Ketika Maklumat Perang Kepada Allah Berkumandang ?



Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang paling aneh tetapi malah amat dicintai Allah SWT. Dalam serangkaian prahara yang bukan saja nyaris meluluhlantakkan eksistensi republik, Allah selalu ''turun tangan'' memberikan ''ma'unah-Nya'' agar republik ini utuh kembali. Sejarah bangsa ini juga sudah panjang lebar memberikan penjelasan secara tertulis. Tetapi, jarang sekali di antara kita sebagai bagian dari bangsa ini yang berkenan menyempatkan diri untuk bertafakkur, kenapa Allah tak pernah meninggalkan bangsa ini. Mengambil kesempatan barang sebentar dari banyak kesempatan yang dijatah Allah kepada kita untuk bertafakkur dan bertadabbur atas kondisi ini, menjadi penting karena itu akan membuka kesadaran terbawah kita tentang makna kehadiran Allah SWT.

Tanpa itu, kita tak akan pernah mampu ''membalas jasa'' atas banyak ma'unah Allah. Alih - alih bisa membalas jasa, menyadari bahwa Allah itu hadir dalam kehidupan bangsa ini, malah akan terasa sulit.

Kini, menjelang pergelaran agenda nasional, ''Intikhoobul Malik'' (pemilihan pimpinan nasional / legislatif) yang akan menyita banyak perhatian serta menyedot tidak sedikit energi bangsa yang sudah teramat tipis, kita kembali akan menghadapi persoalan terpenting dalam penggalan kehidupan bangsa ini. Kalau kita sampai salah, sedikit saja dalam menentukan pilihan, maka prahara lanjutan kembali akan menghadang bangsa ini. 

Dalam penggalan-penggalan hidup sebelum ini, bisa jadi teramat jarang di antara kita yang menyadari kehadiran Allah dalam setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini. Kini, masihkan Allah ''berkenan'' turun tangan untuk kesekian kalinya ketika kita dihadapkan pada banyak pilihan yang semuanya belum tentu baik dan benar bagi kehidupan bangsa ke depan? Memilih presiden atau anggota legislatif, tentu bukanlah soal yang mudah karena semakin banyak pilihan semakin luas kesempatan untuk menimbang-nimbang, dam semakin sempit pula pilihan itu menjadi benar dan tepat (Kullu Syay'in Idzaa Ittasa'a Dloqo). Tetapi sebaliknya, kalau pilihan yang disajikan amat terbatas, maka kesulitan bagi bangsa ini juga akan semakin meluas (Kullu Syay'in Idzaa Dloqo Ittasa'a).

Karena dua kaidah Ushul Fiqih ini serta karena rumitnya pilihan-pilihan yang ada, maka ada baiknya bagi kita untuk tidak serta merta memasuki spektrum ini. Tetapi mari kita menyempatkan diri untuk memenuhi ajakan pertama di awal tulisan ini agar kita bertafakkur dan bertadabbur. ''Ya Allah, benarkah Engkau akan turun kembali, setelah serangkaian pengkhianatan kami lakukan dan sejumlah sumpah janji kepada-Mu kami ingkari. Masihkah ya Allah?'' 

Untuk menghindari bias emosi, mari kita telusuri jejak sejarah. Alkisah, setelah sekian ratus tahun bangsa ini dijajah oleh imperialis Belanda, karena keberadaan para ''Wali Allah'' yang ''muslih li ghoirihi yang menjadi pimpinan masyarakat kecil yang ''saleh'', maka Allah tetap menurunkan ma'unah-Nya agar bangsa ini selamat dan bisa segera mengakhiri penjajahan Belanda. Proses ini melahirkan seorang tokoh bernama Soekarno. Ketika pemerintahan Soekarno terjebak perang ideologis masih saja Allah SWT memberikan jalan konstitusional untuk menyelesaikan persoalan ini.

Tetapi ketika peralihan kekuasaan jatuh ke tangan Soeharto, prahara kembali membuat kita kelimpungan. Untuk kesekian kalinya, Allah juga menurunkan ma'unah-Nya. Namun ketika Pak Harto sudah tak berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok bangsa ini, prahara itu kembali datang. Tetapi sekali lagi ma'unah itu turun. Tak pernah bosan Allah ''turun tangan'' menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi bangsa Indonesia ketika proses peradilan di Indonesia tidak lagi memberikan rasa adil. Kenapa? Kenapa Allah bisa begitu bermurah hati kepada kita? Benarkah ini sebuah hal yang kebetulan belaka? 

Menurut kacamata para wali, ini semua terjadi karena Allah masih punya agenda besar. Entitas bangsa ini akan selalu utuh kalau di tengah-tengah mereka masih terdapat seorang atau lebih para kekasih Allah yang kita biasa menyebut mereka dengan ''Wali-Wali Allah''. Tetapi sekali saja kita menyakiti hati wali-wali ini, maka itu artinya kita sudah ''memaklumatkan perang kepada Allah''. Kalau ini sampai terjadi, maka jangan pernah berharap Allah akan turun lagi untuk memberikan ma'unah-Nya kepada kita. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Anas Ibnu Malik yang mendapatkan kisah dari Baginda Rasul dan beliau memperolehnya dari Malaikat Jibril AS, Allah berfirman, ''Man Ahaana Lii Waliyyan Fa Qod Baarozanii Bil Muhaarobah'' (Barang siapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumatkan perang kepada-Ku).

Karena keberadaan para wali dan komunitasnya yang mencintai Allah inilah, rupanya yang membuat bangsa ini selalu tercurahkan hujan ma'unah. Memang Allah tak pernah bergantung pada tingkat ketaatan seorang hamba kepada-Nya karena Allah akan tetap Maha Besar meski tak ada seorang pun dari manusia yang menyembah-Nya. Kalau ma'unah turun, itu semata karena Allah memenuhi janji-Nya. Janji-Nya adalah, ''Wa Man Ahbabtuhuu Kuntu Lahuu Sam'an Wa Bashoron Wa Yadaan Wa Muayyadan'' (Siapapun yang Aku cintai, maka Aku akan menjadi telinga, mata, tangan dan tiang penopang yang kokoh baginya). 

Dalam banyak riwayat disebutkan, proses cinta antara Allah dengan hamba-Nya sungguh tak pernah bisa dibandingkan dengan proses cinta antara manusia dan manusia yang lebih banyak karena pamrih. Sungguh tak tebayangkan gambaran cinta antara Allah dan hamba-Nya ini. Dia sampai-sampai menyatakan Diri siap menjadi bagian dari anggota tubuh kita. Kalau bangsa ini mendengar sesuatu, Allah berjanji akan menjadi telinga kita sehingga yang bisa masuk dalam pendengaran kita sebatas yang baik-baik saja dan membuat kita senang. Kalau bangsa kita melihat, maka yang akan terhampar di hadapan mata kita tentulah yang luar biasa indah dan membuat hati tenteram. Jika kita menggerakkan tangan, maka tangan kita hanya akan menyentuh hal-hal yang halal sekaligus baik. Allah menjanjikan akan siap menjadi tiang penyangga kita. Sungguh!

Komunitas yang berasyik masyuk dengan cinta Allah ini, akan selalu hidup tenang dan membuat tenang komunitas lain yang berhubungan dengan komunitas cinta Allah. Karena itulah, kalau ada seorang pemimpin yang mencoba-coba merusak, menjadi orang ketiga, menebar rasa benci, Allah akan langsung ''cemburu'' dan akan langsung memberikan pembelaan kepada rakyat yang sungguh mencintai Allah SWT ini. Komunitas semacam ini, jangan pernah diganggu karena advokad mereka adalah Allah Yang Maha Adil dan Maha Perkasa. 

Tetapi bangsa ini akan semakin menjelma ''negeri thoyyibatun wa robbun ghofuur'', kalau para pemimpin dengan rakyatnya saling mencintai. Dan Allah akan semakin mencurahkan rasa sayang, kalau para pemimpin dan rakyatnya yang saling mencintai juga mencintai Allah SWT. Kalau proses saling mencintai antara manusia dengan Allah ini terjadi, maka pemimpin tiran seperti apa pun tak akan ada gunanya bertangan besi, tak akan berdaya meski berotot kawat, dan tak akan bertahan lama meski hidup dalam limpahan harta.

Karena itu, kalau kita belum bisa menemukan pemimpin yang mencintai rakyatnya dan mencintai Tuhannya, maka cukuplah bagi kita sebagai rakyat untuk saling mencintai. Sebab, bila dilahirkan seorang pemimpin tetapi tidak menyayangi kita, Allah akan mengganti dengan proses yang tak pernah kita bayangkan. Untuk soal ini Allah akan mengambil tindakan yang ''inkonstitusional'' untuk menyelamatkan sebuah bangsa yang saling mencintai dan mencintai Allah SWT. Sebuah riwayat dalam Hadits Qudsy menuturkan, ''Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia''. Jibril pun lantas mencintai si Fulan dan ia lantas berseru kepada segenap penghuni langit lainnya. ''Allah SWT mencintai si Fulan, maka hendaklah kalian juga mencintainya''. Para penghuni langit pun lalu mencinta si Fulan dan si Fulan lantas diterima semua penghuni bumi.
Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)