Poligami dan Orientasi Seksual Rasullullah - 2



Dalam pembentukan komunitas baru yang menjadikan keluarga dan perkawinan sebagai salah satu instrumennya, maka perhatian terhadap janda dan anak-anak yang ditinggal ayah mereka yang syahid akibat peperangan adalah suatu yang sudah semestinya, apalagi kesempatan mendapatkan kebutuhan sehari-¬hari di tanah yang gersang tidaklah semudah yang dibayangkan, tidak heran jika ada yang menjual manusia dipasar budak demi mencukupi kehidupan sehari-hari. Langkah Rasulullah yang juga diikuti para sahabatnya untuk memperhatikan para janda dan anak-anaknya, tampak dalam beberapa perkawinan yang kita telah sebutkan sebelumnya.

Adapun mengenai isteri beliau, Ummu Habibah Romlah bintu Abi Sufyan bin Harb radhiyallahu ‘anha, ada sebuah kisah yang perlu dijelaskan tentang latar belakang pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Ummu Habibah adalah isteri ‘Ubaidillah bin Jahsyi bin Khuzaimah, yang turut berhijrah dengan isterinya ke Habasyah (Abesinia) pada hijrah kedua. Namun terjadi fitnah dimana ‘Ubaidillah suami Ummu Habibah murtad keluar dari Islam –wal’iyadzubillah- sedangkan Ummu Habibah tetap kokoh di atas keislamannya. Beliau (Ummu Habibah) tidak dapat kembali ke Makkah dikarenakan ayahanda beliau, Abu Sufyan adalah termasuk pembesar Quraisy yang senantiasa berupaya mencederai Nabi dan para sahabat beliau. Seandainya Ummu Habibah kembali ke Makkah, akan membahayakan agama dan keadaannya. Oleh karena itu haruslah memuliakan dan membebaskan Ummu Habibah dari suaminya yang telah murtad kemudian mati di Habasyah.

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengirim surat kepada Najasyi (Negus) Raja Habasyah yang telah masuk Islam, memintanya untuk menjaga Ummu Habibah. Setelah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ke Madinah, Najasyi mengirimkan Ummu Habibah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan penuh penghormatan. Ketika Abu Sufyan mendengar bahwa puterinya dinikahi oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, begitu riang dan gembiranya dirinya dan mengakui bahwa Muhammad adalah menantu terbaiknya yang pernah ia miliki, walaupun ia memusuhi Muhammad dan agamanya... [Thobaqot Ibnu Sa’d, juz VIII, hal. 109 dst.; melalui Zaujaat Laa ‘Ayisqoot, op.cit.].

Wahai kaum yang berakal, apakah menyelamatkan seorang wanita yang tengah bertahan mempertahankan aqidahnya dengan menikahinya, menjaganya dan melindunginya dari suaminya yang murtad dan bapaknya yang masih musyrik saat itu merupakan tindakan gila wanita dan bersyahwat besar??!!! Na’udzubillah!! Pergunakanlah akal anda wahai kaum...

Pada tahun ke-5 H. Rasulullah menikahi, Zainab binti Jahsy, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah yang diangkat anak oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, dan dinikahkan dengan kerabat Rasulullah Zainab yang tentu saja memiliki nasab tinggi di kalangan Quraisy [dari pihak ibu Zainab adalah sepupu nabi atau cucu Abdul Mutholib]. Pada masa itu masalah nasab (keturunan) sangatlah diperhatikan oleh masyarakat Arab. Pencapaian ketinggian derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak heran jika satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena mereka suka, tapi para istri memiliki kepentingan sendiri dengan pernikahan tersebut, termasuk untuk masalah nasab, apalagi bahwa penghormatan kepada wanita pada masa itu amatlah rendah. Fenomena tersebut tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain juga memiliki adat yang tidak jauh berbeda. Bahkan hingga saat ini masalah keturunan sangat diperhatikan, terlepas dari pandangan yang melatar-belakangnya: apakah karena status sosial, kekayaan, atau kebangsawanan; di kalangan muslim sebagian memandang nasab berdasarkan kesalehan beragama.

Kembali pada masalah perkawinan Sayyidah Zainab radhiyallahu ‘anha, Rasulullah yang ingin merombak adat tersebut, demi tujuan pokok menyamakan umat manusia di hadapan Allah (tauhid), mencoba mempertemukan antara bangsawan dan mantan budak (walaupun sudah diangkat anak), rupanya hal itu belum mampu meruntuhkan rasa kebangsawanan Zainab hingga perkawinan tersebut gagal.

Namun demikian tanggung jawab Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya. Lain dari pada itu bahwa pernikahan tersebut atas perintah langsung dari Allah, sebab sebelumnya setiap kali Zaid mengadu kepada Rasulullah atas sikap Zainab, Rasulullah menasehatinya agar mempertahankan perkawinannya serta takut kepada Allah. Dengan begitu, tidak hanya masalah tanggung jawab Rasulullah mengembalikan Zainab yang merasa martabatnya telah terendahkan, namun menjadi panutan hukum bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung, maka istri yang telah diceraikannya boleh dinikahi bapak angkatnya. Namun sebaliknya wanita yang diceraikan oleh seseorang tidak boleh dikawini anaknya.

Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H. terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani Mushthaliq. Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu, mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi pemenang. 

Diantara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin Bani Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang Juwairiyah tidak rela dirinya dijadikan budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat dirinya. Karena tidak memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap Rasulullah agar dibantu melunasi tebusan tersebut. Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar mendidik budak dan kalau bisa memerdekakan dan menikahinya, memberikan contoh dengan memerdekakan Juwairiyah dan menawarkan pinangannya, ternyata Juwairiyah mengiyakan. Dengan persetujuan Juwairiyah ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan pernikahan tersebut para sahabat mengembalikan harta rampasan perang, sekaligus memerdekakan ± 100 keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: "Saya tidak pernah melihat keberkahan seseorang atas kaumnya melebihi Juwairiyah".

Pada tahun ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada saat penyerbuan ke benteng al-Qomush milik bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah bin Rabi' suami Shofiyah binti Hay terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani Nadlir yang lain menjadi tawanan. Dan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap bani Mushtholiq, maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut keterangan Shofiyah sendiri, yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq bahwa sebelum kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan jatuh di kamarnya. Ketika mimpi tersebut diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan, "Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz Muhammad", kata suaminya. Tentang apakah harta dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan perkawinan ini, tidak kami dapatkan keterangan yang jelas, namun diceritakan bahwa mahar perkawinan tersebut adalah pembebasan Shofiyyah. Walaupun masih muda, usia 17 th, tapi sebelumnya Shofiyah telah menikah dua kali, dengan Salam bin Misykarn kemudian dengan Kinanah bin Rabi'.

Dari dua perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa upaya pembebasan perbudakan -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah lainnya. Di sisi lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan kedudukan Muslim dalam rangka pembentukan komunitas bersama yang tidak saling bermusuhan. Selanjutnya, bahwa melihat usia Shofiyah yang masih 17 th. dan sudah menikah dua kali, setidaknya menunjukkan bahwa selain masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar juga memiliki adat mengawinkan seorang wanita sejak masih dini.

Pada tahun ketujuh Hijriah ini juga, utusan Rasulullah ke Iskandariah-Mesir telah datang dengan membawa hadiah dua orang budak dari Mesir, yang pertama bernama Maria binti Syam'un dan Sirin. Yang pertama dinikahi oleh Rasulullah dan yang kedua diberikan kepada Hassan bin Tsabit. Seperti yang telah kita bahas sebelum ini, bahwa Rasulullah yang mengajarkan agar para budak dididik kemudian dibebaskan dan dinikahi, dicontohkan sekali lagi oleh Rasulullah. Maria al Qibthiah yang menjadi budak di Iskandariah, kini menjadi istri seorang pemimpin besar di tanah Hijaz. Ia bahkan telah memberikan keturunan yang diberi nama Rasulullah seperti nama kakeknya "Ibrahim", walaupun tidak berusia panjang. Rasulullah menyatakan : "Ia telah dimerdekakan oleh anaknya".

Para istri nabi -termasuk yang sebelumnya menjadi budak-, mendapat penghormatan yang tinggi dikalangan para sahabat dan umat Muslim, maka tidak mengherankan jika banyak wanita yang ingin dinikahi oleh nabi. Salah satu dari mereka adalah Maimunah yang dalam al-Qur'an disebut "Seorang wanita mu'min yang menyerahkan dirinya kepada nabi". Penawaran itu dilakukan oleh Maimunah melalui saudaranya Ummul Fadl, kemudian Ummul Fadl menyerahkan masalah ini kepada suaminya yaitu Abbas bin Abdil Muththolib (paman nabi). Maka `Abbas menikahkan Maimunah kepada Rasulullah dan memberikan mahar kepada Maimunah atas nama Nabi sebesar 400 dirham. Pernikahan ini terjadi pada akhir tahun ke 7 H. tepatnya pada bulan Dzul-Qo'dah. Selain Maimunah masih banyak wanita lain yang ingin dinikahi oleh Nabi, tapi beliau menolak. Jika dilihat dari seluruh pernikahan nabi seperti yang telah kita bahas, maka penolakan nabi tersebut agaknya lebih dilandaskan pada sisi kemanfaatan dan kemaslahatan, baik bagi umat maupun bagi wanita itu sendiri. Hal ini sekaligus menampik tuduhan bahwa perkawinan Rasulullah dilandaskan pada kepentingan pemuasan seksual.

Fahamkah kaum penghujat tersebut dengan sejarah Nabi ini?!! Ataukah mereka hanya mengandalkan subyektivitas yang berangkat dari hasad, dengki dan kebodohan belaka?!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ahmadiyah (1) Akhlak (26) Bibel (6) Dajjal (1) Dakwah (43) Fatwa (2) Firqah (3) Hak Azazi Manusia (16) Ijtihad (2) Islam (33) Jihad (19) Kristen (19) Liberalisme (49) Mualaf (9) Muslimah (15) Natal (2) NU (1) Orientalis (9) Peradaban (52) Poligami (11) Politik (34) Ramadhan (10) Rasulullah (24) Ridha (5) Sahabat (1) Sejarah (42) Suharto (1) Tasawuf (29) Tauhid (21) Tawakal (4) Teroris (16) Trinitas (9) Ulama (1) Yahudi (37) Yesus Kristus (34) Zuhud (8)