Bersikap Sabar Dengan Adil



Ketika kita berjuang untuk hidup benar, lalu menetapkan pendirian untuk tetap memilih jalan yang benar [istiqamah], berarti kita telah melakukan dekondisioning [takhalli], yaitu membersihkan diri dari semua sifat yang tercela yang ada di dalam diri kita. Sifat tercela meliputi semua sifat yang mengotori jiwa [nafs] manusia, seperti lalim, bakhil, dusta, ma-lima, mengadu domba, dengki [iri hati], merusak, berlebih-lebihan dalam hidup, membunuh [diri sendiri maupun orang lain], menipu, sombong, merendahkan orang lain, mementingkan diri-sendiri, menjilat [cari muka], dan berbagai sifat negatif lainnya.

Pada kajian tentang ajaran “sabar” ini, kita telah masuk ke dalam wilayah “kondisioning” atau “tahalli”. Ketercelaan ditinggalkan, keterpujian diraih. Dengan sabar, kita mengkondisikan diri kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang terpuji. Tentu saja perbuatan terpuji lahir bila kita telah meninggalkan yang tercela. Yang termasuk sifat terpuji adalah semua sifa yang positif dan memberikan keuntungan baik bagi diri-sendiri maupun orang lain, seperti adil, kasih, sayang, lemah lembut, berani, tegas, bijak, menolong, membantu kebaikan, dapat dipercaya, memperbanyak persaudaraan, menyelamatkan jiwa, menutupi aib keluarga, saudara dan teman-temannya, dan lain-lain.

Setelah kita bongkar sifat-sifat tercela kita, kita cuci dengan zikir jahar [lahir], maka kita kondisikan batin kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Mengkondisikan perbuatan terpuji harus dilandasi kesabaran. Ingat, sabar bukan ‘menerima kalah’. Tetapi, kita mempunyai daya tahan untuk berbuat atau bertindak. Marilah kita uraikan segala sifat terpuji tersebut.

Adil. Kalau kita lihat di kamus Arab, kata ‘adil’ berarti memperlakukan setiap orang tanpa diskriminasi. Dalam ‘adil’ terkandung makna ‘jujur’ dan ‘fair’. Kata fair sendiri berarti “sesuai dengan aturan”. Terkandung dalam kata ‘adil’ adalah perlakuan yang proporsional. Contohnya begini, jika ada orangtua yang memperlakukan tiga orang anaknya [yang berumur 7, 5 dan 3 tahun], tentu orangtua tersebut harus memperlakukan mereka secara proporsional [sesuai dengan kebutuhannya].

Sikap adil ini akan bisa tumbuh pada diri kita bila kita sudah tidak mementingkan diri-sendiri dan pilih-kasih. Sifat tercela harus dihilangkan dulu. Lalu, dengan berpijak pada kesabaran kita menegakkan keadilan. Adil adalah sokoguru bagi ketakwaan. Ya, tanpa keadilan kita sukar untuk dapat menegakkan kebenaran. Untuk itu marilah kita simak QS 5:8 berikut ini.
5:8 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum [golongan], mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perhatikan ayat tersebut sekali lagi. Keimanan ternyata menuntut upaya penegakan kebenaran. Keimanan dalam Islam ternyata bukan hanya sekedar kepercayaan. Iman itu harus didukung “pengetahuan” sehingga orang yang beriman itu bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Dengan kesabarannya orang tersebut berani menjadi saksi yang adil. Dalam kondisi yang semrawut di negara kita ini, banyak orang yang tidak berani menjadi saksi yang adil. Betapa beratnya menopang keadilan. Karena itu, untuk bisa bersikap adil manusia harus dikondisikan lebih dulu. Bahkan sekarang ini, di negara Indonesia, banyak orang yang bertindak liar tetapi tak ada yang mengadili. Apa akibatnya? Banyak manusia yang hidup ketakutan di republik ini.

Adil adalah sikap hidup yang paling dekat kepada ketakwaan. Meskipun kita benci terhadap suatu kelompok [golongan] masyarakat, tapi kita harus adil. Kita harus ‘fair’, dan tidak main babat saja. Sekarang ini bisa kita lihat ada kelompok yang melakukan “sweeping” terhadap hak hidup orang lain tanpa berpijak pada hukum. Bahkan mereka berlindung di balik hukum. Na-‘udzu billahi min dzalik! Inilah pentingnya kita hidup berbudipekerti yang mulia. Kita wajib menghargai hak orang lain, dan tidak hanya mementingkan hak hidup kita sendiri. Berlaku adil!

Kasih-sayang. Ar Rahman dan Ar Rahim adalah sifat Tuhan. Orang beriman harus berusaha menjadi rahmat bagi lingkungan hidupnya. Yang kuat ikut serta meng-angkat yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin. Harus diciptakan hidup tolong-menolong dalam kebaikan. Yang kuat mengangkat yang lemah, tidak berarti yang lemah merongrong yang kuat. Yang miskin tidak boleh membebani yang kaya. Jikalau yang lemah dan yang miskin merongrong yang kuat dan yang kaya, ini berarti tidak terjadi kasih-sayang. Dalam kasih-sayang setiap orang saling memberi. Inilah manusia yang saling berwasiat kepada hidup sabar [untuk berbuat sabar] dan untuk hidup kasih-sayang. Hal ini dinyatakan dalam beberapa ayat berikut ini.
90:17 Kemudian mereka itu termasuk orang-orang yang beriman, yang saling berwasiat untuk hidup sabar dan saling berkasih-sayang.

5:2 Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu golongan, karena mereka pernah menghalangimu dari Masjid Al Haram, menyebabkan kamu bertindak melampaui batas terhadap mereka. Saling bertolonganlah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras siksanya.
Kalau kita membaca QS 90:17 (Surat Al Balad), dan kita baca beberapa ayat sebelumnya, kita mengetahui bahwa hidup beriman yang ditopang perbuatan sabar dan kasih-sayang, termasuk dalam menapaki jalan yang mendaki. Artinya, berbuat sabar dan bertindak kasih-sayang adalah perbuatan dan tindakan yang berat. Jika kita masih mau menang sendiri, mau benar sendiri, maka jangan harap kita bisa menjadi manusia beriman yang sejati. Keimanan tanpa keadilan, kesabaran dan kasih-sayang jelas-jelas iman gombal alias iman palsu. Yang perlu di-sweeping lebih dulu adalah rasa mau menang sendiri, egoisme, dan kebodohan yang ada di batin dan yang selalu menghantui pikiran. Batin dan pikiran harus di- ‘dekondisioning’ dari sifat tercela.

Setelah batin dan pikiran bersih dari sifat tercela, baru bisa dikondisikan untuk menerima sifat terpuji. Memang hal ini tidak mudah dilakukan bila semata-mata diserahkan kepada masing-masing orang. Pengkondisian harus dibantu dengan institusi atau penegakan hukum. Manusia tidak boleh dibiarkan sekadar menjadi kerumunan massa, seperti menonton sepak bola, pertunjukan musik dan lain-lain. Yang timbul adalah rebutan. Akhirnya jatuh korban! Kekuasaan pun bila dijadikan rebutan, akhirnya juga timbul korban yang lebih dahsyat. Harus dikondisikan! Harus ada antre. Penonton harus sesuai dengan banyaknya bangku. Yang haji pun harus ditertibkan. Sehingga tidak terulang peristiwa Mina dan yang beberapa kali terjadi dalam melempar jumrah. Yang menjadi elite pun harus melalui proses, mengikuti prosedur, dan menaati aturan main. Pikiran yang mendorong ke arah egoisme, harus di-sweeping lebih dulu. Sehingga tidak terjadi manipulasi permainan.

Harus sabar, jangan berebut mendahului. Sejak zaman dulu pesan moral ini sudah dihadirkan Tuhan. Hanya istilahnya saja yang berubah mengikuti perubahan zaman. Politik sudah ada dalam metafor pergulatan antara Adam, malaikat dan iblis. Yaitu, ketika malaikat protes terhadap Tuhan tentang kepemimpinan Adam di muka bumi ini [QS 2:30]. Malaikat protes, mengapa bukan dirinya yang menjadi khalifah di bumi. Mengapa manusia yang punya potensi untuk menumpahkan darah dan menimbulkan kerusakan, yang menjadi wakil-Nya. Iblis pun tak mau menerima kepemimpinan Adam. Iblis mau menang sendiri.

Kalau dalam dunia politik, sabar berarti mampu menahan diri untuk tidak berbuat curang atau manipulasi. Proses, prosedur dan aturan main harus dipenuhi dengan lapang dada. Dalam pergaulan hidup, sabar berarti saling menahan diri untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam bekerja, sabar berarti memiliki dayatahan untuk menyelesaikan dengan baik dan benar pekerjaannya. Dalam diri pribadi, sabar berarti ulet dalam meniti tujuan; ada ketegasan untuk memilih, ada keberanian untuk melaksanakan, dan ulet dalam menyelesaikannya. Karena itu Tuhan memerintah manusia untuk saling berpesan untuk hidup sabar.

Kasih-sayang berarti saling memberi. Bukan karena menerima, lalu memberi; yang dalam bahasa Inggrisnya “take and give”. Kalau ini masih ada curiga. Artinya, kita tidak bersedia memberi jika belum menerima lebih dulu. Seperti orang yang ingin mendapatkan tebusan sandera. Penyandera baru melepaskan sanderanya bila ia sudah menerima tebusan yang dituntutnya. Orang beragama bukanlah penyandera. Masing-masing diminta untuk memberi.

Dari asas saling memberi ini lahirlah sikap saling menolong bagi orang-orang yang beriman. Lho, apa bisa saling menolong bila ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin. Tentu saja bisa! Dunia ini memang dicipta “dua warna”. Ada miskin, ada kaya. Ada lemah, ada kuat. Yang satu memiliki kelebihan dari yang lain. Kalau sama kuatnya, tak akan ada yang mau diperintah. Jika sama kayanya, tak akan ada yang mau menjadi buruh atau pegawainya. Agar roda kehidupan berputar, harus ada yang menjadi pasivis dan harus ada yang menjadi aktivis. Jika tak ada yang mau menjadi perempuan, maka tamatlah kehidupan manusia di bumi ini. Bagaimana jika perempuan semua [katakan teknik kloning sukses implementasinya]? Apa yang terjadi? Perbuatan saling menolong dan melindungi akan lenyap. Akhirnya, kehidupan manusia pun hancur!

Ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang pandai dan ada yang bodoh. Hal ini dimaksudkan untuk saling memanfaatkan atau mempergunakan. Jika tak ada yang lemah [posisinya], maka tak ada yang mau menjadi buruh atau pegawai. Tak ada yang mau menjadi prajurit. Tak ada yang mau menjadi murid. Tak ada yang mau menjadi tukang batu, gembala, penjual kaki lima, sopir, dan tenaga kasar. Dinyatakan dalam QS 43:32sebagai berikut.
43:32 Apakah mereka [orang-orang kafir Qureisy itu] yang membagi-bagi rahmat Tuhan dikau? Kami-lah yang mendistribusikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini. Kami meninggikan derajat sebagian orang atas sebagian yang lainnya, supaya yang satu bisa memerintah yang lain untuk membantunya. Namun demikian, rahmat Tuhan dikau lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.
Jadi, jelas bahwa perbedaan derajat itu dimaksudkan supaya manusia bisa bekerja sama dalam kehidupan di dunia ini. Perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk menghisap, atau memperbudak yang lain. Yang kuat bukan untuk mengalahkan yang lemah. Yang kaya bukan untuk membuat yang miskin tergantung kepadanya. Semua dimaksudkan untuk dapat saling menolong, saling membantu.

Perhatikan kembali QS 5:2 di atas. Semua manusia yang beriman [iman sejati, bukan hanya sebagai identitas] diperintah oleh Tuhan untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Yang kaya menolong yang miskin dengan menciptakan lapangan kerja. Mereka meningkatkan ketrampilannya agar bisa hidup layak. Yang miskin menolong yang kaya dengan membantu mencapai target usahanya. Yang kuat menolong yang lemah dengan memberikan perlindungan dan kenyamanan hidup mereka. Sedangkan yang lemah menolong yang kuat dengan memberikan dukungan. Ya, sebenarnya setiap orang bisa memberikan apa yang ia punya kepada yang lain. Saling memberi. Akhirnya terciptalah kesejahteraan hidup bersama.

Untuk menyemaikan kasih-sayang, orang-orang beriman diminta untuk tidak berbuat aniaya [berbuat melampaui batas] terhadap orang-orang yang pernah menyakiti. Islam tidak menanam benih balas-dendam. Mungkin kita tetap menyimpan kebencian terhadap golongan yang pernah menyakiti kita. Namun kebencian ini tidak boleh mem-buat kita bertindak aniaya terhadap yang kita benci. Kita harus tetap bertindak adil, fair, terhadap mereka.

Jika kita mau menelaah hadis-hadis Nabi, maka kita bisa ambil hikmahnya. Hikmah itu menyatakan: Orang yang kuat di antaramu bukannya yang mampu menaklukkan orang lain, tetapi orang yang mampu menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam, meskipun kesempatan untuk itu ada. Orang yang kaya bukannya orang yang berlimpah harta benda, tetapi orang yang tidak merasa kurang bila memberi.

Penutup ayat 5:2 di atas adalah “Allah amat keras siksanya!”. Perlu dipahami bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia bukanlah penyiksa. Tapi mengapa diperingatkan bahwa siksa-Nya amat keras? Perlu diketahui bahwa Allah mencipta alam ini dengan segala aturan mainnya. Dan orang yang menjaga dirinya di atas aturan permainan itu disebut “orang yang bertakwa”. Dapat diumpamakan dengan orang yang berada di jalan raya. Semua pihak harus mematuhi rambu dan marka yang ada di jalan itu. Jika keluar dari rambu dan marka akan terjadi kecelakaan. Begitu juga bila manusia tidak mau mematuhi aturan kehidupan di dunia ini. Ia bisa jatuh ke dalam jurang, atau tabrakan. Malapetaka di alam ini sangat dahsyat! Inilah yang diperingatkan oleh Tuhan, bahwa siksa-Nya sangat keras. Karena hakikat semuanya ini adalah milik Tuhan. Jika keluar dari rambu-rambu dan marka kehidupan, malapetaka yang datang pun sebenarnya berasal [dari aturan main] dari Tuhan.

Gandengan kasih-sayang dan lemah lembut.

Jika kasih-sayang berkaitan dengan sikap saling memberi. Maka lemah lembut lebih terkait dengan tata-cara penyajiannya atau sikapnya. Dalam memberi pun harus disertai dengan kesantunan. Bukan dengan cara yang kasar. Sebab pemberian pun jika dilakukan dengan cara yang kasar, tampak merendahkan yang diberi, akan membuat yang diberi enggan menerima.

Orang yang dalam posisi lemah, tentu saja senang hatinya bila mendapat bantuan, pertolongan, atau pemberian dari yang kuat. Tetapi tatkala pertolongan itu diberikan dengan cara yang menyakitkan, dengan cara yang kasar, disertai dengan perkataan yang tidak enak didengar, dengan membangkit-bangkit, maka orang yang diberi itu bisa bangkit penolakannya, atau kalau toh menerima, terasa sakit hatinya. Arti pemberian itu menjadi hilang. Dalam QS 2:263 disebutkan, 
Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan si penerima. Sungguh Allah itu Maha Kaya dan Maha Penyantun.” 
Nah, kesantunan pun tak lepas dari kesabaran. Dan, kesabaran itu harus dikon-disikan dalam hidup ini. Jika untuk “dekondisioning” kita lakukan dengan zikir jahar. Maka untuk kondisioning [pengkondisian] kita lakukan dengan zikir kalbu. Membaca kalimat thayyibah setiap waktu subuh. Ada kedisiplinan bangun setiap subuh. Zikir cukup diucapkan di dalam hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)