Hubungan Antara Sabar dan Kecerdasan



Pengertian “sabar” yang kita tuju dalam tasawuf bukan sifat sabar tetapi maqam, tingkat atau stasiun sabar. Untuk masuk ke dalam maqam ini, kita sudah mendaki tiga tangga sebelumnya, yaitu tangga takwa dasar, tobat dan wara’. Tiga tangga sebelumnya untuk menghilangkan atau “dekondisioning” terhadap segala sifat yang tercela. Sedangkan maqam sabar ini untuk mengkondisikan kepada segala sifat yang terpuji, seperti keadilan, kasih-sayang dan kelembutan.

Sejak tahun 1990-an para pakar psikologi Barat mencoba menggali hubungan antara sabar dan kecerdasan. Akhirnya, ditemukanlah rumus kecerdasan baru, yang disebut ‘kecerdasan emosi’, yang dipelopori oleh Daniel Goleman, seorang doktor Psikologi dari Havard University yang bekerja pada The New York Time. Kecerdasan emosi [Emotional Intelligence] menentukan potensi seseorang untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Artinya, meskipun seseorang telah memiliki IQ yang tinggi, tetapi bila kecerdasan emosinya rendah, dia tetap akan mengalami hambatan dalam pergaulan hidup [informal maupun formal (dalam bisnis, pekerjaan, dan politik)].

Kecerdasan otak bekerja pada bagian otak kiri, yang bersifat sadar, rasional dan logis [linear]. Jadi, kerjanya otak kiri ini matematis, berpikir seri. Tentu saja tidaklah keliru berpikir matematis. Fungsi otak kiri ini untuk mengerjakan segala tugas yang bersifat rasional dan jelas. Seperti komputer, ia diperintah untuk melakukan pekerjaan yang jelas, yang dikenal programnya. Ia sekadar memproses! Keunggulan dari penggunaan otak kiri adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya. Karena yang dapat dikerjakan oleh otak kiri adalah semua objek yang dapat diperbandingkan, dianalisis, dan dikalkulasi secara matematis. Ia selalu dalam keadaan on atau off.

Kecerdasan emosi bekerja pada otak kanan. Ia membangkitkan potensi dan mengolah informasi bawah-sadar [subconscious], emosi dan intuisi. Berpikir dengan otak kanan bersifat asosiatif. Sebuah pemikiran yang mengaitkan antara emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungannya. Dengan berpikir asosiatif memungkinkan kita mengenali pola-pola [wajah, suara, aroma, dan ketrampilan gerak]. Orang yang menyetir kendaraan harus memberdayakan kecerdasan emosinya. Dengan kecerdasan emosinya seseorang dapat mengubah transmisi, menginjak kopling, menambah gas, dan menginjak rem tanpa harus menggunakan pikiran rasional.

Para CEO bekerja dengan menggunakan kecerdasan emosi. Para panglima perang bekerja dengan kecerdasan emosinya. Dan, dari hasil penelitian, sebagian besar orang yang yang IQ-nya tinggi tidak sukses dalam hidupnya. Kebanyakan mereka yang berhasil mengendalikan perusahaan besar adalah mereka yang EQ-nya lebih tinggi. Tentu saja mereka yang menjadi CEO perusahaan besar itu IQ-nya juga tinggi, tetapi EQ-nya yang lebih menonjol. Para pemimpin yang karismatik adalah mereka yang dikaruniai EQ yang tinggi.

Lalu, apa hubungannya EQ dengan kesabaran? Ya, orang yang EQ-nya tinggi adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya, alias sabar. Juga sebaliknya! Orang yang sabar memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Jika IQ dan EQ diinteraksikan dan diintegrasikan, akan lahir kecerdasan yang lebih tinggi dari masing-masing kecerdasan yang ada, IQ saja atau EQ saja.

Dalam Al Quran surat ke-103 [surat yang turun pada tahun pertama kenabian], merupakan landasan bagi pengintegrasian kecerdasan otak, emosi, dan spiritual [untuk kecerdasan spiritual akan dibahas pada kajian lebih lanjut]. Marilah kita simak surat yang pendek ini.
  1. Demi waktu asar.
  2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
  3. Kecuali orang-orang yang beriman dan bertindak saleh, saling ber-wasiat untuk menempuh hidup yang hak [hidup di jalan yang benar] dan saling berwasiat untuk hidup sabar.
Sejenak kita mengingat kembali kepada pelajaran tafsir surat ini yang telah saya berikan. Tuhan bersumpah dengan menggunakan waktu asar. Kata ‘ashara mempunyai arti memeras. Pada saat asar itulah, pada waktu itu, manusia berharap memperoleh nafkah hidupnya atau rezeki yang dikais sejak pagi. Namun demikian, manusia tetap disebut dalam kondisi berisiko [rugi].


Yang tidak dalam posisi rugi adalah mereka yang beriman dan beramal saleh. Iman dan amal saleh [imas] pada surat-surat berikutnya, dapat dikatakan, selalu bergandengan. Ini tidak berarti pada ayat-ayat berikutnya tidak diperlukan hidup yang hak dan hidup sabar. Kedua jenis tindakan ini bersifat implisit pada imas. Sebagai gantinya, dinyatakan secara eksplisit kata sabar dan Allah beserta orang-orang yang sabar [Inna l-Laha ma-‘a sh-shabirin] di empat ayat [2:153, 249, 3:146, 8:46 dan66]. Jadi, tegas sekali bahwa Allah yang mem-‘back up’ orang-orang yang sabar. Itulah sebabnya sabar disebut sebagai maqam, posisi, spiritual.

Seperti yang telah dijelaskan di bagian depan pelajaran tasawuf, bahwa iman itu bukan sekadar percaya. Banyak orang yang salah tafsir bahwa iman itu hanya sekadar percaya. Kalau sekadar percaya maka imannya orang dewasa sama dengan anak kecil [bahkan imannya anak balita]. Iman membutuhkan pengetahuan. Dan iman pada tingkat yang lebih tinggi membutuhkan pengalaman [ainul yaqin] dan selanjutnya meningkat pada iman sebagai realita hidup [haqqul yaqin]. Nah, pengetahuan harus ditimba dengan menggunakan rasio, menempuh hidup rasional, agar kita tidak melenceng dari objektivitas kehidupan. Untuk mempertebal keimanan di tingkat ilmu ini, manusia diseru untuk menggunakan ‘otaknya’ [afala ta‘qilun, la-‘allakum ta‘qilun]. Karena itu keliru berat bila iman tidak menggunakan logika sama sekali, kemudian dengan mudah disuruh percaya dan rela berbaiat.

Amal saleh tidak cukup hanya dengan menggunakan kesadaran, rasio dan logika. Amal saleh memerlukan ketrampilan praktis agar bisa hidup produktif. Ketrampilan harus dilatih! Dan pelatihan memerlukan kedisiplinan dan kesabaran. Dalam berlatih dan bekerja, manusia harus mampu mengendalikan emosinya. Dengan emosi yang rendah [EQ-nya tinggi] seseorang dapat membangkitkan potensi dirinya. Kemampuan mengendalikan emosi dengan cantik, akan membuat seseorang mampu membangun komunikasi yang baik pula.

Agar tidak terjebak kerugian, maka harus ada upaya ‘saling berwasiat’ untuk hidup yang benar. Pada tindakan ini, sebenarnya sudah melibatkan kecerdasan yang lainnya, yaitu kecerdasan spiritual [spiritual quotient]. Meskipun harus memberdayakan kecerdasan spiritual, tetapi semua tindakan tadi harus diikat dengan kesabaran. Dan di balik kesabaran itulah berdiri tegak kekuatan Allah. 

Dengan demikian, sabar merupakan landasan bagi peningkatan kecerdasan. Dan, kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami, menalar, dan belajar beradaptasi terhadap situasi yang baru. Orang yang memiliki EQ tinggi [tingkat kesabarannya tinggi] akan dengan mudah mengatasi problema dalam kehidupan ini. Perlu diperhatikan kembali, berwasiat tidaklah sama dengan berpesan. Saling ber-wasiat tidak sama degan saling berpesan. Berwasiat berarti ada tindakan untuk memberikan wasiat. Dalam saling berwasiat ada rasa saling memiliki! Dalam hidup bersama setiap orang harus saling menjaga kebenaran dan kesabaran. Artinya jika kita berbuat benar, jujur, adil, maka orang lain pun harus demikian. Bukan yang satu antre dan yang lain menyerobot, yang satu jujur dan yang lain mereka yasa. Kalau yang satu jujur dan adil dan yang bohong dan aniaya, maka hal ini akan menyebabkan yang jujur dan adil tadi kehilangan kesabaran. Akhirnya, kacau-balau lagi. Karena itu kebenaran [kejujuran dan keadilan] dan kesabaran saling diwasiatkan.

Imas lebih melibatkan kehidupan pribadi. Tetapi kebenaran dan kesabaran terkait dengan lingkungannya. Karena itu harus dijaga saling berwasiat untuk hidup benar dan hidup sabar. Dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran, perilaku orang-orang lain di sekitar kita sangat mempengaruhi upaya kita. Karena itu, penegakan kebenaran dan kesabaran dilakukan secara bersama atau berjamaah. Coba bayangkan, jika kita ini sungguh-sungguh hidup sabar, disiplin dalam menahan emosi, tetapi orang-orang di sekeliling kita acuh-tak-acuh, tidak mempedulikan kita, bahkan malah menggoda dan mengganggu kehidupan kita. Apa jadinya?

“Mahaththu l-khubr”

Di bagian ke-9 telah dijelaskan bahwa sabar berarti memenuhi proses, prosedur dan aturan main yang benar. Namun, orang tidak akan sabar untuk memenuhi proses, prosedur dan aturan mainnya bila ia tidak memiliki pengetahuan [yang ditopang peng-alaman] tentang sesuatu yang akan dikerjakannya. Wilayah atau pos dari rencana atau desain tentang sesuatu ini disebut “mahathth al-khubr”. Seseorang mampu bersabar dalam sesuatu hal bila dia memahami ‘mahathth al-khubr’-nya.

Misalnya, kita mau menonton musik jazz. Katakanlah pertunjukan musik itu dua jam. Kita tak akan sabar untuk menonton dan mendengarkan musik itu bila kita tak memahami desain musik itu. Mungkin sepuluh menit saja akan terasa lama, dan kita ingin meninggalkannya. Pertunjukan sepak bola tak akan menarik seseorang bila orang itu tidak mengerti desain, bangunan rancangan dari sepak bola tersebut. Dia pasti tak akan sabar jika disuruh menonton sepak bola. Jadi, kalau kita ingin sabar dalam berbuat atau bertindak [bekerja, bertugas, menonton, mendengar dll], kita harus memahami mahathth al-khubr-nya. Sehingga kita bisa mengikuti apa yang sedang terjadi, kita mampu meneruskan pekerjaan yang kita emban. Nah, karena itu, sebelum kita berbuat, bertindak, mengerjakan sesuatu, maka kita harus mengerti lebih dahulu ‘layout’, desain, rancangan atau “mahathth al-khubr”-nya sesuatu yang akan kita lakukan.

Di dalam Surat Al Kahfi/18: 68, Khidir mempertanyakan kesanggupan Nabi Musa dalam menyertai perjalanan spiritual Khidir.

“Wa kaifa tasbiru ‘ala ma lam tukhith bihi khubra”

“Dan bagaimana engkau mampu bersabar terhadap apa yang tidak engkau ketahui [disertai pengalaman]?”
Jadi, seorang Rasul Allah pun masih dipertanyakan kesabarannya dalam menuntut suatu ilmu bila dia tidak memahami layout dan rancangan sesuatu yang dituntutnya. Sifat dari manusia bahwa ia tak akan sabar terhadap sesuatu yang tidak dimengertinya. Karena itu sebelum memunaikan sesuatu, kita harus memahami rancang-bangunnya, layoutnya, atau mahath al-khubrinya.

Landasan bagi pertolongan

Dalam hidup ini seringkali terjadi keberadaan kita ini pada situasi yang lemah. Kita dalam posisi sebagai manusia kalahan. Sebagai manusia yang terekploitasi. Bila kita tidak dapat mengatasi situasi ini maka hal ini bisa menyebabkan kita ‘stres’. Tak perduli dengan jabatan kita. Kalau tekanan dari luar diri kita ini lebih kuat daripada energi yang kita punyai, maka kita dalam posisi tertekan. Bila kita tak mampu menahan tekanan itu, ya timbullah stres.

Jadi, stres itu bisa timbul karena tekanan dari pekerjaan, atasan, tetangga, rumah tangga, hubungan bisnis, kelompok/golongan lain dan sebagainya. Manusia berusaha menjauhi konflik atau pertikaian, karena konflik bisa membebani kehidupan. Manusia berusaha hidup damai karena ia tidak ingin menumpuk permasalahan. Oleh karena manusia itu berhubungan dengan manusia lain, maka sering permasalahan itu tidak dapat dihindarkan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manusia berhubungan dengan sesamanya. Meskipun kita sudah berusaha menahan diri, mungkin saja orang lain tetap menekan kita. Kalau kita biarkan tekanan itu, boleh jadi semakin besar tekanannya. Lalu, apa yang harus diperbuat?

Surat Al Baqarah/2: 150-155 memberikan latar belakang kehidupan bersama, satu kelompok menekan kelompok lainnya. Karena itu, orang-orang beriman diberi landasan untuk menempuh hidup ini seperti yang dinyatakan dalam QS : 2:153, “Hai, orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan cara sabar dan shalat [senantiasa berko-munikasi dengan Tuhan]. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Jadi, untuk menangkis tekanan dari luar itu, kita harus membangun kesabaran. Ingat, sabar tidak berarti tidak acuh terhadap tekanan. Tetapi, kita berusaha introspeksi dan mawas diri. Kita coba memperhatikan kejadian demi kejadian di sekitar kita. Sehingga akhirnya kita bisa memahami jaringan rancangan yang terjadi di sekeliling kita. Lalu, kita lewati jaringan itu tanpa harus terperangkap. Kita berkomunikasi dengan Tuhan. Akhirnya Tuhan sendiri yang mengajar kita, dan Tuhan sendiri yang memberi petunjuk kita [lihat QS 2:282].

Tak ada Mahaguru ahli di dunia ini kecuali Tuhan. Dan, pengajaran yang tepat hanya dari Dia sendiri datangnya. Lalu, di mana peran guru-guru atau ulama? Mereka adalah orang-orang yang membantu kita agar kita bisa memahami dasar-dasar praktik kehidupan. Mereka hanyalah memberikan arah kemana kita harus melangkah. Dengan sabar, akhirnya Tuhan sendiri yang menggandeng tangan dan menuntun kita. Dia sendiri yang memberikan jalan sehingga kita tahu kemana kita melanjutkan perjalanan dalam hidup ini. Inna l-Laha ma-‘a sh-shabirin, Tuhan beserta orang-orang yang sabar. Sabar adalah landasan bagi pertolongan dari Tuhan!

Orang yang sabar tahan godaan

Gebyarnya dunia ini telah menggoda manusia. Berapa banyak akhirnya manusia yang terperangkap godaan dalam menempuh perjalanan hidup ini. Jangankan individu, manusia secara kolektif pun sering tidak mampu menahan godaan. Manusia tidak lagi sabar untuk bisa menikmati gebyarnya dunia ini. Sehingga banyak manusia yang tidak memperhatikan lagi proses, prosedur dan aturan main dalam meraih kenikmatan dalam kehidupan ini. Jalan pintas yang membahayakan hidupnya pun dilaluinya.

Marilah kita menengok perjalanan bangsa Indonesia ini. Mula-mula kita ingin bebas dari penjajahan. Lalu, kita berusaha mengisi kemerdekaan. Yang pertama kita isi dengan persatuan bangsa dan yang kedua kita isi dengan pembangunan ekonomi. Kita tidak sabar! Kita ingin cepat-cepat berhasil dalam pembangunan. Kita lupakan proses, prosedur dan aturan main yang benar untuk meraih kesuksesan. Kita hutang sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan lagi perangkap hutang. Akhirnya, hutangnya sundul-langit. Bukan tinggal landas yang kita lalui, tapi ‘tinggal bundas’ [Jawa,ungkapan untuk menyatakan kepala yang tak rata lagi]. Elite bangsa ini tidak tahan menghadapi godaan dari negara-negara maju. Umpan yang berupa hutang dilahapnya. Kita tidak mau memahami ‘grand design’, rancangan raksasa sebuah hutang.

Hutang, pinjaman, bantuan dan pemberian dari negara-negara maju adalah godaan bagi negara-negara berkembang, atau terbelakang. Memang hutang adalah sarana untuk membangun demi kemajuan. Tetapi hutang bukan syarat pokok, melainkan syarat untuk melancarkan pembangunan. Ya, hutang adalah syarat pelancar! Ia hanyalah pelumas bagi sebuah roda. Karena itu, kita tidak boleh menjadikannya bagian yang terpenting bagi pembangunan bangsa atau rumah tangga. Dengan sabar seseorang dapat menangkis godaan untuk menikmati sebuah umpan. Untuk masalah ini saya cuplikkan kisah tentara Thalut dalam perjalanannya untuk bertempur melawan tentara Jalut [QS 2:249].

Maka tatkala Thalut dan orang-orang beriman menyeberangi sungai itu, berkatalah orang-orang yang telah minum banyak air sungai itu: “Pada hari ini tak ada kemampuan kami untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka bertemu Allah, berkata: “Berapa banyak golongan yang sedikit dapat menga-lahkan golongan yang lebih besar dengan izin Allah?” Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dalam kisah di atas, Thalut memimpin tentaranya untuk melawan tentara Jalut yang telah mengusir mereka dari negeri mereka. Dalam pasukan itu ikut serta Daud. Dalam strategi melawan Jalut, Thalut mengajak pasukannya menyeberangi sebuah sungai. Thalut wanti-wanti agar tidak minum banyak-banyak air sungai itu, kecuali sesaukan tangan saja [ya, sebagai tamba (semacam obat penenang) dalam perjalanan]. Bahkan Thalut mengancam tentaranya, yaitu tidak mau mengakui sebagai golongannya bagi yang banyak minur air sungai itu.

Bagaimana kenyataannya? Banyak tentaranya yang tidak sabar, alias tidak tahan ketika kerongkongan terasa kering. Thalut mengizinkan minum, tetapi hanya sesaukan saja, tak lebih. Tapi, sebagian besar tentaranya tergoda untuk minum banyak-banyak. Hormon serotonin dan noradrenalinnya bertambah. Sehingga rasa puas menyelimuti seluruh tubuhnya. Ada rasa nikmat! Nah, tentara [apalagi orang biasa] yang telah merasa nikmat ini merasa tak sanggup lagi melawan tentara Jalut. Mereka merasa takut untuk melawan tentara Jalut yang lebih besar itu. Tentara Thalut keder!

Tetapi, sebagian kecil tentara Thalut yang patuh [termasuk Daud] tetap bersemangat dalam menghadapi Jalut. Produksi hormon androgennya yang meningkat. Sehingga agresivitasnya meningkat. Karena tidak minum banyak, kecuali sesaukan yang hanya sebagai faktor sugesti, maka hormon adrenalin dan noradrenalin-nya tidak ber-tambah, sehingga detak jantung pun tidak meningkat. Ya, mereka tenang menghadapi tentara Jalut. Mereka berkeyakinan [mensugesti diri] bahwa sering tentara yang sedikit mampu mengalahkan tentara yang banyak. Karena tidak merasa tergoda terhadap ke-nyamanan sementara itu, tentara-tentara Thalut tenang dalam bertaktik melawan Jalut. Bahkan Daud dengan katapelnya mampu membunuh Jalut. Nah, sikap tenang dan mampu menahan godaan sementara, adalah wujud sikap sabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)