! Yaitu, tidak bisa mencegah ketuaan dan kematian. Bahkan terlalu banyak energi fisik menyebabkan kita malas. Energi fisik itu bagaikan air yang diturunkan dari langit. Ia bisa menyebabkan tumbuhnya kehidupan di bumi ini, tetapi tak mampu menahan kematian.

Sebaliknya, orang yang mempunyai energi batin tinggi, hidupnya tetap berse-mangat. Ia tidak mandek pada dunia tampak. Tapi ia tetap mencari di balik dunia yang tampak ini. Ini bukan berkhayal. Karena tak ada waktu buat berkhayal. Tapi ia terus berjalan menuju cakrawala ‘dar as-salam’, tempat yang damai. Nah, semua usaha menapaki maqam-maqam dalam dunia tasawuf adalah upaya untuk menghimpun energi metafisik, untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Dan, makin tinggi maqam, makin besarlah bekal yang kita peroleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)